Di ASEAN, kurang lebih setengah miliar perut (tepatnya 570 juta jiwa) setiap harinya membutuhkan pangan. Dari 10 negara ASEAN, Indonesia adalah negara dengan jumlah perut terbanyak (42,43 persen dari total penduduk di ASEAN) untuk dipenuhi kebutuhan pangannya.Disusul Filipina (15,41 persen), Vietnam (14,65 persen), dan Thailand (11,48 persen).
Tentang hal ini, Presiden Soekarno pernah berpesan, "Persoalan pangan adalah persoalan hidup-matinya suatu bangsa!" Lalu, apakah pemerintah (Kementerian Pertanian) sudah melakukan persiapan? Dan, bagaimana nasib Indonesia ketika perang pangan terjadi?
Gagal paham
Presiden Joko Widodo selalu berpesan: Indonesia harus siap siaga menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Di hadapan ribuan kepala desa yang mengikuti Rakernas Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia di Boyolali, akhir 2015, Jokowi kembali menegaskan bahwa menggali potensi sumber daya dan memperkuat kapasitas masyarakat adalah kata kunci menghadapi MEA.
Tampaknya Jokowi paham betul bahwa menekankan keunggulan potensi akan sia-sia apabila kapasitas masyarakat sangat minim. Dalam konteks pertanian, relasi subyek (petani)-obyek (komoditas) adalah kekuatan utama dalam penataan pertanian. Pertanyaannya: apakah pesan Jokowi dipahami Menteri Pertanian selaku pengawal kebijakan pertanian?
Menjawab pertanyaan di atas, mari kita lacak modus operandi Mentan. Semenjak dilantik, modus operandi kebijakan Mentan lebih berorientasi pencitraan obyek. Aksi membagikan ratusan traktor, membuka sejuta hektar lahan sawah, klaim surplus beras, dan jagung adalah sebagian bukti bahwa Mentan melupakan penguatan petani. Padahal, dalam konteks MEA, membangun kesadaran dan penguatan petani sebagai produsen sekaligus konsumen merupakan agenda penting dan mendesak.
Tampaknya, Mentan gagal paham menakhodai Kementerian Pertanian dalam merespons MEA. Gagal paham yang dimaksud, pertama melupakan struktur pelaku pertanian. Lebih dari 60 persen produsen pangan di negara ini adalah petani kecil yang memiliki luas lahan di bawah 1 hektar. Minimnya upaya pengonsolidasian petani dalam kebijakan Mentan menjadi senjata makan tuan. Program pupuk bersubsidi (Rp 30,063 triliun) akan berdampak besarnya peluang penyelewengan, pengadaan alat dan mesin pertanian (Rp 360 miliar pra panen dan Rp 8,32 miliar pasca panen) berpotensi salah sasaran dan target, serta pencetakan sawah (Rp 1,76 triliun) menyebabkan kerusakan ekologis. Alhasil, Mentan kembali mengulangi kesalahan kebijakan terdahulu yang selalu menihilkan peran petani untuk menggeser pola produksi pertanian dari orientasi subsisten ke bisnis.
Kedua, melakukan homogenisasi padi-jagung-kedelai (pajale). Kampanye Mentan di setiap kunjungan kerjanya untuk memproduksi pajale merupakan kebijakan yang gagal paham. Mentan Amran Sulaiman seolah menihilkan perbedaan ekologi Indonesia yang selama ini memberikan keuntungan keanekaragaman sumber daya pangan. Obsesi membuka rice estate di tanah Papua adalah tindakan gagal paham tentang makna ekologis dan keterlibatan penduduk lokal. Seyogianya Mentan belajar dari kegagalan pembukaan jutaan hektar lahan sawah di Sumatera dan Kalimantan yang berekologi kebun (bukan sawah) ketika masifnya program transmigran di rezim Orde Baru. Padahal, perbedaan ekologi akan mendorong tampilnya spesifikasi potensi komoditas pertanian yang harus dikonsolidasikan oleh setiap daerah.
Ketiga, melupakan kebutuhan akses petani terhadap teknologi pertanian dan jejaring. Perlu dicatat, sektor pertanian adalah sektor yang sangat berkontribusi terhadap tenaga kerja padat karya di pedesaan. Realitas saat ini, minimnya pengetahuan dan keterampilan petani harus dijawab dengan membuka akses teknologi tepat guna yang inklusif dan bermanfaat bagi petani. Demikian juga halnya dengan problem pembiayaan dan pemasaran, dapat dijawab dengan memfasilitasi terbangunnya jejaring kerja sama antarpetani dengan berbagai pihak. Ketika gagal paham ini dipelihara, pembangunan pertanian dipastikan tak mampu mencegah terjadinya urbanisasi dan kemiskinan di pedesaan, apalagi memiliki daya saing terhadap negara-negara ASEAN.
Menang atau kalah
Perang pangan adalah aksi suatu negara atau aliansi negara yang berupaya mendominasi kebutuhan pangan di suatu negara. Di sini ada negara yang mengatur dan ada negara yang diatur kondisi dan situasi pangannya. Negara yang memiliki strategi kebijakan pangan yang jitu dipastikan memenangi pertarungan dan memiliki pengaruh terhadap negara-negara lainnya. Artinya, negara yang menguasai pangan akan menguasai dunia!
Jika kebijakan Mentan yang gagal paham di atas dipertahankan, dipastikan Indonesia akan kalah perang pangan. Keberadaan Charoen Pokphand asal Thailand yang saat ini menguasai lebih 50 persen pangan hewani (ayam) di Indonesia dan strategi lima negara ASEAN, (Thailand, Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos), yang membangun aliansi pengekspor beras adalah penetrasi penguasaan pangan di mana Indonesia sebagai pasar potensial.Sebaliknya, belum satu pun inisiatif penetrasi yang sistematis dilakukan Indonesia untuk negara-negara ASEAN.
Untuk itu, jika pilihannya ingin memenangi perang pangan, diperlukan strategi andal agar tak digilas oleh negara ASEAN lainnya. Ada tiga strategi yang harus dilakukan. Pertama, mempersenjatai petani dengan pengetahuan dan teknologi. Sudah saatnya petani kita yang mayoritas lulusan SD dibekali pengetahuan teknis dan teknologi pertanian. Sebab, rendahnya produksi pangan berhubungan dengan kondisi sumber daya manusia yang menggerakkan sektor pertanian.
Kedua, memperkuat benteng komoditas sesuai konteks ekologi. Harus disadari bahwa homogenisasi pajale berdampak negatif bagi masa depan pertanian Indonesia.Sebaliknya, pola pikir Mentan harus berubah untuk mengembangkan komoditas pangan yang memiliki nilai ekologis dan historis di setiap daerah.
Ketiga, menciptakan sekutu kedaulatan pangan. Tampaknya Indonesia harus menciptakan sekutu untuk mewujudkan kedaulatan pangan berlandaskan kesetaraan dan bermartabat. Alhasil, MEA tidak dimaknai sebagai persaingan (kompetisi), tetapi arena menciptakan jejaring poros kedaulatan pangan ASEAN. Apabila tiga strategi ini dilakukan, tidak tertutup kemungkinan Indonesia bisa memimpin negara-negara ASEAN dalam kedaulatan pangan!
SOFYAN SJAF, DOSEN PASCASARJANA SOSIOLOGI PEDESAAN IPB DAN SEKRETARIS PSP3 IPB
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Perang Pangan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar