Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 Januari 2016

TAJUK RENCAN: Schengen dan Dilema UE (Kompas)

Krisis pengungsi yang berasal dari Afrika dan Timur Tengah tidak saja membuat Uni Eropa kewalahan, tetapi bahkan mengancam keutuhan blok.

Dalam sepekan terakhir, negara-negara anggota saling tuding, dan juga muncul aksi-aksi sepihak yang cenderung memunggungi prinsip-prinsip keutuhan blok yang mengedepankan solidaritas, persatuan, dan kemanusiaan.

Lambannya Uni Eropa (UE) menghasilkan sebuah solusi yang cepat dan efektif membuat para anggotanya bergerak sendiri-sendiri untuk menyelamatkan wilayahnya dari serbuan lebih dari satu juta pengungsi.

Austria, Yunani, Hongaria, Bulgaria, Slovenia, Macedonia, dan Slowakia sudah lebih dulu mendirikan pagar pembatas di sepanjang perbatasannya. Langkah lebih ekstrem diputuskan parlemen Denmark, Rabu lalu, dalam bentuk undang-undang yang bukan saja membuat para pengungsi sulit memperoleh suaka, melainkan harta mereka juga akan dirampas untuk biaya hidup di penampungan. Kecaman berdatangan dari berbagai penjuru dunia, bahkan ada yang menyamakannya dengan situasi di masa pendudukan Nazi Jerman yang merampas harta warga Yahudi. Langkah keras juga diambil Swedia yang akan memulangkan 80.000 pengungsi yang gagal memperoleh suaka.

Komisi Eropa, yang pada Rabu lalu mengeluarkan pernyataan bahwa Yunani secara serius mengabaikan kewajibannya untuk mengontrol perbatasan, kini harus mempertimbangkan apa yang disebut sebagai "skenario terburuk". Yaitu, permintaan agar kebijakan bebas paspor di wilayah Schengen dicabut sehingga negara-negara anggota bisa menerapkan kembali pemeriksaan internal di perbatasan. Hal ini dimungkinkan seperti tertuang dalam Pasal 26 Schengen, untuk "kondisi yang luar biasa" dengan jangka waktu maksimum dua tahun.

Penerapan kebijakan di atas membutuhkan proses, yaitu harus dipresentasikan terlebih dulu oleh Komisi Eropa dan kemudian Dewan Eropa akan mengeluarkan rekomendasi untuk setiap negara. Namun, perkembangan ini cukup memprihatinkan. Kebijakan yang menjamin kebebasan bepergian dan tinggal bagi warga Eropa di zona Schengen merupakan simbol persatuan Eropa yang dibanggakan. Kini, simbol itu nyaris runtuh. Yang mencuat justru aksi setiap anggota untuk menyelamatkan kepentingan nasional sendiri-sendiri terlebih dulu.

Ada banyak faktor yang diharapkan akan mampu menjadi perekat kembali UE dan membantu mengatasi krisis pengungsi. Faktor-faktor itu adalah keberhasilan perundingan damai krisis Suriah, relasi lebih baik antara Eropa dan Turki, kepatuhan anggota UE mengikuti aturan termasuk jumlah pengungsi, dan pengaturan kembali relokasi pengungsi dengan bantuan UNHCR. Persatuan dan keutuhan UE tetap menjadi kekuatan mereka dalam percaturan politik global dewasa ini dan mendatang.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Schengen dan Dilema UE".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger