Merayakan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015, harian "Kompas" bersama Lingkar Muda Indonesia menyelenggarakan Diskusi Panel Seri III Tahun 2015 bertajuk "Menyuburkan Kembali Rahim-rahim Kepemimpinan Nasional" pada 28 Desember 2015. Pembicara: Abd A'la (Rektor UIN Sunan Ampel), Mochtar Pabottingi (Profesor Riset LIPI 2000-2010), Fachry Ali (Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia), Ninok Leksono (Rektor Universitas Multimedia Nusantara), dan Margareta Astaman (praktisi bisnis daring). Hasil diskusi yang dirangkum Agus Sudibyo, Tamrin Amal Tomagola, dan Sri Palupi dari LMI diturunkan dalam dua tulisan di halaman 6 dan satu tulisan di halaman 7 hari ini.
Pemimpin sejati yang mumpuni, di tiap negara-bangsa, adalah produk seleksi kumulatif berjenjang yang bertemu dengan penyerbukan silang antarsistem habitat penggodokan kader-kader pemimpin.
Setiap sistem habitat penggodokan kepemimpinan menerapkan tradisi penggemblengan yang khas. Tradisi penggodokan kepemimpinan dalam rahim ranah adat dan lembaga agama di Minangkabau dan Bugis, misalnya, jelas berbeda dengan tradisi dalam rahim makrokosmos budaya dan penghayatan agama di Jawa dan Sunda. Setiap komunitas, lembaga adat, dan lembaga agama dari sekitar 690 suku Nusantara punya tradisi penggodokan kepemimpinan sendiri.
Indonesia sebagai negara-bangsa sesungguhnya bertopang pada ke-690-an suku dan budaya Nusantara yang tersebar dari Merauke hingga Sabang. Inilah yang menginspirasi Bung Karno memperkenalkan istilah 'suku-bangsa' sebagai konsep penghubung antara 'bangsa', sebagai konsep dan satuan politik, dengan 'suku' sebagai konsep dan satuan sosial-budaya.
Menurut Bung Karno, dengan menggunakan metafora 'meja' (Yudi Latif dalam Negara Paripurna, 2011), kebangsaan ibaratnya adalah 'daun-meja', yang memerlukan kaki-kaki 'suku' (sikil = kaki, Jawa) sebagai tumpuan. Nilai-nilai kegotongroyongan, religiositas, dan kerukunan sosial yang saling asih, asah, dan asuh menjadi rujukan sekaligus saripati ideologi Pancasila.
Tidak hanya itu. Negara-bangsa Indonesia juga sejak awal mengandalkan benih-benih kader kepemimpinan dari rahim- rahim sosial-budaya suku-suku dominan, yaitu Jawa, Sunda, Minang, Madura, Bali, Bugis, Minahasa, Ambon, Banten, Melayu, Batak, Aceh, Betawi, Dayak, Sasak, Bima, dan keturunan Tionghoa. Suku-suku ini sangat menonjol menyumbangkan tokoh-tokoh pemimpin nasional dalam hampir semua bidang kehidupan utama mulai politik, ekonomi, diplomasi, militer-pertahanan, sampai kesusastraan dan kepujanggaan.
Negara-bangsa Indonesia adalah puncak pematangan terakhir sekaligus pengguna utama (end-user) dari kader-kader pemimpin yang sebelumnya telah lulus proses penggodokan dalam tradisi-tradisi yang dikelola baik oleh komunitas adat/suku, agama, universitas, perusahaan, pelatihan kemiliteran, juga organisasi massa dan partai politik.
Dalam delapan abad terakhir, sistem penggodokan kepemimpinan nasional telah jatuh-bangun pada era: (1) peletakan fondasi, (2) formatif, (3) pemekaran, (4) penghancuran (5) penistaan sistem, dan (6) peremajaan.
Era peletakan fondasi
Setidaknya sejak abad ke-13, di Nusantara telah mapan sejumlah tradisi penggodokan kepemimpinan tradisional, hasil penyerbukan silang adat lokal dengan agama. Kadar legitimasi para pemuka adat, agama, dan kerajaan berbanding lurus dengan kadar wawasan, pengetahuan, dan penghayatan norma-norma dan etika tata pemerintahan. Di atas fondasi nilai, moral dan etika itulah kewibawaan pemimpin tradisional ditegakkan.
Proses penggodokan kader- kader pemimpin mengandalkan sistem dan mekanisme kelisanan yang bertumpu pada kepatuhan magang, nyantri, dan peniruan mimikri. Jati diri kepemimpinan tradisional ini sangat personal dan patriarkhal.
Rahim-rahim kemasyarakatan Minang, Aceh, Banten, Bali, Bugis, dan Ternate adalah beberapa contoh rahim-rahim yang paling berhasil menyerbuksilangkan tradisi adat dengan agama dalam wadah kerajaan. Seorang pemimpin tradisional saat itu semakin kokoh wibawa kepemimpinannya bila ia berhasil mendapatkan legitimasi dari paling kurang dua dari tiga landasan legitimasi ini.
Literasi dan kesusastraan, terutama yang lisan, berkembang dengan pesat di berbagai kerajaan. Media penyampaian lewat pantun, gurindam, dan petatah- petitih, baik dalam perjamuan kekerabatan terbatas maupun perjamuan umum. Tradisi kesusastraan lisan ini dengan sendirinya memacu warganya mengasah diri dalam kefasihan artikulasi publik. Inilah keterampilan dasar yang sangat instrumental bagi kader pemimpin.
Karakter dan sistem penggodokan kepemimpinan tradisional-patriarkhal kemudian kian mendapat tandingan, tetapi sekaligus juga diperkaya, oleh perjumpaan-perjumpaan kemaritiman, baik dengan sesama rahim sosial-budaya Nusantara maupun rahim-rahim mancanegara. Perjumpaan dengan rahim budaya mancanegara meningkat ketika beberapa usaha penerbitan muncul di Medan, Semarang, Batavia, dan Surabaya. Walaupun masih dalam oplah terbatas, usaha yang dimulai warga keturunan Tionghoa itu menjadi tonggak awal sejarah pencerahan warga.
Politik Etis dalam bidang edukasi, irigasi, dan emigrasi pada hampir dua dekade pertama abad ke-20 adalah momentum kebangkitan kaum terdidik. Kaum terdidik baru umumnya terdiri dari putra-putri aristokrat lokal, disusul putra-putri pemuka adat, agama, dan orang kaya lokal.
Para putra-putri ini—bersama-sama dengan putra-putri peranakan asing Barat dan Timur yang terdidik—saling berbaur dalam lingkungan kelas menengah baru. Inilah cikal bakal perintis kemerdekaan yang ditempa dan dibekali perangkat berpikir, teknis-administratif organisasional, perluasan cita-cita ideologis, dan gagasan-gagasan terobosan.
Pada titik waktu ini, para calon pemimpin bangsa siap terjun ke arena pergerakan. Bermunculanlah berbagai organisasi massa dengan beragam basis keanggotaannya yang terbuka. Sejumlah persyarikatan khusus dalam bidang ekonomi dan budaya juga dibentuk. Dalam bidang politik, Lima Serangkai: Haji Agus Salim, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan Bung Karno, berupaya sungguh-sungguh mendidik kader politik yang berkarakter. Khusus Bung Karno, ia pernah membuka dan mengajar kelas-kelas pelatihan politik.
Berlandaskan nilai-nilai luhur adat dan agama, mereka mengagregasikan permasalahan pokok bangsanya dan mengartikulasikannya dalam rapat-rapat organisasi maupun massa rakyat. Era formatif kepemimpinan bangsa ini berjalan 25 tahun menjelang Proklamasi Kemerdekaan.
Era pemekaran
Pemimpin sejati biasanya hanya muncul saat krisis turbulensi luar biasa, kata Arnold Toynbee, sejarawan dan filsuf Inggris. Demikian pula dengan para pemimpin pembentuk bangsa (the founding fathers and mothers) Indonesia. Walaupun diselingi perselisihan ideologis cukup tajam menjelang proklamasi, para pemimpin bangsa sejati ini berhasil membawa bangsa melewati lima tahun perang kemerdekaan dan menjadi Negara Kesatuan kembali pada 1 Januari 1950. Supremasi sipil berhasil dipertahankan hingga 5 Juli 1959.
Generasi pemimpin perintis dan peletak fondasi negara-bangsa ini mampu menyelenggarakan pemilihan umum pertama yang paling demokratis dan aman tanpa korban jiwa tahun 1955. Walaupun demikian, kerangka bernegara konstitusional dengan multipartai saat itu berimplikasi pada ketiadaan pemerintahan yang stabil. Kabinet demi kabinet beruntun jatuh-bangun.
Kenyataan pahit ini mencuatkan lagi perseteruan lama antara sipil dan militer. Kubu militer yang terwakili dalam Konstituante hasil Pemilu 1955 dalam partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) diperintah oleh Jenderal Nasution untuk memboikot sidang Konstituante yang sedang memperdebatkan landasan ideologi negara (Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Democracy in Indonesia, 1992).
Konstituante digagalkan dengan sengaja oleh kubu militer. Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 adalah lonceng kematian sistem penggodokan kepemimpinan sipil sekaligus tonggak berakhirnya supremasi kepemimpinan sipil di Indonesia.
Di era yang sama, anak-anak yang dilahirkan pada 1940-an sedang beranjak dewasa dan sebagian lagi sedang remaja pada 1950-an. Para remaja dan dewasa-muda ini sedang giat-giatnya berkiprah di berbagai organisasi pelajar dan mahasiswa. Mereka sangat melek informasi sekaligus melek politik, dan mengalami langsung gejolak politik di masa Demokrasi Terpimpin di bawah Pemimpin Besar Revolusi.
Gejolak terutama terjadi karena pertarungan sengit antara parpol dan ormas berideologi agama di satu pihak berhadapan dengan kubu yang berideologi nasionalis dan sosialis-komunis di pihak lain. Organisasi pelajar dan mahasiswa ini kemudian menjadi tempat penggodokan pemimpin nasional. Hampir setiap organisasi pelajar dan mahasiswa mengadakan kursus latihan kepemimpinan dan pesertanya kemudian berkiprah dalam dua era berikutnya.
Mochtar Pabottingi dengan tepat menyimpulkan, era penghancuran sistem rekrutmen dan penggodokan pemimpin nasional secara demokratik mulai di era Orde Lama dan diteruskan secara lebih sistematik, masif, dan sistemik pada era Orde Baru. Seluruh investasi sistem kelembagaan kepemimpinan dihancurkan. Termasuk tradisi penggodokan kepemimpinan milik komunitas adat dan organisasi keagamaan, organisasi pelajar dan mahasiswa, serta organisasi masyarakat sipil, semua dikooptasi dan dimandulkan Orde Baru.
Partai politik "disederhanakan", dikurangi lewat fusi sehingga tinggal tiga. Tangan rezim Orba selalu mengintervensi proses kongres partai tertentu, bahkan proses demokrasi internal dalam rekrutmen kader-kader partai diatur rezim dengan berbagai cara. Bila ada partai yang menolak, rezim Orba tidak segan-segan mengerahkan pasukan militer dan kelompok preman binaannya. Demokrasi dibunuh di pilar utamanya: parpol.
Seperti ditegaskan Daniel Dhakidae (Cendekiawan dan Kekuasaan, 2003), negara fasis Orde Baru begitu pencemburu dan rakus melahap semua pusat, cabang, dan ranting kekuasaan. Rahim militer, khususnya Angkatan Darat, serta birokrasi adalah penyuplai utama robot-robot "pemimpin". Supremasi militer menjadi patokan aturan main dengan adagium: seorang pemimpin sipil tidak boleh menjadi bintang cemerlang di cakrawala.
Sejumlah organisasi proxy diciptakan rezim Orba untuk mengooptasi dan menjinakkan para tokoh adat, agama, serta para sultan. Golkar, yang didanai oleh para pengusaha muda, taipan piaraan rezim Orba, serta BUMN, menjadi operator utama rezim. Namun, Golkar saat itu lebih merupakan partai penguasa, bukan partai yang berkuasa (political party of the ruler rather than a truly ruling party).
Era penistaan
Penghancuran sistem rekrutmen dan penggodokan pemimpin sipil oleh rezim Orba sangat dahsyat dan menyeluruh. Maka, walaupun sekarang sudah hampir dua dekade kita berada dalam era pasca-Reformasi, jangankan membenahi, kerusakan malah menjadi-jadi.
Kerusakan sistemik yang semakin parah ini, menurut Fachry Ali, menjadi tak terelakkan sejak diambil-alihnya kepemimpinan negara-bangsa secara nista oleh para saudagar, pengusaha, dan taipan piaraan Orde Baru. Nista demi nista ditimpakan ke sekujur tubuh dan wajah lembaga-lembaga tinggi negara. Hukum pun digunakan menutup praktik ekonomi-politik nista mereka.
Kuasa duit menggantikan kuasa hukum. Demikian berkuasanya duit, sampai bukan saja proyek pengadaan Kitab Suci dikorupsi, tetapi juga, menurut Abd A'la, lembaran-lembaran rupiah turut berseliweran di arena muktamar ormas agama.
Sirnalah sudah respek rakyat pada keseluruhan tatanan institusional negara-bangsa berikut para elite dan pejabatnya. Politisi dan partai politik kian jadi sasaran pelampiasan kekecewaan dan amarah rakyat. Saat yang sama, rakyat merindukan lahirnya pemimpin mumpuni dari rahim Nusantara.
Banyak pihak berharap semoga momentum pilkada serentak 9 Desember lalu menjadi tonggak sejarah era peremajaan sistem pengaderan kepemimpinan lokal dan nasional. Koreksi elektoral rakyat lewat pilkada serentak telah memunculkan sejumlah pemimpin muda dan setengahnya adalah perempuan.
Kaum muda terbukti berperan menentukan (Ben Anderson) sepanjang sejarah kelahiran negara-bangsa Indonesia. Kaum muda abad ke-21 yang berkarakter lebih terbuka dan kosmopolitan, sangat benci pada kemunafikan, akan menjadi tumpuan.
Walau demikian, ada beberapa hal yang patut diwaspadai. Pertama, seperti dikemukakan Ninok Leksono, terlacak kian meningkatnya baik frekuensi penggunaan gawai-elektronik maupun waktu berselancar di dunia maya di satu pihak dan kian berkurangnya waktu untuk membaca buku di kalangan generasi muda digital masa kini. Generasi digital ini kian terpuruk dalam sindrom perhatian terputus-putus berkelanjutan (continuous partial attention/CPA). Dalam jangka panjang, hal ini dapat memengaruhi konsentrasi dan daya nalar generasi digital.
Kedua, keyakinan Margareta Astaman tentang "aksi maya untuk hasil nyata" dari generasi digital di media sosial perlu catatan. Pertama, dalam media sosial jarang terjadi percakapan deliberatif terfokus dan substantif. Lalu lintas informasi dan gagasan cepat, tetapi dangkal.
Kedua, pengangkatan masalah publik di media sosial hanya mendapat sambutan bila masalah itu sudah menggelisahkan nurani publik. Akhirnya, mobilisasi aksi maya disaring dalam deliberasi kelompok sebaya di dunia nyata sebelum aksi nyata. Kelompok sebaya berfungsi sebagai "plausibility structure" , pihak yang perlu diajak bicara dan dijadikan acuan preferensi.
Walau begitu, peran media sosial sebagai jaringan ungkapan publik dan mobilisasi pencapaian harapan (Manuel Castells,Networks of Outrage and Hope, 2012) semakin luas dimanfaatkan. Jaringan media sosial efektif dalam kepedulian kemanusiaan dan penelanjangan pejabat publik yang nista. Melalui fungsi khusus ini, media sosial dapat mewaraskan dan meremajakan kepemimpinan negara-bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar