Merayakan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015, harian "Kompas" bersama Lingkar Muda Indonesia menyelenggarakan Diskusi Panel Seri III Tahun 2015 bertajuk "Menyuburkan Kembali Rahim-rahim Kepemimpinan Nasional" pada 28 Desember 2015. Pembicara: Abd A'la (Rektor UIN Sunan Ampel), Mochtar Pabottingi (Profesor Riset LIPI 2000-2010), Fachry Ali (Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia), Ninok Leksono (Rektor Universitas Multimedia Nusantara), dan Margareta Astaman (praktisi bisnis daring). Hasil diskusi yang dirangkum Agus Sudibyo, Tamrin Amal Tomagola, dan Sri Palupi dari LMI diturunkan dalam dua tulisan di halaman 6 dan satu tulisan di halaman 7 hari ini.
Yang terjadi antara Orde Reformasi dan orde-orde sebelumnya bukanlah retakan perubahan, tetapi justru sebaliknya, sebuah kontinuitas.
Tahun 1998 tidak menandai suatu babakan baru tatanan politik yang lebih baik, tetapi menandai berlanjutnya mentalitas, budaya, dan sistem politik lama yang dikemas dengan retorika baru: reformasi.
Inilah salah satu kesimpulan dalam diskusi bertajuk "Menyuburkan Kembali Rahim Kepemimpinan Nasional" yang diselenggarakan harian Kompas dan Lingkar Muda Indonesia, 15 Desember lalu.
Secara faktual, struktur kekuasaan politik pasca 1998 masih diisi "orang-orang" lama. Tak ada perubahan berarti dalam motif-motif yang mendasari orang-orang untuk terjun berpolitik, demikian juga perilaku mereka ketika menjadi bagian dari kekuasaan. Tidak ada koreksi yang sungguh-sungguh terhadap sistem politik yang lama. Tidak ada hukuman apa-apa terhadap mereka yang telah menyalahgunakan kekuasaan, pun tidak ada keadilan bagi mereka yang menjadi korban.
Menurut Mochtar Pabottingi, politik Indonesia berjalan dari satu fait accomplike fait accompli lain para pemimpin.Bangsa Indonesia harus menerima bahwa politik yang luhur hanya ada dalam konstitusi dan buku pelajaran sekolah. Sementara dalam kenyataan, politik tidak pernah lepas dari perkara siasat untuk memperdaya orang lain, berdusta, dan bertindak durjana. Demokrasi, keadilan, kerakyatan, dan pengabdian hampir selalu berhenti sebagai semata-mata jargon elite politik untuk menelikung kehendak rakyat.
Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi adalah sebuah kontinuitas dalam konteks ini. Setelah Soeharto lengser tahun 1998, para tokoh reformasi mencoba meniti jalan menuju altar kekuasaan. Ironisnya, mereka kemudian juga tak bisa lepas dari lingkaran kedurjanaan yang sama:nepotisme, kolusi, dan korupsi.
Pailit kepemimpinan
Rangkaian fait accompli elite politik ini telah membawa bangsa Indonesia ke ambang pailit kepemimpinan nasional dan nihilisme moral. Kerancuan antara yang benar dan yang salah terjadi pada taraf yang tak terperikan. Jika menyimak perilaku elite politik dan sikap permisif yang ditunjukkan masyarakat, sulit menentukan standar moralmana yang mendasari kehidupan bersama. Rangkaian fait accompli itu tidak hanya menyebarkan irasionalitas, kerancuan berpikir, dan kebingungan menilai, tetapi juga menyebabkan semua ikhtiar untuk menyelesaikan permasalahan bangsa, termasuk krisis kepemimpinan, praktis terbentur pada simalakama.
Berbicara kepemimpinan nasional, mau tidak mau kita harus membahas posisipartai politik. Partai politik adalah rahim kepemimpinan nasional yang utama. Namun, hari ini, partai politik juga menjadi penyumbang terbesar bagi krisis kepemimpinan yang terjadi. Partai politik selalu menjadi tertuduh utama dari berbagai kedurjanaan politik: penyalahgunaan kekuasaan, pengkhianatan terhadap rakyat, pelanggaran konstitusi, politik tunaetika, dan seterusnya.
Pilkada adalah sarana untuk melahirkan pemimpin yang berkarakter dan menjanjikan perubahan. Presiden Joko Widodo adalah representasi utamanya. Akan tetapi, pilkada juga sebuah simalakama. Proses pemenangan pilkada yang mahal dan transaksional berdampak buruk pada tersanderanya pengelolaan sumber-sumber daya daerah oleh para penyandang dana dan simpatisan.
Pers yang bebas juga sebuah rahim kepemimpinan. Pers memfasilitasi para intelektual, aktivis, dan pengamat untuk mengaktualisasikan gagasan, serta melahirkan tokoh-tokoh nasional berlatar belakang jurnalis sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan Malaka. Namun, kebebasan pers juga diterjemahkan sebagai kebebasan untuk memiliki media dan menggunakannya demi tujuan-tujuan politik. Pemilik media yang berpolitik adalah bagian dari persoalan dalam politik Indonesia hari ini.
Berpolitik tanpa etika
Dunia bisnis pada awalnya juga memberikan harapan bagi kepemimpinan nasional. Pengusaha menjadi politisi menjadi pemandangan biasa dewasa ini. Namun, Fachry Ali mengingatkan kedudukan dunia bisnis sebagai rahim kepemimpinan tidak dilandasi oleh alasan-alasan etis, tetapi oleh alasan-alasan partikular-instrumentalistik. Di era Orde Baru, para pengusaha bersedia menjadi penyokong partai politik ciptaan negara dengan imbalan konsesi dan proteksi bisnis. Sebagian besar pengusaha jenisinilah yang bertahan (survive) hingga kini.
Ketika rezim Orde Baru runtuh pada 1998, mereka tak merasa kehilangan induk, tetapi justru merasa merdeka. Terbebas dari ikatan pada patron politik, hampir secara kolektif mereka kemudian bermigrasi ke dunia politik. Selain membuat kontestasi politik menjadi semakin mahal, migrasi ini juga menguatkan kecenderungan berpolitik tanpa landasan etis. Keriuhan politik dalam Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha Riza Chalid merefleksikan watak tidak etis rahim dunia bisnis itu. Kasus ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang tidak didukung etika bisnis dan politik yang kokoh selalu berpotensi melahirkan kerusakan sistem berbangsa dan bernegara.
Organisasi masyarakat juga tak luput dari jerat krisis kepemimpinan. Menurut Abd A'la, tren pragmatisme politik juga melanda organisasi seperti NU dan Muhammadiyah. Muktamar NU di Jombang, misalnya, tak lepas dari masalah politik uang. Jika demikian keadaan umum rahim-rahim kepemimpinan nasional, adakah perkembangan yang dapat membuat kita optimistis menatap masa depan?
Satu hal yang cukup melegakan adalah peran perguruan tinggi. Menurut Ninok Leksono, perguruan tinggi tetap bisa diharapkan sebagai tempat menempa calon pemimpin. Perguruan tinggi tetap berproses melahirkan generasi muda yang mahir dalam kemampuan teknis-praktis sekaligus punya sensibilitas politis tinggi.
Sedikit kelegaan juga bisa kita rasakan jika memperhatikan fenomena demokratisasi digital. Dalam diskursus tentang kepemimpinan, demokratisasi digital sekurang-kurangnya memiliki dua peranan. Pertama, membuka ruang diskusi dan advokasi politik yang signifikansinya semakin lama semakin tak terbantahkan. Di era media sosial, semakin kecil peluang bagi para pemimpin untuk menyembunyikan kesalahan, serta untuk acuh tak acuh terhadap kritik dan kemarahan publik.Demokratisasi digital memberikan daya tekan yang kuat bagi upaya untuk mengoreksi anomali-anomali kepemimpinan politik yang terjadi.
Kedua, demokratisasi digital hadir bersamaan dengan lahirnya generasi digital. Generasi yang fasih dengan teknologi informasi, sangat ekspresif menyatakan pendapat dan kritis terhadap keadaan. Mereka memiliki mimpi tersendiri tentang kepemimpinan. Seperti dikatakan Ninok Leksono, idola mereka bukan politisi atau pengusaha yang menjadi politisi. Mereka lebih terinspirasi figur pengusaha yang mandiri dan kreatif. Meminjam istilah Tamrin Tomagola,pengusaha yang "mekar karena memar", merangkak dari bawah, tidak tergantung kepada pemerintah.
Generasi digital juga terinspirasi oleh tokoh dunia kreatif, seperti Bill Gates, Steve Jobs, Larry Page, atau Sergey Brin. Yang mereka pupuk setiap saat adalah sensibilitas entrepreneurship atautechnopreneurship. Saat ini, saban hari lahir ribuan usaha rintisan (startup) yang dilakukan anak-anak muda yang bermimpi suatu saat ingin menjadi Bill Gates atau Larry Page.Bukan berarti dengan demikian mereka hanya mengejar karier bisnis. Seperti dicontohkan Margareta Astaman, generasi digital juga memiliki kepekaan sosial. Dengan caranya sendiri, mereka melakukan pengabdian masyarakat: membantu pengusaha kecil atau petani memasarkan produk secara online, menyebarkan virus-virus kreativitas kepada khalayak luas, terlibat dalam berbagai gerakan sosial-politik petisionline.
Demokratisasi digital tak pelak lagi adalah sebuah lokus kepemimpinan yang layak diperhitungkan. Sebuah alternatif yang menjanjikan di tengah-tengah kejumudan, kemandekan, bahkan pembusukan yang terjadi pada lokus kepemimpinan nasional lainnya sebagaimana telah dibahas di atas.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Rahim-rahim Kepemimpinan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar