Di awal pemerintahan Jokowi, gejolak harga daging yang tinggi terutama disebabkan pemangkasan izin impor sapi bakalan di triwulan-III dari 250.000-an ekor menjadi 50.000-an ekor.
Para pengusaha penggemukan sapi potong dituduh melakukan kartel dan penimbunan sapi. Mereka didatangi Bareskrim Polri dan hingga kini hampir setiap minggu para pengusaha sapi penggemukan beralih kantor ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, karena masalah utamanya tak diselesaikan secara tuntas, muncul lagi persoalan lain, yaitu kapal ternak yang tidak mampu beroperasi secara maksimal, disusul kebijakan Permenkeu 267/2016 tentang Pemberlakuan PPN yang melukai bisnis peternakan sapi potong nasional.
Kebijakan ini hanya berumur 15 hari dan dicabut kembali oleh pemerintah. Ada lagi kebijakan Permentan 58/2015 yang membebaskan impor daging variety meat. Komoditas ini nyata-nyata mendistorsi pasar daging sapi lokal. Semua kebijakan itu didasarkan argumen untuk melindungi peternak sapi lokal, tetapi faktanya pemerintah justru membuka peluang impor sebebas-bebasnya sehingga peternak lokal tak berdaya dan harga daging tetap tinggi.
Maksimum sekuriti
Hiruk-pikuk ini sesungguhnya berpangkal pada kebijakan yang disharmoni dan juga pemahaman terhadap kemungkinan yang terjadi pasca implementasi kebijakan tersebut. Para pelaku bisnis peternakan sadar betul bahwa akar masalah utamanya diawali dengan ketidaksempurnaan UU 41/2014 yang direvisi DPR di penghujung masa jabatan SBY sehingga UU ini tak dibahas para pemangku kepentingan yang turut menyusun UU 18/2009.
Di dalam konsiderannya, UU 41/2014 ditujukan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dengan upaya "maksimum sekuriti" terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak, hewan dan produk hewan, dan upaya melakukan pencegahan penyakit hewan. Namun, realitasnya dalam pasal-pasal pada batang tubuh yang diubah dalam UU ini justru sebaliknya, yaitu menjadi "minimum sekuriti". Misalnya Pasal 59 Ayat 2 pada UU 18/2009 bahwa produk hewan yang dimasukkan ke Indonesia boleh dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.
Pasal ini telah diubah MK menjadi "berasal dari suatu negara" bukan berasal dari zona dalam suatu negara, dan dengan mempertimbangkan "maksimum sekuriti". Namun dalam UU 41/2014 hal itu muncul kembali di Pasal 36C: Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.
Pasal ini jelas-jelas tak memperhatikan keputusan judicial review yang dilakukan MK tahun 2009 walaupun dalam perubahan ini terdapat perbedaan antara komoditas produk hewan dan ternak ruminansia indukan. Perbedaan komoditas pada UU 18/2009 dengan UU 41/2014 tidak serta-merta menyebabkan rendahnya risiko yang akan terjadi terhadap berjangkitnya suatu penyakit hewan menular bagi ternak ruminansia.
Waktu penggemukan sapi
Disharmoni berikutnya mengenai perkembangan inovasi teknologi feedlotyang tertera pada Pasal 36B Ayat 5, yaitu: bahwa setiap orang yang memasukkan bakalan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) wajib melakukan penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan.
Ayat ini menunjukkan pemerintah seolah tak menghendaki usaha peternakan di dalam negeri berkembang secara layak bahkan merugikan pengusaha penggemukan sapi potong. Kemajuan teknologi membuat penggemukan sapi potong dapat dilakukan dalam dua atau tiga bulan. Putaran investasi yang ditanam akan memberikan dampak putaran finansial, dan jadi melambat karena aturan di atas.
Uji materi ulang
Berdasarkan beberapa pasal yang disharmoni tersebut, UU 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) layak dilakukan uji materi ulang yang kini tengah dilakukan para pemangku kepentingan.
Kebijakan zona base bisa diterapkan bila pemerintah melakukan tahapan sesuai saran Tim Analisis Risiko Independen (TARI) yang ditunjuk pemerintah tahun 2008, sebagai berikut; (1) perlu dilakukan analisis akademik silang terhadap risiko dan manfaat dari zona base ataupuncountry base. (2) Adanya kesiapan SDM, sarana dan prasarana, serta sistem kesehatan hewan yang mampu mendukung program mitigasinya. (3) Kelayakan ekonomi finansial ditinjau dari biaya transportasi, loading danunloading, karantina, pengawasan, dan lainnya.
Kemudian, (4) faktor keamanan, yaitu jaminan terhadap lalu lintas keluar masuk wilayah/trace ability secara berkeberlanjutan, termasuk perangkat SPS dan ALOP (acceptable level of protection) untuk penyakit mulut dan kuku (PMK), dan (5) ketersediaan dana tanggap darurat siap pakai, jika terjadi wabah PMK, serta peningkatan kemampuan surveilans dan pelimpahan wewenang surveilans PMK dari Pusvetma di Surabaya ke laboratorium veteriner regional (BPPV/BB Vet) di seluruh Indonesia. Semua saran dan tindakan tersebut tentunya berpegang kepada konsep maksimum sekuriti terhadap kemungkinan peluang terjadinya wabahpenyakit hewan menular bila negeri ini mengadopsi zona based.
Sampai saat ini seluruh saran tim TARI masih belum dipublikasikan secara terbuka oleh pemerintah. Bahkan, yang mengagetkan dalam paket kebijakan ekonomi jilid IX, pemerintahan Jokowi telah menetapkan akan membuka masuknya importasi sapi indukan dari negara zona bebas penyakit PMK. Padahal, sebagaimana diketahui, uji materi terhadap pasal ini tengah berlangsung di MK.
Rancangan pembangunan
Masih banyak kebijakan disharmoni yang harus diharmonisasi baik internal maupun antar kementerian. Misalnya, tentang istilah sapi indukan dan lembu yang tak terdapat dalam nomenklatur standar sehingga mengakibatkan kerugian bagi pelaku bisnis. Kebijakan larangan penggunaan hormon pertumbuhan di dalam negeri, sementara pemerintah membolehkan impor ternak yang menggunakan hormon itu. Tampaknya pembangunan peternakan sapi di era Jokowi dilakukan tanpa konsep baku yang terstruktur dan terukur.
Selain itu, yang paling memilukan, sikap pemerintah terhadap para pelaku bisnis, yakni mereka tak lagi dianggap sebagai mitra kerjanya, malahan sepertinya sebagai "musuh" yang mengganggu jalan roda pembangunan. Sesungguhnya, untuk keluar dari kemelut ini, langkah awal adalah melakukan harmonisasi seluruh kebijakan dan perlakuan yang disharmoni selama ini dengan konsep lugas yang berpihak pada kemampuan produksi sapi lokal di dalam negeri.
ROCHADI TAWAF
Dosen Laboratorium Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Unpad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar