Pada Rabu (17/2) sekitar pukul 18.15, dalam perjalanan pulang dari tempat kerja di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, saya melewati perempatan jalan ke arah Mega Kuningan (jalanan di belakang Kedutaan Besar Belanda).
Pada saat yang sama, lewat kendaraan polisi dari unit patroli dan pengawalan yang sedang mengawal mobil berpelat RI 4x. Saat itu, lampu lalu lintas di jalur kendaraan mereka sedang menyala merah, yang artinya semua kendaraan harus berhenti.
Namun, mungkin karena nyala lampu merah dianggap terlalu lama, Pak Polisi langsung mengambil alih pengaturan lalu lintas. Dia menyetop arus lalu lintas di jalur-jalur lain agar mobil pejabat yang ia kawal bisa segera bergerak.
Setelah mobil RI 4x tersebut meluncur, Pak Polisi melanjutkan tugas pengawalannya, meninggalkan begitu saja lalu lintas yang semrawut di perempatan tersebut.
Pertanyaan saya, apakah di negeri ini para pejabat yang terhormat sama sekali tidak boleh terkena macet? Bila bapak pejabat RI 4x tersebut tidak ingin terlambat ke tempat yang dituju, seharusnya berangkat saja lebih awal, bukan mengambil jalan pintas dengan mengambil hak para para pengguna jalan raya yang lain.
Menurut pengamatan saya, perilaku berlalu lintas seperti ini tidak saja sering dilakukan para pengemudi mobil berpelat RI, tetapi juga oleh para pejabat polisi dan TNI. Apakah jalan raya memang milik mereka? Apakah jalan raya dibangun dengan uang mereka? Apakah mereka sadar dari manakah sumber gaji mereka?
Harusnya tidak ada toleransi dan diskriminasi di jalan raya. Siapa pun mereka, apa pun jabatannya, peraturan lalu lintas harus dihormati. Pengecualian tetap bisa diterima untuk ambulans atau mobil jenazah, tetapi bukan untuk para pejabat. Jalan raya dibangun dengan uang rakyat, bukan uang para pejabat.
AVRIS SIAHAAN
Rawalumbu, Kota Bekasi
"Nursery Room" di Bandara
Saya ibu menyusui yang selalu harus memerah ASI di mana pun, demi kelangsungan nutrisi bayi saya. Pada Minggu (14/2), saya berada di Bandar Udara Soekarno-Hatta, menunggu jam keberangkatan pesawat yang akan saya tumpangi.
Pada pukul 09.45 saya bermaksud memompa ASI di ruang perawatan bayi (nursery room) terminal keberangkatan 2F.
Saat saya masuk, ruang perwatan bayi tampak penuh. Di sana ada lima orang: seorang ibu dengan dua anak laki-lakinya (seorang balita dan seorang anak di atas lima tahun) yang sedang bermain dengan gawai mereka; serta seorang ibu lain dengan bayi berusia hampir setahun, yang juga sedang bermain.
Tidak ada satu pun yang sedang menyusui, mengganti popok bayi, atau kegiatan lain yang layak dilakukan dinursery room.
Saya memohon diberi tempat untuk duduk, karena hanya ada satu sofa panjang di sana. Mereka bergeser memberi saya tempat sekitar 30 sentimeter di antara mereka. Saya dengan peralatan pompa ASI, tentu saja tidak cukup di ruang sesempit itu.
Setelah memberi tempat duduk sekadarnya, mereka tidak menggubris saya lagi. Saya pun keluar dan memanggil petugas dengan harapan ia menegur mereka agar memberi tempat lebih luas kepada saya.
Saat petugas mengecek ke dalam ruangan, ibu-ibu di dalam ruangan itu langsung menjawab, "Aduh bu, kami di sini saja, ya. Anak-anak pada ngantuk nih, mau tiduran."
Akhirnya petugas mengatakan kepada saya, "Mbak mompa ASI-nya di toiletdisable person aja, ya?" Saya menolak, karena selain khawatir banyak kuman, toilet bukan tempat yang layak untuk memerah ASI.
Saya bertanya-tanya mengapa harus saya yang notabene sangat membutuhkannursery room yang harus mengalah, sementara ketujuh orang yang ada di sana hanya bersantai-santai.
Mohon pengelola Bandara Soekarno-Hatta menetapkan peraturan pemanfaatan nursery room, sehingga jika terjadi sengketa, petugas dapat mengambil keputusan berdasar skala prioritas yang sesuai dengan peraturan tersebut.
Bagaimana bangsa ini dapat menyukseskan Program ASI Eksklusif jika kegiatan ibu menyusui tidak didukung. Saya bersyukur sudah banyak tempat menyediakan nursery room, namun perlu aturan penggunaannya.
VEGA PIRENEA
Jl Pesanggrahan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar