Padahal, monarki Arab Saudi saat ini menghadapi tantangan demikian berat baik internal maupun eksternal. Dari internal, monarki ini sudah berumur cukup tua. Salah satu persoalan pentingnya adalah suksesi dari generasi anak ke generasi cucu.
Anak laki-laki pendiri Saudi ini hanya sekitar 37 orang, ada yang menyebut angka 35, tetapi juga ada yang menyebut 45 anak. Dari jumlah itu, tujuh orang dari ibu pertama adalah anak-anak yang paling menonjol sebagai penerus takhta Saudi. Faktanya, dari enam raja Saudi setelah Abdul Aziz bin Saud (pendiri), dua di antaranya anak-anak dari ibu pertama. Mereka adalah Fahd dan Salman, raja sekarang.
Sementara generasi cucu terdiri dari ratusan pangeran. Masa-masa setelah Raja Salman adalah saat-saat yang krusial bagi masa depan kerajaan itu. Sebab, saat itu diperkirakan akan terjadi suksesi dari generasi kedua ke generasi ketiga. Mampukah keluarga kerajaan dengan klan yang sangat banyak dan saling bersaing ini memperoleh kesatuan suara mengenai suksesi.
Yang pasti, belum ada aturan pakem untuk menentukan siapa yang akan jadi putra mahkota atau deputi putra mahkota yang kemudian akan jadi raja. Aturan yang ada hanyalah yang berhak atas takhta adalah anak-anak laki-laki pendiri kerajaan itu. Sekarang, takhta akan diberikan kepada generasi cucu, padahal masih ada beberapa anak pendiri kerajaan yang masih hidup.
Ketika ini diberikan kepada generasi cucu, juga belum ada aturan pakem siapa yang paling berhak atas kedudukan itu. Apakah, cucu tertua, cucu tertua dari anak tertua, atau yang paling cakap memimpin, ataukah rotasi kekuasaan antarklan sebagaimana pola pada generasi anak, atau yang disepakati keluarga kerajaan. Ini semua belum jelas. Persoalan internal lain adalah kesadaran kuat masyarakat Saudi akan hak mereka untuk menentukan masa depan. Meskipun demokratisasi di beberapa negara Arab "gagal", kesadaran bahwa rakyat seharusnya menjadi penentu dalam menata negara dan rakyat seharusnya berkuasa menyebar kuat di kalangan rakyat Saudi. Peran media-media baru tidak bisa diremehkan dalam hal ini.
Kesadaran itu akan bisa meledak menjadi gerakan protes hebat jika standar hidup masyarakat Saudi semakin turun seiring penurunan harga minyak dan terforsirnya anggaran untuk militer. Kesejahteraan sosial semakin terabaikan. Apalagi, kesadaran akan diskriminasi antara mereka yang dalam tembok tinggi istana dan di luarnya juga menguat terutama dalam hal kebebasan, pemberlakuan hukum agama, dan kemewahan.
Dalam situasi itu, monarki Saudi juga harus menghadapi tantangan eksternal begitu besar. Lingkungan baru pasca musim semi Arab benar-benar liar dan tak terkendali. Konflik sektarian begitu tajam. Kelompok-kelompok ektremis dan teroris berkembang pesat terutama di area-area konflik. Campur tangan lintas negara oleh aktor kawasan ataupun internasional kian terang-terangan. Semua itu menciptakan tantangan yang demikian hebat bagi monarki ini.
Potensi kekacauan
Pertanyaannya, mampukah monarki yang terbiasa "nyaman" dalam stabilitas dan kemakmuran luar biasa ini bertahan di tengah kepungan persoalan internal dan eksternal? Ataukah agresivitasnya di Yaman, Suriah, dan negara Arab lain akan membuat solid ke dalam dan membantu monarki ini survive, atau justru sebaliknya?
Jawabannya sederhana, monarki ini akan bertahan jika mampu mengatasi tiga level persoalan itu sekaligus, yaitu persoalan dalam keluarga kerajaan, masyarakat Saudi, dan pergaulan kawasan. Jika persoalan pertama saja yang mampu diatasi, yang terjadi kemungkinan adalah kekacauan luar biasa sebagaimana terjadi di negara musim semi lain. Rakyat bergerak menuntut rezim dibubarkan. Sementara rezim bertahan dengan segala cara, termasuk menggunakan senjata canggih yang diborong beberapa tahun terakhir.
Jika persoalan pertama dan kedua bisa diatasi, Saudi kemungkinan tetap melakukan petualangan "militer" seperti sekarang. Terlibat konflik di mana-mana dengan dalih mempertahankan atau membela umat Muslim sunni meski tujuan utamanya hanyalah untuk menjaga survivalnya dan menjaga stabilitas dalam negeri dari pengaruh lingkungan yang tak "sehat".
Jika tiga persoalan ini sekaligus dapat diatasi, siapa pun yang memimpin Saudi, baik generasi kedua maupun ketiga, monarki ini akan jaya. Solid dalam keluarga, masyarakat terkontrol, dan nama dan pengaruh monarki ini semakin hebat di fora regional dan dunia Islam. Itu artinya, Saudi berhasil memaksa Houtsi di Yaman mundur dan merestorasi kepemimpinan Manshur Hadi, pemerintah yang menurut mereka sah. Itu juga berarti Saudi berhasil memaksa Assad turun, baik melalui jalur diplomasi maupun senjata, dan mengantarkan oposisi-oposisi dukungannya ke tampuk kekuasaan di Suriah.
Itu juga berarti Saudi berhasil dan berperan besar dalam melumpuhkan negara horor NIIS ataupun kelompok-kelompok radikal lain di kawasan. Pertanyaannya, mampukah rezim yang dipimpin orang yang sudah berusia 80 tahun atau anak muda sekitar 30 tahunan yang sama sekali tak punya latar belakang dan pengalaman di bidang itu melaksanakan pekerjaan maha berat ini?Wallahu a'lam.
IBNU BURDAH
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam; Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Ketahanan Monarki Arab Saudi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar