Sayang, dalam kenyataannya beberapa di antaranya tidak terintegrasi dan tak sinkron, bahkan saling bertentangan secara filosofis dan paradigmatik. Artinya, terdapat UU yang dianggap tidak sejalan dengan UUD 1945 dan prinsip demokrasi. Selain itu, bagian terbesar UU ini juga belum mengantisipasi perkembangan teknologi yang mengarah konvergensi media dan komunikasi.
UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya Pasal 27 Ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik, telah membawa banyak orang ke penjara. Menariknya, pada bagian menimbang yang merupakan landasan filosofis, tidak terdapat keinginan membangun satu sistem komunikasi yang demokratis. Tak ada kutipan Pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi manusia, khususnya Pasal 28 F yang menjamin kebebasan berkomunikasi melalui segala jenis saluran yang tersedia. UU ITE ini hanya mengutip Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 20 tentang hak presiden dan DPR membuat UU. Ini adalah UU yang tidak demokratis dan harus dikembalikan ke maksud tujuan awalnya, yaitu mengatur transaksi elektronik yang terutama bersifat komersial.
Sementara UU Perfilman masih memiliki Lembaga Sensor Film (LSF), yang dalam UU Pers tidak boleh ada sensor terhadap pemberitaan media. Dalam negara demokrasi, seharusnya LSF ini berubah dan menjadi Lembaga Klasifikasi Film, terutama untuk melindungi anak-anak.
UU Telekomunikasi sendiri sudah sangat ketinggalan zaman: meski dibuat masa awal reformasi, RUU-nya sudah dibuat pada 1996, di era liberalisasi bisnis besar-besaran akhir Orde Baru. Itu sebabnya UU Telekomunikasi membolehkan industri telekomunikasi dikuasai asing, sementara di industri penyiaran modal asing maksimal 20 persen.
Yang menarik, UU Pers, UU Kebebasan Informasi Publik (KIP), dan UU Penyiaran sangat konstitusional dan demokratis. Hal itu dapat dilihat dari bagian menimbang dan batang tubuhnya. Problem besarnya justru pada implementasi UU, khususnya UU Penyiaran. Ketiga UU ini sekarang menjadi benteng demokrasi media dan komunikasi di Indonesia.
Perkembangan teknologi berjalan begitu cepat. Kehadiran Netflix yang merupakan layanan streaming video membuat dunia penyiaran dan telekomunikasi bergolak. Netflix ditutup PT Telkom dengan beberapa alasan. Sementara Hooq, sejenis Netflix yang dimiliki Singtel, diperkirakan masuk ke Indonesia lewat Telkomsel. Singtel memiliki 35 persen saham di Telkomsel.
Dari peristiwa ini saja dapat kita lihat terjadi persaingan bisnis yang bersifat kapitalistis itu. Di samping itu, perkembangan teknologi telah membuat kabur batas antara penyiaran dan telekomunikasi. Artinya, telah terjadi konvergensi.
Proses berlangsungnya konvergensi ini dipercepat usaha negara dan masyarakat. Beberapa waktu lalu, Google mengumumkan perjanjian dengan XL Axiata, Indosat, dan Telkomsel, yang menggunakan spektrum 900 MHz. Untuk itu, diluncurkan tiga balon Loon di lapisan 20 kilometer di atas wilayah Indonesia guna melayani kebutuhan internet. Ini adalah langkah hebat. Komunikasi dapat dilakukan dari tempat mana pun. LSM ICT Watch pun bereaksi, meminta pemerintah juga mendukung teknologi alternatif "open BTS".
Kemajuan teknologi menyebabkan antara lain konvergensi media, yaitu radio dan televisi yang telah berlangsung lama. Juga antara komputerisasi, komunikasi, dan isi media. Telematika sendiri adalah gabungan jaringan komunikasi dan teknologi informasi atau antara telekomunikasi dan teknologi informasi.
Banyak negara mengantisipasi kemajuan teknologi ini dengan melakukan amendemen dan perubahan regulasi. Amerika Serikat (AS) sampai hari ini tetap menggunakan istilahtelecommunication act dengan perbaikan yang mengantisipasi perkembangan teknologi ini. Di AS, kita mengenal Federal Communications Commission (FCC), sebuah badan independen dengan kekuasaan mengatur komunikasi dengan atau tanpa kabel.
Di Inggris terdapat Communication Act 2003 yang mengatur kehidupan telekomunikasi dan media elektronik. Terdapat Office of Communications (Ofcom), sebuah otoritas untuk bidang industri komunikasi. Ofcom meregulasi kehidupan televisi, radio, telepon fixed line ataupun mobile, dan beberapa kegiatan komunikasi lainnya, termasuk memberikan izin. Di Australia terdapat The Australian Communications and Media Authority (ACMA) yang bertanggung jawab atas regulasibroadcasting, internet, radio communication, dan telecommunication.
Seperti telah disebutkan, beberapa UU di bidang media dan komunikasi ini secara paradigmatik berbeda dan bertentangan dan belum adaptif terhadap perkembangan teknologi. Itu sebabnya, perlu perbaikan dan perubahan agar terintegrasi, sinkron, demokratis, dan mengantisipasi perkembangan teknologi berdasarkan UUD 1945. Kita dapat menyebutnya UU Komunikasi atau UU Telekomunikasi, UU atau Media dan Komunikasi. Ini seharusnya segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.
AMIR EFFENDI SIREGAR
Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Konvergensi Regulasi Komunikasi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar