Sebagai pengawas dan pembuat kebijakan, pemerintah hendaknya tidak bergaya polisi lalu lintas yang membuat target harus menemukan pelanggaran. Setelah bertahun- tahun 240 lebih PTS—dari 4.300 PTS dengan 22.000 lebih program studi di bawah koordinasi 14 Kopertis—melanggar kebijakan dan peraturan, pengaktifan kembali 104 PTS melegakan.
Nasib sivitas akademika, khususnya puluhan ribu mahasiswa, ribuan dosen, karyawan, dan yayasan pemilik PTS, memperoleh kejelasan. Pemerintah akan membantu pembenahan dengan memperbantukan dosen negeri di swasta untuk waktu tertentu (detasering). Kekurangan dosen di PTS, dari sisi jumlah—menurut data Kemristek dan Dikti saat ini 4.597 orang—apalagi dari sisi kapabilitas dan kualitas, perlu ada perbaikan.
Isu PTS dianaktirikan ada benarnya. PTN dan PTS memang harus berbeda, khususnya dalam hal sumber dan pengelolaan dana. Sebaliknya dalam pemeringkatan, sudah dibuat strategi pendapat umum, negeri lebih baik daripada swasta. Sementara fakta di lapangan, berdasarkan kualitas lulusan maupun kelengkapan sarana dan prasarana, sejumlah universitas swasta memiliki fakultas atau program studi tertentu jauh lebih baik daripada universitas negeri.
Beragamnya PTS dengan beragam motivasi, termasuk motivasi bisnis, perlu diterima sebagai keniscayaan. Banyak PTS mengembalikan apa yang diberikan mahasiswa untuk keperluan pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat. Namun, banyak PTS besar—dalam arti status terakreditasi A, jumlah mahasiswa, dan akseptabilitas lulusannya di masyarakat—bergelut dengan nafsu bisnis.
Pengawasan terhadap PTS besar tidak dengan pengandaian "yang besar dengan sendirinya melakukan misi pendidikan yang seharusnya", tetapi juga seberapa jauh rambu-rambu dilanggar. Supervisi tidak mencukupi hanya dengan beresnya persyaratan administratif, tetapi juga realitas praksis pendidikan sehari-hari, termasuk beragam persoalan yang membelitnya.
Dengan sikap itu, Kemristek dan Dikti menempatkan diri sebagai pemberi kebijakan yang tak hanya bijak dalam peraturan, juga kreatif dalam penerapan. Setelah penyelenggaraan pendidikan tinggi dilepas dari Kemdikbud dengan tujuan peningkatan kegiatan riset, yang menonjol pembenahan PTS abal-abal, belum ke peningkatan riset.
Kita apresiasi pengaktifan kembali 104 PTS, senyampang itu ditunggu segera ada titik terang bagi 139 PTS lainnya, selain kebijakan yang adil dan kreatif dalam mengembangkan hubungan serasi PTN dan PTS. Jika terpaksa ditutup, itu pun merupakan pilihan terakhir.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Kebijakan Masalah PTS".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar