Sebelum ini kita mendengar berita bahwa nyamuk juga mulai merambah daerah pegunungan, yang—karena dingin—sebelumnya tidak pernah terjadi. Pemanasan global telah mengubah peta penyebaran penyakit.
Rupanya kondisi lingkungan yang berubah membuat habitat pembawa penyakit semakin luas, ke daerah baru yang tidak biasa. Hal ini, oleh Umar yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan mantan Kepala Puslitbang Kesehatan Kementerian Kesehatan ini, diakui belum sepenuhnya bisa dipelajari.
Daerah yang semula rawa, dan kini berubah jadi perumahan, menjadi habitat baru nyamuk Aedes aegypti yang membutuhkan genangan air bersih. Padahal, jenis nyamuk ini membawa virus dengue, Zika, dan chikungunya.
Umar memberi contoh lain, perubahan hutan menjadi kebun sawit. Jika ada binatang kecil yang bergantung pada binatang besar sebagai sumber makanan, dan kini hewan besar tiada lagi karena sudah digantikan manusia, binatang kecil tadi lalu mengambil makanan dari manusia.
Peneliti nyamuk di Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit, Triwibowo, juga menjelaskan alih fungsi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, telah menyebabkan nyamuk penular malaria—Anopheles sundaicus—berkembang biak.
Ketika ada hutan mangrove, nyamuk ini tidak bisa berkembang karena makanannya, sejenis ganggang, terbatas. Setelah mangrove dibuka, air dengan kadar garam tertentu memicu pertumbuhan ganggang yang kemudian menarik nyamuk tersebut. Dalam kaitan inilah kita diingatkan potensi dampak kebakaran hutan seluas 2,1 juta hektar di sejumlah daerah tahun lalu. Memang, dampak ikutannya tidak segera timbul.
Peneliti lain, Budi Haryanto dari Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia menyebutkan faktor lain. Di masa dulu, 15-20 tahun silam, musim kemarau masih berlangsung 6 bulan, musim hujan juga 6 bulan. Sekarang, di sejumlah wilayah musim hujan bertambah lama sehingga genangan air bersih kian banyak. Dampaknya, tempat perindukan bertambah, dan itu menambah jumlah nyamuk.
Ini makin meyakinkan kita bahwa perubahan iklim ikut menjadi faktor dalam perubahan kondisi habitat binatang pembawa penyakit. Selain habitat, yang ikut berubah juga faal dan perilaku vektor (pembawa penyakit). Hal ini mempersulit pemberantasan penyakit yang ditimbulkan. Pekerjaan rumah kita adalah merespons perubahan yang terjadi dengan bijak dan benar.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Lawan Manusia Makin Tangguh".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar