Dalam penjatuhan hukuman bagi terdakwa kasus korupsi, ringan-beratnya putusan dapat dilihat dari beberapa elemen. Di antaranya, lama pidana penjara, denda pidana, penjatuhan uang pengganti, dan pidana tambahan lain seperti pencabutan hak politik. Secara sederhana, hukuman berat haruslah tampak pada masing-masing elemen penghukuman. Tentu penjatuhan hukuman berat juga harus memperhatikan besarnya kesalahan terdakwa. Namun, harapan publik agar pelaku korupsi dihukum berat harus pula dipertimbangkan.
Kecenderungan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tampaknya masih terus berlanjut hingga sekarang. Sebagai gambaran umum, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kajian tentang tren vonis pengadilan tipikor menemukan fakta yang cukup mengkhawatirkan. Mayoritas perkara korupsi sejak 2013 hingga 2015 hanya dihukum 1 tahun sampai 1 tahun 6 bulan. Artinya, mayoritas perkara korupsi yang diputus di pengadilan tipikor masuk kategori hukuman sangat ringan. Pidana pokok yang ringan juga dibarengi pidana alternatif, seperti penjatuhan denda yang juga tergolong ringan. Dari catatan ICW, mayoritas terdakwa (309) hanya dijatuhi denda Rp 50 juta.
Dari sisi pengembalian kerugian negara pun demikian. Pengadilan tipikor belum optimal membebankan pembayaran uang pengganti bagi pelaku korupsi. Dari total kerugian negara yang terpantau, jumlah pembebanan uang pengganti tidak 100 persen menutupi kerugian negara yang terjadi. Tentu ini fakta sangat mengejutkan mengingat harapan besar publik agar pengadilan tipikor dapat menjatuhkan hukuman setimpal kepada pelaku.
Persoalan hukuman ringan bagi pelaku korupsi dari hasil kajian tersebut umumnya disebabkan tiga faktor utama. Pertama,tuntutan jaksa penuntut umum yang ringan. Penjatuhan hukuman oleh hakim dalam persidangan kasus korupsi juga mengacu pada tuntutan jaksa. Karena itu, tuntutan rendah jaksa juga memainkan peranan kunci dalam vonis pengadilan tipikor. Sepanjang 2015, mayoritas perkara hanya dituntut 18 bulan penjara atau 1 tahun 6 bulan oleh jaksa. Rendahnya tuntutan jaksa juga dibarengi ketiadaan inovasi dalam penuntutan. Tak satu pun kasus yang juga dituntut dengan pidana tambahan, seperti pencabutan hak politik.
Kedua, ketiadaan pedoman pemidanaan dalam menjatuhkan vonis perkara korupsi. Hakim cenderung menjatuhkan pidana minimum kepada terdakwa karena ketiadaan pedoman pemidanaan. Alhasil, dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku korupsi, sering kali hakim tidak memiliki dasar perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan. Hakim sering kali menggunakan feeling dalam menjatuhkan hukuman yang tepat bagi terdakwa.
Sederhananya, ketiadaan pedoman pemidanaan memunculkan pertanyaan: apa landasan perhitungan hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi seorang terdakwa? Ketiadaan pedoman pemidanaan pada akhirnya menyebabkan hakim cenderung memutus seorang terdakwa dengan hukuman seringan-ringannya.
Ketiga, faktor lain yang memengaruhi adalah konstruksi hukuman dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Secara umum, Pasal 2 ditujukan secara luas bagi pelaku korupsi terkait kerugian negara, dan Pasal 3 dikhususkan bagi penyelenggara negara atau pejabat publik. Namun, pembuat UU justru menjatuhkan pidana lebih ringan bagi penyelenggara negara atau pejabat publik.
Arah pemidanaan
Pemidanaan dalam UU tindak pidana korupsi setidaknya bertujuan memberikan penjeraan juga mengembalikan kerugian keuangan negara yang timbul dari kasus korupsi. Jika menggunakan sudut pandang penjeraan, ancaman hukuman dalam Pasal 2 dan Pasal 3 masih tergolong kategori ringan. Jika dibandingkan hukuman dalam tindak pidana biasa, hukuman dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tak mencerminkan hukuman bagi kejahatan luar biasa. Selain itu, tujuan pengembalian kerugian negara pada kenyataannya masih belum maksimal. Masih ada kesempatan terdakwa menghindar dari kewajiban membayar uang pengganti.
Persoalan hukuman ringan bagi terdakwa kasus korupsi sedikit banyak berpengaruh pula pada upaya menekan angka korupsi. Mustahil pemerintah dan aparat penegak hukum berupaya menekan angka korupsi jika di sisi lain upaya tersebut dimentahkan oleh vonis ringan pengadilan tipikor. Upaya pemerintah juga harus dibarengi dengan semangat memunculkan efek penjeraan dan penangkal melalui putusan pengadilan tipikor.
Jika berkaca pada sejumlah persoalan itu, penting rasanya mengonstruksi ulang kebijakan pemidanaan dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah harus merevisi UU Tipikor agar vonis ringan pengadilan tipikor tidak kembali berulang. Revisi itu difokuskan untuk memperberat elemen hukuman bagi pelaku korupsi. Upaya itu juga harus dilakukan secara paralel dengan memperketat pemberian remisi atau pembebasan bersyarat bagi pelaku korupsi. Memperketat sistem pengawasan di lembaga pemasyarakatan juga penting dilakukan. Jangan sampai upaya menjerakan pelaku korupsi menjadi kontra produktif karena adanya praktik jual beli fasilitas di lembaga pemasyarakatan.
Selain itu Mahkamah Agung juga sebagai institusi tertinggi harus bertanggung jawab terhadap vonis ringan kasus korupsi. Keberadaan pedoman pemidanaan mutlak diperlukan untuk memperkecil ruang diskresi hakim dan potensi penyalahgunaan diskresi tersebut. Keberadaan pedoman pemidanaan merupakan instrumen yang sangat penting dalam mendistribusikan putusan pengadilan yang berkeadilan. Perlu dipahami bahwa pedoman pemidanaan bukanlah merupakan bentuk intervensi terhadap independensi dan kemandirian hakim, melainkan upaya menegakkan martabat hakim dan memulihkan kepercayaan publik bagi institusi pengadilan.
Rasanya merevisi UU Tindak Pidana Korupsi menjadi lebih mendesak ketimbang merevisi UU KPK. Revisi UU Tindak Pidana Korupsi sangat berpengaruh signifikan bagi upaya pemberantasan korupsi.
ARADILA CAESAR IFMAINI IDRIS
PENELITI HUKUM ICW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar