Temuan Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (GP Ansor NU) atas buku pelajaran untuk tingkat taman kanak-kanak yang mengandung unsur radikalisme (20/01/2015) mestinya menjadi lonceng peringatan. Dalam temuan GP Ansor NU itu, terdapat 32 kalimat dalam buku tersebut yang mengarahkan siswa sebagai pembaca kepada tindakan radikalisme. Kalimat itu antara lain "sabotase", "gelora hati ke Saudi", "bom", "sahid di medan jihad", hingga "cari lokasi di Kota Bekasi". Juga ada kalimat dan kata-kata lain yang mengandung benih ajaran radikalisme, di antaranya "rela mati bela agama", "gegana ada di mana", "bila agama kita dihina kita tiada rela", "basoka dibawa lari", "selesai raih bantai kiyai", dan "kenapa fobia pada agama".
Temuan kasus di atas memang di Depok, Jawa Barat, dan buku itu memang dicetak di Solo, Jawa Tengah. Namun, penyebaran buku itu sudah lintas provinsi. Apalagi, buku itu telah dicetak ulang hingga ke-167 sejak terbit tahun 1999. Intinya, buku tersebut sudah mengalami penyebaran dan konsumsi yang luas oleh siswa di seluruh Indonesia. Untuk itu, perhatian penuh layak diberikan kepada buku-buku bermuatan benih radikalisme. Kepentingannya adalah agar sekolah, melalui buku pelajaran yang disampaikan kepada siswa, tak menjadi media untuk menyebarkan benih radikalisme di tengah masyarakat.
Betul kata pepatah bahwa, jati diri seseorang ditentukan dari apa yang dibaca atau apa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, bahan bacaan bisa memainkan peranan penting untuk membangun jati diri anak bangsa. Dalam kaitannya dengan radikalisme dan terorisme, bahan bacaan yang disampaikan dan diajarkan di sekolah akan bisa mencuci otak anak bangsa. Di sinilah kaitan antara buku bacaan dan pendidikan jati diri anak bangsa.
Sementara, kita tahu, pendidikan itu sendiri memiliki tujuan politik membentuk nilai kewarganegaraan dan kewargaan yang baik. Pakar pendidikan Stephan Millett (2008:23) mengingatkan kita terhadap pentingnya penguatan tujuan politik pendidikan ini. Tujuan dari pendidikan adalah untuk menciptakan warga negara yang baik. Kata "baik" di sini antara lain dimaknai sesuai dengan konstitusi negara yang bersangkutan.
Tak pernah ada pendidikan di sebuah negara yang tak dikaitkan dengan nilai kewarganegaraan sesuai konstitusi yang dianut. Di belahan dunia mana pun, terlepas dari apa pun ideologinya, negara memiliki kepentingan dengan berbagai bentuk pendidikan yang dijalankan dan dinikmati warga negaranya.
Kepentingan itu, pada titik paling ekstrem, agar pendidikan yang ada di tengah warganya tidak bertentangan dengan ideologi yang dianut negaranya. Pada titik paling sederhana agar tercipta warga negara yang diharapkan oleh negara itu.
Politik pendidikan
Sebagai konsekuensinya, tidak pernah terjadi sebuah pendidikan di sebuah negara mana pun tanpa campur tangan negara. Kontrol negara pasti dilakukan terhadap semua bentuk dan jenjang pendidikan. Dalam konteks inilah, politik pendidikan menjadi sebuah fakta yang tidak pernah sirna dari praktik pendidikan di negara mana pun. Untuk itu, argumen yang dibangun Stephan Millet bahwa pendidikan pada akhirnya untuk menghasilkan warga negara yang baik berlaku pada dan dianut semua negara, terlepas dari ideologi dan bentuk sistem pemerintahannya.
Begitu pun dengan Indonesia yang berasas Pancasila dan dijalankan dengan sistem pemerintahan demokrasi. Negeri ini tentu saja memiliki kepentingan dengan seluruh ragam pendidikan yang di jalankan di dalamnya agar bisa menciptakan good citizens (warga negara yang baik) sesuai dengan semangat Pancasila dan pemerintahan demokrasi, sebagaimana diuraikan oleh Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2013) tentang tujuan pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu, negara tidak selayaknya melakukan politik pembiaran terhadap praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung di tengah warga negaranya. Negara sepatutnya mengevaluasi kurikulum pendidikan yang diberlakukan seluruh warga negaranya. Pada tahap paling minimal, negara harus hadir dengan penegakan aturan bahwa seluruh materi pembelajaran tidak boleh bertentangan dengan ideologi dan nilai yang dianut negara. Hal itu termasuk dari benih radikalisme dan terorisme yang mengancam keutuhan negeri.
Buku yang mengajarkan benih radikalisme dan terorisme justru sangat kontradiktif dengan kepentingan politik pendidikan Indonesia melalui penguatan tujuan penciptaan warga negara yang baik. Sebab, ajaran radikalisme dan terorisme meruntuhkan nilai kemanusiaan dan pilar substantif kewarganegaraan sesuai konstitusi negeri ini.
Pembiaran oleh negara terhadap menyeruaknya ajaran dan benih radikalisme-terorisme di sekolah melalui buku dan bahan ajar yang tersebar serta dikonsumsi luas oleh siswa sangat mencederai tujuan mulia pendidikan nasional. Maka, jika pendidikan yang dijalankan di negeri ini tidak mampu mencetak warga negara yang baik sebagai muara dari substansi kewarganegaraan Indonesia akibat politik pembiaran atas buku-buku radikal itu, maka kegagalan pendidikan telah dimulai dari titik ini.
AKH MUZAKKI
Guru Besar Sosiologi Pendidikan UIN Sunan Ampel Surabaya dan Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Ancaman Pendidikan Kewarganegaraan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar