Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 01 Maret 2016

TAJUK RENCANA: Menimbang Kemajuan Negara (Kompas)

Membaca Fragile State Index yang disusun Fund for Peace di Amerika Serikat, orang mudah terperangkap dalam kontroversi.

Sikap bijak saat membaca laporan yang terbit setiap tahun ini adalah tidak menelan mentah-mentah, tetapi juga tidak apriori.

Semula, sejak proyek diluncurkan tahun 2005, "F" pada Fragile State Index (FSI) bukan "Fragile" (rapuh), tetapi "Failed" (gagal). Namun, hal itu rupanya mendapat banyak kritik sehingga pada tahun 2014 nama indeks pun diubah, tidak lagi "negara gagal", tetapi "negara rapuh".

Sebagaimana diberitakan harian ini, Senin (29/2) kemarin, Indonesia dinilai memperlihatkan perbaikan. Dari 12 indikator yang dicatat Fund for Peace (FFP), nilai Indonesia membaik, dari 89,2 di tahun 2005, lalu menjadi 76,8 (2014), dan 75 (2015). Angka indeks semakin kecil memperlihatkan negara semakin kenyal menghadapi tekanan untuk membuatnya ambruk.

Sekadar perbandingan, indeks Tiongkok untuk tahun 2015 adalah 76,4, dan baik Tiongkok maupun Indonesia sama-sama masuk dalam kategori "peringatan" (warning). Indeks terbaik dimiliki Finlandia (17,8) dalam kategori "very sustainable" (dijamin amat berkelanjutan), sedangkan terburuk Sudan Selatan dengan indeks 114,5.

Kita tahu, yang menjadi bahan pertimbangan penyusunan indeks adalah faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi. Misalnya saja untuk faktor sosial, dinilai tekanan demografi, sementara untuk ekonomi, dilihat pula bagaimana penyebaran pertumbuhan.

Jika membaca laporan FFP secara mentah-mentah, kita bisa merasa semua sudah membaik. Sebaliknya, membaca dengan apriori, seolah laporan tersebut serba buruk.

Dengan segala penghargaan pada pemerintah yang telah bekerja keras, harus jujur kita sampaikan, hasil ini masih jauh dari memuaskan. Seperti kita baca kemarin, meski indeks pembangunan manusia membaik, Indonesia masih berada di posisi 111 dari 188 negara.

Tepat peringatan yang disampaikan para peneliti bahwa Indonesia tidak bisa berpuas diri, apalagi ketika tantangan ke depan semakin besar. Tanpa upaya serius mereformasi struktur politik dan ekonomi, Indonesia akan sulit keluar dari jajaran negara papan tengah. Dan, ini yang lebih tegas, "Bahkan tidak mungkin Indonesia 'tergelincir' ke jajaran negara 'gagal'."

Pesan tersebut kita tangkap karena terdengar "keras dan gamblang"(loud and clear). Kita masih masygul, mengapa setelah pemimpin nasional mencanangkan "Revolusi Mental" seolah tak terjadi apa-apa di sekitar kita. Politik, sosial, dan ekonomi masih business as usual. Inilah yang masih membuat kita risau.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Menimbang Kemajuan Negara".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger