Gagasan kontroversi yang dikeluarkan DPR atau pemerintah yang mendapat tentangan publik selalu berujung demikian. Bahkan, kita acap memiliki peraturan yang hanya berlaku sehari. Diberlakukan malam hari, dicabut pagi harinya. Atau, ditunda!
Bagaimana fenomena tersebut bisa dipahami? Esai ini bertujuan meniliknya dari perspektif semiotika bahasa. DalamKamus Besar Bahasa Indonesia (2005) terdapat tiga pengertian berbeda tentang kata ini. Pertama, tunda adalah sesuatu yang ditarik dengan tali di belakang perahu. Kedua, tunda berarti menangguhkan atau mengundurkan waktu pelaksanaan. Ketiga, berasal dari bahasa Minangkabau, tunda berarti bertolak atau mendorong ke depan.
Makna dengan penjelasan lebih rinci terdapat dalam bahasa Sunda. Dalam bahasa ini, arti kata tunda adalah menyimpan sesuatu—yang dibawa dalam sebuah perjalanan—di sebuah tempat untuk diambil kembali pada kesempatan lain (Danabrata, 2006). Deskripsi ini menarik karena penundaan merupakan sebuah peristiwa pergerakan obyek (sesuatu) di dalam narasi waktu.
Dalam perspektif semiotika Peirce (dalam Short, 2007), makna ini identik dengan menghentikan sementara gerak obyek di dalam waktu. Ia merupakan narasi yang belum selesai (signsign). Kaitan dengan hal ini, antara lain, bisa diperhatikan dalam strategi naratif wayang golek. Dalam kesenian ini dikenal ungkapan "tendeun di handeleum sieum geusan sampeureun, tunda di hanjuang siang geusan alaeun".
Ungkapan itu merupakan cara dalang menghentikan bagian tertentu dalam cerita karena akan menyelinginya dengan bagian lain. Kelak, bagian yang ditunda itu (diteundeun) kembali disambungkan (geusan sampeureun) sehingga secara keseluruhan kisah menemukan keutuhannya.
Dari sisi bentuk, cara ini merupakan strategi dalang untuk membuat apresiator penasaran sehingga bertahan dalam "ketegangan" sepanjang cerita. Secara substansial, penundaan itu tidak menunjukkan bahwa bagian yang ditunda tadi tidak penting atau mengandung implikasi negatif. Alih-alih demikian, bagian tersebut disimpan justru karena bersifat positif. Ia disimpan untuk dipanen (geusan alaeun).
Makna yang tertunda
Selanjutnya, dalam ranah pengetahuan kontemporer, kata tunda (tepatnyatertunda) muncul sebagai gagasan Jacques Derrida (1977) tentang ketaktunggalan makna bahasa (teks). Menurut Derrida, makna bahasa tidak pernah bisa dipastikan sebagaimana dikemukakan kaum strukturalis yang menetapkannya sebagai citra akustik bunyi dan relasinya di dalam struktur.
Derrida juga mengkritik oposisi biner tuturan versus tulisan, yang menempatkan tuturan lebih tinggi derajatnya daripada tulisan: bahwa kehadiran individu hanya bisa direpresentasikan melalui tuturan. Untuk hal ini, Derrida mengedepankan kata dalam bahasa Perancis yang sangat terkenal, differance yang sebunyi dengandifference. Kata difference, menurut Derrida, berada di antara dua kata Perancis, to differ (berbeda) dan to defer(tertunda).
Fakta itu cukup bagi Derrida untuk menyimpulkan bahwa tulisan tidak lebih rendah derajatnya daripada tuturan. Untuk mendapatkan makna (kehadiran) orang tetap harus membaca tulisan, tak cukup dengan hanya mengacu pada tuturan (citra akustik bunyi). Makna bahasa, kata Derrida, berproses di dalam jejak (trace) makna sebelumnya, juga akan membentang jejak takberhingga sesudahnya. Karena itulah makna bahasa selalu bersifat tertunda.
Politik pembusukan
Kini, kita lihat konstruksi makna ditunda dalam kasus ditangguhkannya revisi UU KPK. Sejalan dengan konsep bahasa Sunda, revisi UU KPK itu ditunda untuk diambil kembali. Dengan kata lain, iaditendeun dihandeleum sieum gesan sampeureun. Setidaknya hal ini dapat diketahui dari keterangan bahwa revisi tetap masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional 2016 (Kompas, 23/2). Namun, apakah pengambilan kembali itu karena revisi (obyek yang ditunda) merupakan sesuatu yang positif? Sudah jelas kepada kita bahwa penyebab penundaannya justru karena publik menolaknya. Artinya, di mata publik, revisi tersebut bersifat negatif.
Dengan demikian, berkebalikan dengan konsep di dalam bahasa Sunda, penundaan tersebut bukan karena ruang dan waktu yang tidak tepat, melainkan substansi revisi itu yang buruk. Mengingat publik yang menolak berasal dari berbagai elemen masyarakat yang plural, substansi revisi tersebut buruk dilihat dari berbagai sisi. Karena kasusnya demikian, kapan pun pembahasan dilakukan (dengan mengambil kembali yang ditunda), revisi itu tidak akan menciptakan keutuhan narasi peradaban dalam interval waktu dan kebermaknaan ruang, yakni menciptakan lembaga KPK menjadi lebih kuat.
Alih-alih memberi makna pada ruang dan waktu sedemikian, ia justru akan merusak ruang dan waktu itu sendiri. Ia justru melemahkan KPK dalam ruang dan waktu di masyarakat korup.
Merujuk kepada Derrida, sebagai sebuah teks, naskah revisi undang-undang itu pastilah bersifat polisemik sehingga maknanya menjadi ambigu. Namun, fakta tekstual ini tak berbanding lurus dengan konsep kebertundaan makna bahasa versi Derrida. Paling tidak, terdapat dua argumen untuk hal ini.
Pertama, teks itu telah dikirim ke dalam ruang pemaknaan plural (publik) dan telah "ditolak secara plural" pula. Dengan demikian, posisi kebertundaannya telah dilampaui. Kedua, teks itu berada di dalam jejak makna ketidakpastian institusi di luar dirinya, yakni lembaga DPR itu sendiri. Secara empirik kita semua tahu belaka, DPR adalah lembaga metaforik, ambigu, dan karena itu tidak pernah memberi kepastian apa pun kepada publik. Merujuk pada semiotika Barthes (1983), derajat DPR sedemikian, hampir telah menjadi mitos.
Tampak pada analisis tersebut bahwa kata ditunda dalam kasus penundaan revisi Undang- Undang KPK tidak menjadi indeks bagi penangguhan sementara sesuatu yang bersifat positif. Alih-alih demikian, kata ditunda justru telah dipindahkan lokusnya: dari makna ideal di dalam bahasa ke makna peyoratif di dalam politik. Kata ditunda dijadikan media untuk menyembunyikan "yang buruk" atau membuat yang buruk menjadi seolah-olah baik. Kasus ini bisa dilihat sebagai genealogi pembusukan bahasa di ranah politik.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dalam situasi politik di negeri ini yang tidak pernah membaik, kasus demikian dapat dibaca sebagai mekanisme defensif para politisi yang terperangkap dalam karakter terbelah, jika tidak mau dikatakan "skizofrenik". Di satu sisi, ia memiliki hasrat kuasa yang menggebu, tetapi pada sisi lain hampa dari kemampuan dan perangkat yang memadai. Ia pun rapuh dan runtuh dalam perangkap ambisinya sendiri.
Akibatnya, mereka hanya bisa melakukan upaya coba-coba dan mengintip kelengahan publik. Andai politik kita sehat, kata yang dipilih untuk kasus ini bukanlah ditunda, melainkan salah satu dari kata berikut: dihapus, dihentikan, atau dibatalkan!
ACEP IWAN SAIDI, DOSEN DESAIN DAN KEBUDAYAAN SEKOLAH PASCASARJANA ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar