Di tengah kesibukan belajar sebagai mahasiswa kedokteran, mereka tak lupa memikirkan nasib bangsanya yang saat itu masih dijajah.
Kemudian dokter Cipto Mangunkusumo beserta beberapa dokter mengajak berbagai perkumpulan pemuda, seperti Jong Java, Jong Ambon, dan Jong Sumatera, melakukan sumpah yang disebut sebagai sumpah pemuda pada 28 oktober 1928. Bertahun-tahun kemudian, mahasiswa kedokteran yang tinggal di Jalan Prapatan 10 (mahasiswa kedokteran Ika Daigaku), yang anggotanya antara lain Eri Soedewo (mantan Rektor Universitas Airlangga) dan Mahar Mardjono (mantan Rektor Universitas Indonesia), berjuang melawan penjajahan Jepang.
Tahun 1945 dokter dan mahasiswa kedokteran beserta rekan- rekan pemuda lainnya menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Keduanya kemudian dipaksa untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan, Bung Karno mengangkat dokter Moestopo sebagai Panglima Perang RI, sebelum akhirnya diangkat Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Dalam perjalanan bangsa Indonesia, para dokter muda selalu kritis mendengar jeritan hati nurani rakyat. Sebutlah seperti almarhum Arif Rahman Hakim (1965/1966), Hariman Siregar (15 Januari 1974), dan Hariadi Darmawan (Reformasi 1998).
Menarik dilihat benang merah bahwa Sumpah Hipocrates yang dibacakan seorang dokter saat wisuda mengandung inti atau pesan dari Sumpah Pemuda 1928. Beberapa kutipan sumpah dokter antara lain: "Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan kemanusiaan. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya. Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial."
Dokter juga manusia
Peranan dokter selalu ada dalam perjalanan republik ini. Dokter adalah satu-satunya sarjana yang wajib bertugas di daerah, terkadang di daerah terpencil atau daerah konflik. Sudah banyak dokter yang menjadi korban dalam menjalankan pengabdiannya.
Seorang dokter, jika telah disumpah sebagai dokter, seumur hidupnya, sepanjang dia mampu, harus mengabdikan ilmunya untuk masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Dokter adalah manusia biasa yang terkadang membuat kesalahan. Berbagai kejadian, seperti vaksin palsu, obat palsu, dan gratifikasi yang menyudutkan dokter, pernah disiarkan di media.
Dengan pola pembayaran BPJS Kesehatan, seorang dokter hanya menerima jasa medis Rp 8.000 untuk setiap pasien, dokter tetap menerimanya dan tetap melaksanakan tugasnya demi kemanusiaan. Coba bandingkan dengan parkir mobil di DKI yang bertarif Rp 5.000 setiap jam.
Masyarakat yang menggunakan BPJS cenderung menyalahkan dokter apabila ada masalah, tanpa melihat atau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Peraturan dari BPJS menyebabkan dokter tidak berwenang melakukan pengobatan secara tuntas dengan alasan keterbatasan dana. Banyak penyakit yang diderita masyarakat, tetapi tidak bisa diobati secara maksimal oleh para dokter karena adanya aturan- aturan tersebut. Kenapa dokter selalu menjadi sasaran kemarahan masyarakat, seolah-olah dokter sudah tidak menjalankan sumpah dokter dengan baik?
Patut diketahui, penduduk DKI yang memakai kartu BPJS akan mendapatkan pelayanan yang baik dari rumah sakit di lingkungan DKI karena tersedianya dana di DKI. Namun, Indonesia bukan hanya DKI. Banyak keluhan masyarakat dan masalah-masalah yang dialami dokter pada waktu melayani pasien BPJS di luar DKI.
Krisis di kalangan dokter sendiri juga terjadi. Hal ini disebabkan adanya pendidikan dokter layanan primer (DLP) yang harus dijalankan fakultas kedokteran sesuai undang-undang. Kasus DLP ini menimbulkan pertentangan sesama dokter.
Saat ini profesi dokter Indonesia makin terpuruk. Masyarakat disajikan berbagai berita dan kesalahan dokter dalam menjalankan tugasnya sehingga masyarakat menghakimi dokter. Dokter digambarkan sebagai profesi elite, serba berkecukupan, wajib mengabdi dan tak boleh menolak pasien, tugasnya melayani, bahkan cenderung dituntut memenuhi keinginan pasien.
Dengan alasan bahwa UU harus dijalankan, pemerintah dan legislatif seenaknya menjadikan dokter dan kesehatan sebagai isu politik untuk atas nama rakyat. Adanya sumpah dokter membuat profesi dokter tunduk dan patuh pada berbagai kebijakan dan rekayasa di bidang kesehatan.
Masalah kesehatan dan pelayanan kedokteran sangat kompleks dan tidak mungkin dipikul hanya oleh dokter. Ketidakmampuan dokter untuk bersikap profesional karena berbagai tekanan ini akan membahayakan masyarakat (pasien) dan berpotensi menimbulkan tuntutan hukum.
Profesi dokter seakan sebagai budak yang hanya bisa diam menerima nasib. Harus diakui bahwa semangat perjuangan dan kesejawatan profesi dokter saat ini hilang sesuai dengan zaman yang lebih mengedepankan sikap individualis dan pragmatisme.
Perjuangan dokter Indonesia untuk memperoleh kembali kedaulatan profesi ini tidak mudah. Perjuangan pasti butuh keberanian dan pengorbanan. Hasil perjuangan mengembalikan kedaulatan belum tentu bisa kita peroleh sekarang, mungkin anak cucu kitalah yang akan merasakan.
Dibelenggu UU
Menyikapi berbagai kejadian itu, pada 15 Oktober 2016 penulis membuat sarasehan di Gedung STOVIA, dihadiri para dokter. Pembicara adalah dokter yang mewakili Ikatan Dokter Indonesia, Dokter Indonesia Bersatu, Perhimpunan Dokter Umum Indonesia, dan perwakilan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia. Dari sarasehan tersebut dapat disimpulkan, kedaulatan rakyat dan kedaulatan dokter untuk mengerjakan profesinya sebagai dokter sudah tidak ada lagi karena sudah dibatasi oleh UU.
Kalau sampai dokter melakukan demo, apalagi sampai mogok kerja, itu berarti dokter sudah mengalami kesulitan untuk menjalankan profesinya sebagai dokter secara profesional dan maksimal karena peraturan-peraturan dan UU yang membatasi tindakan-tindakan dokter dengan risiko tuntutan-tuntutan apabila terjadi sesuatu pada pasien di luar kemampuan dokter.
Dokter juga manusia biasa. Jika harga diri dan kedaulatannya sudah tidak ada lagi, maka dokter yang selama ini tidak bersuara akan bersuara dan bergerak. Seperti halnya dilakukan dr Soetomo dan dr Ciptomangunkusumo untuk mempertahankan kedaulatan dan memperjuangkan kesejahteraan untuk masyarakat yang juga terzalimi.
Para dokter perlu lebih berhati-hati menangani pasien BPJS dan menjelaskan bahwa permasalahannya bukan pada dokter, melainkan ada aturan UU yang membatasi profesi dokter. Dengan demikian, benturan-benturan antara dokter dengan pasien dan keluarganya tidak akan terjadi.
Penulis berharap, walaupun kewajiban kita sebagai dokter dibatasi oleh berbagai peraturan dan UU yang berlaku saat ini, kita harus mencontoh para dokter pendahulu kita yang tetap menjalankan kewajibannya sesuai sumpah dokter. Teruslah berjuang demi kesejahteraan rakyat Indonesia yang kita cintai ini.
EMIR SOENDORO
Dokter Spesialis Ortopedi dan Traumatologi, Pemerhati Masalah Jaminan Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar