Budayawan Dr Umar Khayam, yang kala itu menjabat Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyebutkan, pernyataan semacam itu belum pernah ada sebelumnya (Kompas, 27/10/1981). Negara kebangsaan modern yang dimaksudkannya adalah bertumbuh dan berkembang dari keadaan kemandekan tradisi menuju pertumbuhan tradisi baru.
Oleh sebab itu, Sumpah Pemuda yang hari ini kita rayakan adalah putusan sejarah yang tepat sehingga setiap tahun dirayakan. Bukan sekadar merayakan pertemuan berbagai unsur pemuda dari berbagai suku dan agama yang ada tahun 1928 di negeri ini, melainkan lebih dari itu adalah meneguhkan kembali makna persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Sumpah Pemuda ketika itu menegaskan, kita berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia.
Kelahiran Sumpah Pemuda menunjukkan, pemuda Indonesia mampu melihat masa depan dengan jernih. Pemuda bukan hanya menjadi penggerak perjuangan, melainkan sekaligus menjadi pemersatu serta pembaru bangsa ini. Kondisi ini terus berlangsung hingga kini sehingga masa depan bangsa ini terus digantungkan kepada kaum muda. Gerakan reformasi tahun 1998 yang dipelopori mahasiswa adalah contoh aktual dari panggilan sejarah untuk menjadi pembaru bangsa oleh kaum muda.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 memproyeksikan penduduk Indonesia berjumlah 258 juta jiwa, yang terdiri dari 50,38 persen laki-laki dan 49,62 persen perempuan. Penduduk berusia muda, antara 20-39 tahun sekitar 82,55 juta jiwa atau 31,99 persen, merupakan penduduk terbesar di negeri ini dari sisi usia. Mereka umumnya berpendidikan lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya sehingga punya energi besar untuk mengubah wajah Indonesia.
Tentu peran pemuda saat ini bukan dengan mengangkat senjata merebut kemerdekaan seperti masa lalu, melainkan mengisi kemerdekaan dengan tantangan berbeda. Teknologi semakin berkembang dan globalisasi harus dijawab kaum muda kini dengan lebih aktif dan kreatif. Generasi langgas (tak terkait dengan sesuatu atau seseorang) ini pun lebih bebas mengekspresikan diri untuk membuat bangsa ini setara dengan bangsa lain.
Namun, tanggung jawab masa lalu, dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, tak bisa dilupakan. Apalagi, jelang pilkada serentak 2017, nuansa mempertajam perbedaan dikembangkan sejumlah kalangan di daerah. Kaum muda dipanggil kembali untuk menyelamatkan negeri.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Memaknai Kembali Sumpah Pemuda".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar