Sungguh keji aksipengeboman tempat ibadah jemaat HKBP yang merenggut nyawa anak dan menyebabkan luka cukup serius itu. Betapa rasa kamanungsan telah longgor dari hati pelaku, rasa welas asih tak menyelinap dalam dirinya. Nafsu membunuh bengis kejam melumuri mereka.
Acap kalah
Merujuk kepada kategori Huck dkk (1987), yang disebut anak itu berumur 1 tahun hingga 12 tahun. Sayangnya, anak-anak acap kalah dan dianggap lemah dalam kehidupan sosial ataupun realitas sejarah. Sejauh ini belum ada riset sejarah soal anak, apalagi anak yang lahir dari rahim wong cilik yang nasibnya kurang beruntung dalam panggung sejarah.
Masih lumayan bocah yang tumbuh di lingkungan bangsawan dan priayi, seperti disuratkan Darsiti Soeratman (1989) dan Sartono Kartodirdjo dkk (1987) guna menggenapi studi kehidupan para bendoro. Namun, yang dijumpai bukan cerita kemandirian dan tempaan keras pada si bocah, melainkan mekarnya sifat manja berkat adanya pelayan dan kungkungan budaya Jawa yang feodalistis.
Sebetulnya terdapat sepucuk kisah menarik yang perlu dikabarkan kepada publik tentang bocah di Jawa, khususnya Praja Mangkunegaran Surakarta. Para bocah terwadahi dalam Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) yang dibentuk pada 1916. Orangtua bocah yang bermukim di wilayah Mangkunegaran disadarkan akan pentingnya pembangunan karakter dan kemandirian anak. Maka, tanpa ragu diturunkan artikel berjudul "Seruan kepada Iboe Bapak" yang termaktub dalam majalah Kepandoean, Februari 1936. Ditulis secara gamblang, tempat pendidikan anak ada tiga macam: di dalam rumah tangga, di dalam sekolah, dan di luar sekolah dengan memanggul kewajibannya masing-masing.
Lantas mereka diajari lincah berbaris, berkemah, bermain, dan sikap tolong-menolong. Data sezaman berjudul Bocah Mangkunagaran garapan pengarang sastra Jawa, Yasawidagda, melukiskan kegiatan baris-berbaris: "Aku dolan menyang Pamedan. Dina ngahad wingi... wiwit jam pitu esuk katon pating baleber saka kidul, kulon, wetan. Padpinder wadon ana plataran pandhapa gedhe. Ana bocahe cilik-cilik, umuran pitu-wolu tahun... nganggo kathok ireng cekak, blus kuning, ana sing nganggo sepatu, ana sing ora, topine kabeh epring... Klumpukan para padpinder, gedhe cilik watara ana rong atus... Sing cilik-cilik ajar baris, ana sing lumpat-lumpatan kaya dolanan."
Kegiatan anak-anak ini bukan tanpa energi, tidak melupakan aspek kekompakan dan kedisiplinan. Dengan memperhatikan aspek itu, mereka ingin jadi yang terbaik karena dalam waktu tertentu ditunjuk turut memeriahkan acara resmi istana. Semisal merayakanjumenengan dalem dengan baris-berbaris dan menampilkan rupa-rupa atraksi menarik. Beberapa foto hitam putih yang tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka memperlihatkan anak-anak bersama remaja JPO berseragam serius sedang berbaris di halaman Mangkunegaran saat kerajaan menggelar acara resmi. Mereka unjuk gigi disaksikan orang banyak, termasuk para prajurit.
Menghargai eksistensi
Dari kacamata anak, penunjukan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan formal kerajaan ini dimaknai sebagai bentuk penghargaan dan pengakuan eksistensi diri. Penghargaan dan pengakuan inilah yang disenangi dan didamba seorang anak, terlepas dari kepentingan politis kerajaan untuk membuktikan atau pamer kepada pihak luar akan kesetiaan dan kepatuhan kawula Mangkunegaran, tanpa kecuali rombongan anak-anak.
Pergulatan bocah dalam lembaga ini juga menumbuhkan rasa cinta, gemar tolong-menolong, bersatu hati, dan bekerja bersama-sama. Buahnya, bocah kepanduan ringan tangan membantu orang yang kesusahan.
Berikut ini dinukilkan fakta yang terpotret dalam buku Bocah Mangkunagaran (hal 53): "Wis tau jam siji awan ana omah kobongan, rame swaraning titir. Para padpinder lagi wae budhal saka pamulangan, lali luwe, padha mlayu tandang panggon sing kobongan ngrewangi golek banyu sapapadhane. Ana padpinder esuk-esuk mangkat sekolah. nalika kuwi mentas udan, blumbang-blumbang kebak banyu. Padpinder mau weruh bocah kecemplung, glagepen ana blumbang, gek kalelep, gek mancungul. Ora saranta padpinder mau banjur nggebyur ing blumbang nglangeni bocah mau. Klakon bocahe slamet, andadekaki bungahe wong tuwane."
Kepiawaian anak tak berhenti dalam dolanan dan berbaris. Saat itu bocah ternyata diajari pula olah bahasa, permainan rima dan irama dalam sebuah pantun. Pantun yang dialamatkan untuk bocah ini memuat keindahan dikarenakan ada perpaduan yang harmonis antara penggambaran realitas yang begitu dekat dengan anak dan bunyinya. Saya kutipkan pantun yang terdokumentasi dalam majalahKepandoean edisi Agustus 1936: Sinar biroe boenga selasih/Tjahaja merah boenga machota/Pandoe J.P.O. itu kekasih/Kepada Toehan semata-mata.Sastra ini setidaknya alat yang canggih untuk melembutkan hati para bocah di kemudian hari.
Bocah yang digarap dalam kepanduan menyangkut urusan kemanusiaan dan yang berpangkal pada rasa tepa slira. Rasa tepa slira berhasil ditiupkan dan mereka mempraktikannya dalam hidup sehari-hari. Terlebih mereka adalah manusia Jawa yang dituntut menjunjung perikemanusiaan setinggi mungkin.
Menyitir pernyataan budayawan Sindhunata, tepa slira merupakan jaringan rasa yang dapat menajamkan empati akan penderitaan orang lain. Dengan tepa slira, orang akan tolong-menolong dalam menghadapi krisis. Setiap orang tahu, hubungan baik dengan orang lain bergantung pada kadar empati kita. Empati terhadap masalah orang lain, kesulitannya, penderitaan, dan keterbatasannya. Ya, bibit-bibit teroris subur karena kita abai pada penanaman benih tepa slira danrasa kamanungsan sedari dini.
HERI PRIYATMOKO, DOSEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 November 2016, di halaman 7 dengan judul "Intan dan Sejarah Bocah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar