Senin, 14 November 2016, Kompas memberitakan upaya Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menerapkan program wajib berbahasa Jawa halus (krama) pada hari-hari tertentu.
Program itu merupakan salah satu keputusan Kongres Bahasa Jawa VI di Yogyakarta, 8-12 November 2016. Bahasa Jawa—yang digunakan sekitar 60 juta penduduk Indonesia—memiliki tingkat tutur atau undha-usuk (speech levels) cukup rumit sehingga menyulitkan penuturnya.
Dalam salah satu penelitian yang saya ketuai, 2007-2009, berjudul "Model Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Jawa Krama di Kalangan Generasi Muda Wilayah Surakarta dan Sekitarnya" diketahui tingkat penguasaan generasi muda Jawa akan tutur krama sangat memprihatinkan. Dalam wawancara, mereka memilih berbahasa Indonesia.
Seperti diketahui, bahasa Jawa mengenal tingkat tutur ngoko, krama, dan kromo inggil, yang digunakan sesuai kondisi sosial dan kultural lawan bicara, seperti faktor umur, tingkat kekerabatan, jabatan dalam pemerintahan, tingkat sosial (murid dengan guru), dan seterusnya. Dengan demikian, keputusan Kongres Bahasa Jawa tersebut kurang tepat. Apakah orangtua akan berbicara krama kepada anaknya? Hal serupa juga berlaku mertua kepada menantu, guru kepada murid, bupati kepada camat, dan seterusnya.
Menurut saya, yang lebih tepat adalah mewajibkan penggunaan bahasa Jawa secara tepat dan benar sesuai faktor sosial dan kultural pada hari tertentu. Secara kultural ada ragam (tingkat tutur) ngoko yang baku kalau orang Jawa membicarakan hal-hal serius dalam hidup, seperti pernikahan, pindah rumah, peringatan kematian anggota keluarga, dan seterusnya. Demikian pula ragam krama, ada yang tak baku, seperti madya dan krama desa.
Demikianlah, semoga masukan ini ada manfaatnya.
EDI SUBROTO
Guru Besar Linguistik pada Program Pascasarjana S-2/S-3 Linguistik, UNS
Tanggapan PT KAI
Menanggapi surat di Kompas (15/11) berjudul "Foto di Stasiun" yang disampaikan Saudara Julian Ramadhan, dengan ini kami jelaskan bahwa area stasiun terbagi dalam tiga zona. Zona pertama adalah area antar-jemput penumpang, zona kedua area ruang tunggu calon penumpang yang memiliki tiket, dan zona ketiga ada dalam stasiun untuk operasional perjalanan kereta api dan penumpang bertiket yang telahboarding menunggu keberangkatan kereta api.
Karena Zona 3 merupakan daerah operasional perjalanan kereta api sekaligus tempat naik dan turun penumpang, kawasan tersebut harus bebas dari segala kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan pelayanan dan keselamatan perjalanan.
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami Saudara Julian Ramadhan, saat dilarang petugas keamanan beraktivitas fotografi di Zona 3. Oleh karena, hal itu sudah menjadi SOP keselamatan PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Apabila ingin memotret, bisa dilakukan di area luar stasiun (Zona 1 dan Zona 2) selama tidak mengganggu calon penumpang. Jika ingin melakukannya di area dalam stasiun (Zona 3), bisa meminta izin terlebih dahulu kepada kepala stasiun setempat. Dengan demikian, ada pendampingan saat beraktivitas demi keselamatan bersama.
SAPTO HARTOYO
Senior Manager Humasda PT Kereta Api Indonesia (Persero), Jakarta
Macet di Fatmawati
Sejak pembangunan MRT di sepanjang Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, ruas jalan menyempit menjadi satu jalur sehingga sangat macet. Setiap hari, saya harus menempuh perjalanan pulang hingga 1,5 jam dari yang sebelumnya hanya 15 menit dari kantor saya di Pondok Indah. Kemacetan terutama terjadi di ruas antara Jalan Cipete Raya hingga perempatan Fatmawati.
Pemicu kemacetan lain adalah beberapa jalan kecil yang dijaga "Pak Ogah", yang mendahulukan mobil-mobil yang masuk ke ruas utama Fatmawati.
Sebagai solusi, saya mengusulkan jalan-jalan seperti Cireme, Tumaritis (buntu), Cilandak V, dan Gereja sebaiknya dijadikan satu arah keluar dari Fatmawati. Sementara Jalan Cipete, Jalan BDN Raya, dan Jalan Cilandak I dijadikan jalan masuk ke ruas utama Fatmawati.
Polisi cukup menjaga wilayah tertentu serta mengurangi beban arus masuk kendaraan.
DONI RIZAL
Jalan Tumaritis, Cilandak Barat, Jakarta Selatan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 November 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar