Itulah salah satu rekomendasi Kongres Ke-17 Muslimat Nahdlatul Ulama. Kongres Muslimat NU memilih Khofifah Indar Parawansa sebagai ketua umum. Khofifah mengatakan, Muslimat NU berkomitmen menangkal ujaran kebencian yang akhir-akhir ini merebak di media sosial.
Keprihatinan Muslimat NU adalah keprihatinan kita. Sejumlah elemen bangsa prihatin dengan merebaknya ujaran kebencian, informasi palsu, kata kasar, hujatan, manipulasi gambar, pemelintiran berita di media sosial. Tokoh bangsa seakan-akan didelegitimasi otoritasnya. Perkembangan demokrasi digital harus diantisipasi.
Pada satu sisi, kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia. Melalui media sosial, kebebasan berekspresi semakin mendapatkan kanalnya. Media sosial memperkuat kanal kebebasan menyatakan pendapat. Namun, apakah kebebasan berpendapat di media sosial—yang tanpa batas, tanpa etika, tanpa kearifan—akan memperkuat demokrasi, jawabannya pasti tidak!
Demokrasi bisa bergerak mundur jika negara salah dalam mengantisipasi perkembangan media sosial. Pemerintah mengantisipasi perkembangan itu dengan merevisi UU Informasi Transaksi dan Elektronik yang berlaku Senin, 28 November, ini. Niat itu memicu kontroversi. Namun, jika kebebasan berekspresi tanpa batas terus dibiarkan, bangsa ini akan terjebak dalam polarisasi pandangan yang ekstrem dan bisa mengancam demokrasi.
Media sosial seperti Janus, dewa dalam mitologi Romawi kuno. Ia bertubuh satu, tetapi punya dua wajah yang bertolak belakang. Ia tergantung penggunanya, bisa positif bisa negatif. Keduanya terjadi di Indonesia. Jika media sosial dimanfaatkan untuk hal positif, kita bersyukur karena demokrasi kian matang dibuatnya. Namun, jika sebaliknya, pengguna media sosial memanfaatkan untuk ujaran kebencian, itu merupakan langkah mundur.
Kerusuhan Tanjung Balai, 29 Juli 2016, sedikit banyak disulut media sosial (Kompas, 2 Agustus). Penelitian Swati Bute dalam The Role of Social Media in Mobilizing People for Riots dan Revolutions, menggambarkan bagaimana kerusuhan di Assam (2012) dan Muzaffarpur (2013) dipicu informasi palsu di media sosial.
Fenomena kebebasan tanpa batas menjadi keprihatinan kita. Perlu ada langkah menyadarkan bahwa berpendapat di media sosial menuntut tanggung jawab tanpa harus mengganggu kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia. Pendidikan melek media digital terus digemakan agar penggunaan media sosial kian produktif untuk memperkuat demokrasi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Ujaran Kebencian yang Membelah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar