Berbagai festival itu umumnya merupakan lanjutan dari hajatan rutin tahun-tahun sebelumnya. Sebagian tampil agak berbeda karena digelar dengan kemasan, cakupan, serta muatan yang lebih besar dan segar. Kaum muda aktif terlibat sebagai penyelenggara, peserta, dan penontonnya.
Sebagai gambaran, kita bisa menyebut beberapa festival menarik. Ada Makassar International Writers Festival di Makassar, Sulawesi Selatan; RRREC Fest in The Valley di Sukabumi, Jawa Barat; festival film pendek dan animasi Hellofest di Malang, Jawa Timur, dan di Jakarta. Di Ibu Kota juga digelar Popular Culture Convention (Popcon) Asia, Ideafest, Indonesia Comic Con, dan Arkipel. Daftar itu bisa diperpanjang lagi.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mencatat, sepanjang 2016, digelar sekitar 500 festival untuk menampung berbagai jenis industri kreatif di seluruh Indonesia. Wakil Kepala Bekraf Ricky Persik, pekan lalu, mengungkapkan, Bekraf punya enam deputi dan setiap deputi bisa memegang sekitar 100 festival industri kreatif di seluruh Indonesia selama setahun ini.
Festival-festival itu diusung kaum muda kreatif dalam beragam bidang. Ada komunitas sastra, film pendek, seni rupa, animasi, komik, mural, grafiti, games, boardgames, cosplay, musik, blog, dan video blog (vlog). Sebagian kegiatan bahkan sengaja membaurkan berbagai bidang itu sehingga sekat-sekatnya menjadi lebur satu sama lain.
Energi kreatif
Bagaimana kita membaca fenomena ini? Berbagai festival itu memperlihatkan energi kreatif kaum muda di Indonesia yang meletup-letup belakangan ini. Beberapa subsektor bahkan lebih menggeliat, katakanlah seperti sastra, animasi, komik, games, musik, film, dan video blog. Pegiat industri kreatif itu melahirkan karya-karya segar.
Mereka tumbuh dalam komunitas-komunitas di kota-kota dan daerah. Mereka lahir dalam iklim demokrasi sebagai hasil Reformasi 1998. Keterbukaan itu menyuburkan bibit-bibit kreativitas kaum muda yang lebih lentur menyiasati tantangan.
Tak mengandalkan ruang-ruang konvensional, seperti kampus, sekolah, perpustakaan, atau gedung kesenian, kaum muda menciptakan ruang alternatif yang lebih independen dan bersahaja. Sebagian mereka lebih akrab dengan gaya hidup nongkrong di warung kopi sambil ngobrol dengan sesama mereka. Namun, cara santai itu justru kerap lebih produktif. Pendekatan ini menandai perwujudan hangout culture alias budayanongkrong, sebagaimana disebutkan antropolog asal Amerika Serikat, Brent Luvaas, dalam DIY Style: Fashion, Music, and Global Digital Cultures (2012).
Kelompok-kelompok itu kemudian menopang festival. Sekadar contoh, Makassar International Writers Festival dapat digelar Rumata Artspace sejak tahun 2011 sampai sekarang berkat sokongan para pegiat ruang literasi di sekitar kampus Universitas Hasanuddin, Universitas Islam Negeri Alauddin, dan Universitas Muslim Indonesia (UMI). Mereka antara lain Kedai Buku Jenny (KBJ), Katakerja, Kafe Dialektika, Kampung Buku, Komunitas Literasi Makassar, Rumah Baca Philosophia, Cara Baca, Taman Baca Anak Bangsa, Rumata, Pecandu Buku, Pondok Baca, Makassar Indie Book, Kelas Menulis Kepo, Ruang Baca Antara, dan Dino Pustaka.
Penyelenggaraan festival-festival itu juga menandai hasrat setiap komunitas untuk tak hanya suntuk berasyik-masyuk dalam komunitas masing-masing, tetapi juga membuka diri, membangun jaringan, dan mengasah serta mempertukarkan gagasan. Festival menjadi ajang bagi mereka untuk melibatkan lebih banyak komunitas dalam membicarakan bermacam masalah, mencari solusi, memanggungkan karya sekaligus menjajaki kemungkinan kolaborasi di antara mereka. Berbagai festival itu juga menjadi semacam perayaan atas identitas yang beragam di Nusantara.
Dengan dukungan teknologi informasi, etos ini bahkan mendorong mereka memasuki kancah pergaulan global. Di situ, mereka menawarkan apa yang disebut sebagai arus balik globalisasi (reverse globalization).
Dulu, kita menyerap arus global untuk kehidupan lokal. Kini, kaum muda mengolah khazanah lokal untuk disajikan di pentas dunia dalam kemasan kekinian. Upaya sejumlah animator atau pembuat film yang memasukkan tema atau unsur lokal dalam karya-karyanya bisa menjadi contoh menarik. Salah satunya adalah film Prenjak besutan sutradara Wregas Bhanuteja yang memenangi penghargaan film pendek terbaik dalam ajang bergengsi Festival Film Cannes 2016 di Perancis.
Jangan artifisial
Hanya saja, geliat industri kreatif yang tertangkap lewat festival itu menuntut tindak lanjut lebih serius. Bagi pendiri sekaligus kreator konten Do Art, Handoko Hendroyono, sebagian festival yang berlangsung selama ini masih sebatas menangkap potensi dan tren. Sebagian kegiatan juga masih mengandalkan pendekatan artifisial atau sekadar turut euforia saja.
Padahal, festival tahunan itu semestinya bisa disiapkan lebih matang demi mengembangkan agenda yang lebih strategis. Salah satunya, bagaimana mendorong kreator untuk mendapat stimulus dalam mengelola modal atau keuangan. Pemangku kepentingan-yaitu swasta, pemerintah, komunitas, dan akademi-harus mencari format yang tepat dan efektif untuk pengembangan industri kreatif.
Kritik lain dilontarkan pengajar sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, berbagai festival sepanjang tahun 2016 masih terkesan merayakan kebudayaan urban yang lagi tren di berbagai belahan dunia. Sebagian kaum muda masih lemah dalam memunculkan visi politik emansipatoris. Mereka lebih sibuk berkutat pada gaya ketimbang kedalaman, apalagi mengulik muatan ideologi.
Mereka belum sungguh-sungguh mengkaji berbagai problem serius bangsa, melontarkan kritik tajam, kemudian mengajukan tawaran bagaimana membangun struktur budaya masyarakat baru yang lebih berkemajuan.
Festival-festival yang bakal berlangsung tahun 2017 nanti diharapkan bisa memadukan sajian karya, inovasi, teknik, sekaligus refleksi teoretisnya. Kaum muda perlu terus banyak berdiskusi dengan aneka macam orang dengan aliran pikiran yang jelas, termasuk melibatkan kaum akademisi. Masing-masing perlu selalu siap saling mendengarkan informasi dan kritik.
Pemerintah, melalui Bekraf, diharapkan lebih serius mempertajam visi dan desain besar pengembangan industri kreatif. Jangan lupa pula, negara hendaknya memelihara iklim demokratis yang kondusif bagi pengembangan imajinasi dan kreativitas kaum muda, termasuk mengantisipasi kemungkinan tekanan dari kelompok-kelompok garis keras.
(ILHAM KHOIRI/SUSIE BERINDRA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar