Sepanjang 2016, hanya ada beberapa konser yang melibatkan musisi asing dengan penonton ribuan. Salah satunya konser tunggal Selena Gomez, penyanyi remaja asal AS yang sedang di puncak popularitasnya, pada 23 Juli di ICE BSD Tangerang. Di luar itu, ada beberapa konser musisi asing yang juga menyedot ribuan penonton, seperti M83 asal Perancis, Tame Impala (Australia), dan Morrissey (Inggris).
Situasi ini berbeda sekali dengan 3-5 tahun lalu, di mana konser besar nyaris digelar silih berganti, hampir tiap bulan dan melibatkan musisi-musisi dunia. Pada 2015, misalnya, ada Bon Jovi yang menyedot sekitar 30.000 penonton datang ke Stadion Gelora Bung Karno, Senayan. Pada 2013, ada big concertMetallica yang menyedot puluhan ribu penonton. Mereka memenuhi lapangan sepak bola dan tribune di Gelora Bung Karno.
Tahun 2012, musisi ternama yang menggelar konser di Indonesia lebih banyak lagi, mulai Katy Perry, Rod Stewart, Gun N' Roses, dan Sting. Belum lagi konser sederet boyband K-Pop yang bikin anak muda histeris. Saking banyaknya konser saat itu, Jakarta-bersama Singapura dan Tokyo-disebut-sebut sebagai "ibu kota" konser di Asia.
Tahun 2016, kuantitas dan kualitas konser jauh menurun, bahkan bisa dikatakan seret. Febrina Sibuea, Business Unit Manager Dyandra Promosindo (perusahaan penyenggaraan acara), menduga, penyebabnya adalah lesunya perekonomian dunia yang berimbas pada tingginya nilai tukar dollar AS terhadap rupiah. Di lain sisi, tingginya nilai tukar dollar membuat "harga artis" asing meroket. Karena itu, promotor berhati-hati sebelum mengajukan kontrak.
Ketika konser yang melibatkan musisi kelas dunia kian jarang, bukan berarti panggung konser Indonesia benar-benar redup. Banyak musisi lokal-sebagian anak muda-yang sepanjang 2016 memberikan denyut kehidupan di atas panggung.
Aksi musisi lokal
Ada tren di mana musisi lokal pada 2016 senang menggelar konser di gedung pertunjukan. Karena itu, jangan heran jika sepanjang tahun ini konser musisi muda silih berganti digelar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Graha Bhakti Budaya (GBB), serta Teater Besar dan Teater Kecil di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Menjelang tutup tahun ini, misalnya, duo Senyawa menggelar konser di GKJ dengan tajuk "Tanah+Air" pada 22 Desember. Wukir membawa tiga alat musik bikinan sendiri, yaitu bambu wukir, suthil atau spatula, dan garu yang biasa dipakai membajak sawah. Semuanya menggunakan senar, jadi bisa berfungsi layaknya gitar. Ia tak hanya memetik dawai, tapi juga menggesek, menepuk, hingga mencabik. Sementara Rully tak cuma bernyanyi, tapi juga menggeram, berteriak, menembang, dan mendesis.
Perpaduan suara-suara itu membangkitkan nuansa horor, marah, tapi bisa juga indah. Nuansa itu diperkuat kerjapan lampu, gambar-gambar bergerak pada layar, dan aksi panggung lain yang tampak teaterikal. Konser itu menegaskan: Senyawa tak hanya memamerkan komposisi lagu, tapi merespons gedung pertunjukan dengan suguhan lain.
Pada awal 2016, tepatnya 20 Januari, penyanyi/pianis Leilani Hermiasih alias Frau juga menggelar konser "Tentang Rasa" di GKJ. Seperti Senyawa, Frau tak cuma memperdengarkan lagu-lagunya kepada sekitar 600 penonton di dua jadwal pertunjukan. Nuansa antik nan megah gedung itu mendorongnya berani mengimbuhi pernak-pernik pendukung, mulai tata cahaya sampai tebaran aroma harum.
Penampil lain yang juga berkonser tunggal di GKJ tahun ini adalah White Shoes and The Couples Company (WSATCC) pada 4 Mei dan Slank pada 18 September. Slank, yang tahun ini berusia 33 tahun, baru pertama kali mencicipi konser di GKJ. Baik WSATCC maupun Slank berkreasi dengan ornamen dan dekorasi panggung, sesuatu yang jarang terjadi pada pentas reguler mereka.
Efek Rumah Kaca juga menyuguhkan tontonan spektakuler di konser Sinestesia di Teater Besar TIM, 11 Januari. Selain itu, ada konser kolaborasi Dialog Dini Hari dan Endah n Rhesa di GBB.
Mengapa musisi dan pengelola acara ramai-ramai menggelar konser di gedung pertunjukan? Ada beberapa keuntungan yang dipetik musisi dan pengelola acara. Pertama, harga sewa gedung pertunjukan di bawah Pemprov DKI Jakarta kini relatif murah.
Ferry Darmawan, pendiri G Production, mengatakan, sewa gedung pertunjukan milik pemerintah kini hanya Rp 5 juta per hari. Padahal, pada 2012 ketika ia mementaskan Pure Saturday di tempat yang sama, harga sewanya empat kali lipat.
Harga sewa gedung yang lebih murah dengan fasilitas yang baik membuat penyelenggara pertunjukan bisa mengalokasikan biaya untuk melengkapi peralatan sesuai konsep, misalnya, peralatan suara, lampu, dan pernak-pernik dekorasi.
Keuntungan kedua, dengan menggelar konser di gedung khusus pertunjukan, musisi dan perancang acara yang terlibat dipaksa untuk mencurahkan energi kreatifnya untuk menghasilkan pertunjukan spesial.
Konser-konser musisi lokal di gedung pertunjukan memang hanya menarik ratusan penonton. Namun, konser terasa lebih intim dan hangat. Tahun depan, tren konser-konser di gedung pertunjukan dengan penonton terbatas diperkirakan akan menguat.
Di samping itu, festival musik yang melibatkan komunitas-komunitas musik, seperti Synchronize Fest, Oktober silam, akan tetap bertahan dengan skala dan besaran berbeda-beda. Festival metal akbar Hammersonic yang digelar Mei 2017, bahkan telah mengumumkan salah satu penampil utamanya, yaitu dedengkot thrash metal Megadeth.
(HERLAMBANG JALUARDI/SOELASTRIE SOEKIRNO)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Musik di Ruang Kecil".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar