Dunia hiburan yang ingar-bingar selalu menarik perhatian kaum muda. Impian menjadi sukses, punya nama terkenal, wajah cantik atau ganteng, sampai banyak uang selalu menjadi daya tarik. Dulu, semua itu hanya mungkin diraih oleh orang-orang tertentu.
Kini, dengan kecanggihan teknologi informasi, siapa pun berkesempatan menjadi terkenal. Untuk itu, bahkan seseorang tak lagi perlu memenuhi standar khusus, katakanlah seperti wajah rupawan, sangat berbakat, pintar, hebat, atau punya koneksi penguasa. Syaratnya, berani malu, mau kerja keras, dan konsisten. Bakat dan kemampuan pas-pasan bukan masalah. Tampang ngepasjuga bisa ngetop.
Semua itu menjadi terbuka berkat media sosial, terutama Facebook, Instagram, ask.fm, Path, Snapchat, Line, atau Twitter. Siapa pun yang kreatif memanfaatkan jejaring komunikasi di dunia maya itu bakal bisa meraih popularitas yang akhirnya bisa memberi keuntungan finansial.
Mengapa demikian? Sebab, jumlah pengguna internet, yang sebagian besar aktif mengakses media sosial, terus bertambah. Dan media sosial menjadi ruang interaktif yang menghubungkan para internet citizen (netizen).
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 menunjukkan, pengguna internet di Indonesia saja mencapai 132,7 juta orang. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa (89,7 persen), pelajar (69,8 persen), dan pekerja (58,4 persen). Kaum muda menjadi pengguna internet tertinggi karena generasi milenial inilah yang paling mudah berinteraksi dengan dunia maya.
Dari semua jenis konten internet, media sosial adalah konten yang paling banyak diakses, yaitu 129,2 juta orang (97,4 persen). Begitu pula dengan hiburan yang diakses 128,4 juta orang (96,8 persen).
Dengan pengguna sebanyak itu, kini media sosial (medsos) seolah menjadi media sekaligus ruang kerja, ruang pamer, dan panggung untuk mencapai ketenaran. Siapa saja yang berhasilngetop dan punya banyak pengikut, maka sponsor mulai datang, rekening bank pun bertambah hingga puluhan juta rupiah per bulan.
Ternama, terkenal, ngetop bukan hanya berkat kelakuan positif. Mereka yang mendapat banyak cemooh dan hujatan pun bisa ngetop karena yang paling penting di medsos adalah memiliki sangat banyak follower (pengikut). Tidak ada persyaratan, pengikut harus memuja. Pemilik akun tidak bisa menghalangi mereka yang hobi menghujat atau beriklan dan berjualan. Semua dihitung sebagai pengikut.
Seleb medsos
Dalam situasi demikian, lumrah saja jika para pesohor-yang sehari-hari berprofesi sebagai model, bintang film, pemain sinetron, atlet, penyanyi, atau koki yang memiliki akun medsos dan punya jutaan pengikut-berpotensi menarik para sponsor. Bahkan, sebagian dari mereka terpilih sebagai duta produk atau wajah untuk produk tertentu.
Contohnya Dion Wiyoko, model, presenter, dan artis film yang punya ratusan ribu pengikut. Selain hobi jalan-jalan dan senang memotret, dia juga rajin mengunggah fotonya ke Instagram. Alhasil, dia pun mendapat banyakendorsement mulai dari obat, telepon pintar, laptop, pakaian, hingga produk tas bermerek. Data itu diungkapkan manajer Dion, Sulung Landung, di Jakarta, pekan lalu.
Di antara para jawara medsos, ada juga yang bersinar karena bakat dan kepiawaiannya. Salah satunya adalah Dika, seniman asal Medan yang terkenal karena akun Instagram-nya, @toolkit04, menjadi galeri karya seni sketsanya. Dia kian terkenal setelah memenangi kontes desain dari band rock asal Amerika Serikat, Linkin Park, pada 2013. Hasil desain pemuda ini dijual sebagaimerchandise tur grup musik itu.
Ada pula yang ngetop karena hobi di bidang mode dan tata rias. Sebut saja Rachel Vennya, make up artist dan wirausaha muda yang punya akun @rachelvennya. Begitu juga Shirin Al Athrus, pemilik akun @shireeenz, model duta produk perawatan kulit yang mengawali kiprahnya lewat kepiawaiannya memadupadankan busana di Instagram.
Di luar itu, ada pula selebritas (seleb) medsos yang menjadi buah bibir lantaran memajang foto dan video kontroversial. Salah satunya, Karin Novrilda, pemilik akun @awkarin di Instagram.
Masalah seleb medsos seperti putus dengan pacar atau putus pertemanan pun menjadi perbincangan panas di seantero jagat maya hingga merembet ke kehidupan nyata. Jika alpa membahas problem mereka, seolah kita ketinggalan berita paling dahsyat. Si seleb medsos sendiri sudah tak punya masalah, bahkan mungkin mendapat iklan, sementara para pengikut masih berdebat dan membicarakan masalah pribadi seleb itu ke mana-mana.
Banyak kemungkinan
Era digital sekarang memang menawarkan banyak kemungkinan. Medsos bisa mendorong seseorang menjadi penyanyi terkenal. Seseorang tak harus menyanyikan karya sendiri karena memang banyak juga yang menyanyikan lagu orang lain. Jika beruntung, cara ini bisa memberikan popularitas dan keuntungan lain.
Saat demam lagu "Pen Pineapple Apple Pen (PPAP)", banyak aktivis medsos yang menyanyikan lagu itu. Pelawak sekaligus presenter Andre Taulany menyanyikan lagu "PPAP" di acara Ini Talk Show di Net TV. Aksi lucu Andre-lengkap dengan gaya dan baju kuning yang mirip sekali dengan penyanyi aslinya, Chee Yee Teoh-diunggah ke Youtube.
Nah, ada juga penyanyi yang mengawali karier dengan cover version. Contohnya GAC dan Isyana Sarasvati. Pada awalnya, mereka bikin covering lagu sekadar untuk bersenang-senang, baru kemudian menjadi terkenal.
GAC, yang terdiri dari Gamaliel, Audrey, dan Cantika, terbentuk tahun 2008. Awalnya, Gamaliel dan Audrey Tapiheru, abang-adik itu, sering mencoba membuatcover version lagu-lagu penyanyi mancanegara, seperti Lady Gaga, Taio Cruz, dan Jason Mraz. Iseng-iseng, mereka coba dokumentasikan kegiatan itu. Kini, GAC sudah punya dua album, sedangkan Isyana sudah meluncurkan satu album.
Tanpa batasan
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida, mengatakan, medsos adalah agen untuk mengomunikasikan segala hal, seperti perilaku, pemikiran, dan kebiasaan. Jadi, obyeknya bisa positif, bisa pula negatif. Jika media arus utama lebih menekankan sisi positif, medsos nyaris tidak memiliki batasan. Akibatnya, hal-hal konyol atau buruk sekalipun bisa menjadi populer.
Medsos menjadi media ekspresi semua orang. Jika ada banyak yang merasa terhubung dengan seorang pemilik akun, lalu menjadi komunitas, maka akun tersebut akan besar dan punya banyak pengikut.
Pada masa lalu, artis punya tanggung jawab sosial karena dia menjadi rujukan,role model,bagi penggemarnya. Di medsos, alih-alih mementingkan rasionalitas, medsos memuja kebebasan berekspresi. Maka, wilayah privat pun bukan hal tabu diumbar ke medsos, yang sejatinya merupakan ruang publik.
Masyarakat sekarang kian bergeser dari masyarakat offline ke masyarakat online.Dulu, rujukan sangat terbatas dari media arus utama. Sekarang, rujukan bisa dari mana saja.
Pembelajaran sosial tidak hanya dari pengalaman, tetapi juga dari pengamatan. Tidak perlu berinteraksi langsung. Kelompok punk di Indonesia, misalnya, tidak perlu berinteraksi dengan kelompok punk di Inggris, tetapi mereka bisa meniru dan merasa terhubung.
Di sini, lanjut Ida Ruwaida, siapa pun bisa menjadi pembicaraan. Contohnya, tokoh remaja kontroversial yang bakal direspons dua kelompok, haters(pembenci) dan lovers (pencinta). Mereka cenderung pakai satu kacamata: negatif atau positif.
Lovers terus mencari pembenaran, begitu juga sebaliknya. Haters sulit diberi penjelasan karena kehilangan kemampuan memilah. Masyarakat onlinelebih suka memahami dengan melihat ketimbang mencari tahu lebih jauh.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, menyebutkan, medsos bisa menjadi panggung bagi seseorang yang ingin menampilkan apa saja, dengan pilihan menjadi sutradara atau pemain. Medsos ibarat alat untuk membangun panggung dan menghasilkan rekayasa instan.
Di satu sisi, kondisi ini berpotensi menumbuhkan kreativitas dan solidaritas. Namun, di sisi lain, mudah terjadi pendangkalan karena orang gampang membuat sesuatu tanpa melalui proses panjang. Ini sulit melahirkan endapan reflektif.
Untuk itulah, lanjut Arie, kaum muda ditantang untuk saling mengontrol dan mengingatkan dalam menggunakan medsos. Komunitas di jaringan ini harus memiliki sifat kritis, tidak mudah terjebak, mengecek informasi sebelum dibagikan, dan menghidupkan fungsi edukasi.
Negara tidak mungkin bisa membendung arus media sosial, tetapi bisa membangun kultur yang kritis. Budaya ini kemudian membentuk sikap humanis, menghargai kemanusiaan.
(SUSIE BERINDRA/IDA SETYORINI)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Dilema Selebritas Virtual".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar