Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 29 Desember 2016

Harapan dari "Game" Lokal (Kompas)

Sebelum demam Pokemon Go merembes ke Indonesia, game Tahu Bulat buatan Eldwin Viriya lebih dulu mencuri perhatian jutaan penggemar game, terutama di Indonesia. Tahu Bulat membuka mata bahwa game lokal dengan warna lokal diminati pasar lokal dan diterima industri game global.

Sepanjang 2016, Tahu Bulat boleh dikata menjadi game lokal paling bersinar di kanal game global, Google Play Store.

Dalam tiga pekan selama Juni lalu, gameyang diinspirasi dari pedagang tahu bulat keliling ini diunduh 2,5 juta kali di Indonesia saja. Tahu Bulat menjadi gamegratis paling populer di Google Play saat itu, mengalahkan game Clash of Clans buatan Supercell asal Finlandia. Hingga 24 Desember lalu, Tahu Bulat telah diinstal dalam kisaran 5 juta-10 juta kali.

Berkat kesuksesan Tahu Bulat, Eldwin yang baru berusia 27 tahun bisa meraup ribuan dollar AS sehari dari pembelian fitur dalam aplikasi (in-app purchase).

Sebelumnya, ada game Tebak Gambar buatan lokal yang menurut data Google Play telah diinstal lebih dari 5 juta kali. Ada pula game Sushi Chain, tentang pelayanan di warung sushi, yang telah diunduh lebih dari 1,2 juta kali. Dari situ, pembuat Sushi Chain, studio Touchten, membuat lagi game baru hingga 30 buah. Total unduhan lebih dari 15 juta kali.

Keberhasilan Tahu Bulat yang menawarkan game dengan warna Indonesia memberikan motivasi kepada para pengembang game lokal. Andi Taru Nugroho, pendiri Educa Studio, mengatakan, "Kami menjadi lebih percaya diri. Ternyata, game dengan warna lokal bisa diterima secara global."

Dulu, ujarnya, pengembang gameIndonesia membuat game dengan nuansa kejepang-jepangan atau kebarat-baratan agar bisa diterima di pasar, termasuk pasar game lokal.

Sekarang, mereka percaya diri menggelontorkan karya-karya yang berwarna lokal ke jagat game virtual. Maka, tidak heran jika di antara game-game asing, seperti Angry Bird, Pokemon Go, atau Clash of Clans, kini terselipgame lokal, seperti Bis Mania, Telolet Om, dan game hantu-hantuan khas Indonesia.

Andi Taru sendiri memilih membuatgame bermuatan edukasi untuk anak-anak, mulaidari game belajar membaca, belajar shalat, hingga kisah-kisah untuk anak-anak, seperti Timun Mas dan Bawang Merah-Bawang Putih. Sejak tahun 2012, ia telah membuat 280 gamedengan total instalasi 20 juta kali.

Pasar yang besar

Jagat game virtual Indonesia beberapa tahun terakhir terus menggeliat. Berdasarkan survei Newzoo pada tahun 2015, pemain game di Indonesia lebih dari 42 juta orang. Pasar game ini menghasilkan uang sekitar 321 juta dollar AS atau sekitar Rp 4 triliun.

Pada 2016, pasar game Indonesia diperkirakan menghasilkan uang lebih dari 600 juta dollar AS atau sekitar Rp 8 triliun. Terbilang kecil dibandingkan dengan pasar game global yang diperkirakan bernilai 99,6 miliar dollar AS pada 2016. Namun, dengan jumlah itu saja, Indonesia saat ini tercatat sebagai pasar game terbesar di Asia Tenggara.

Lantas, berapa rezeki dari pasar gameIndonesia yang bisa dinikmati pengembang lokal? Ternyata masih secuil, di bawah 2 persen. Sisanya, 98 persen, dinikmati pengembang gamemancanegara.

Industri game Indonesia memang masih terbilang muda sehingga belum bisa berbicara banyak. Anak-anak muda yang kini menjadi motor industri game Tanah Air kebanyakan baru menekuni bidang ini 3-5 tahun.

Ekosistem industrinya pun belum matang. Bahkan, data yang mengidentifikasi siapa saja pelaku industri game lokal, data potensi pasar, dan sebagainya belum tentu dimiliki Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang juga masih muda.

Kalaupun datanya ada, sebagian besar adalah data yang disusun dari hasil survei lembaga lain, terutama lembaga asing. Ini juga terjadi pada subsektor industri kreatif lainnya yang terlebih dahulu berkembang di Indonesia, seperti film, musik, dan mode.

Meski begitu, ada angin segar yang diembuskan para pelaku industri gameIndonesia. Sebagian dari mereka sudah menyadari perlunya kerja sama untuk membangun ekosistem industri yang matang, meliputi rantai pendukung produksi, sumber daya manusia (SDM), pasar, promosi, regulasi, pemodal, dan sebagainya.

Hal ini diperlihatkan sekitar 180 pengembang game Indonesia yang selama 2016 menggelar sekitar delapan pertemuan yang difasilitasi Bekraf dan Dicoding Space, perusahaan asal Bandung yang menaruh perhatian pada pengembangan ekosistem industri kreatif berbasis teknologi.

Akhir November lalu, mereka berhasil mengidentifikasi persoalan yang dihadapi pengembang lokal, mulai dari soal regulasi, kurangnya SDM, kurangnya promosi nasional, riset, hingga urusan langkanya investor lokal dan kurikulum pendidikan untuk menyiapkan sumber daya manusia industri game. Mereka mencoba mencari jawabannya, dan hasilnya akan disodorkan kepada pemerintah sebagai masukan.

Rebutan talenta

Sejauh ini, persoalan yang paling dirasakan pelaku industri lokal adalah kurangnya SDM yang berkualitas. Akibatnya, di antara pelaku industri gamelokal saling bertarung untuk mendapatkan SDM bertalenta. Persaingan makin tajam lantaran studio-studio game global juga ikut dalam perlombaan memperebutkan talenta di Indonesia.

Yoza Aprilio, Chief Innovation Officer Dicoding Space, menyebutkan, pada 2015, ada sekitar 500.000 lulusan teknik informatika. Namun, dari jumlah itu, hanya 40.000-an yang bisa diserap industri informatika. Hal itu terjadi karena ada kesenjangan antara kebutuhan industri, termasuk game, dan kualitas SDM yang disodorkan perguruan tinggi. Ternyata, sebagian besar lulusan teknologi informatika belum siap begitu bekerja di industri game yang bergerak cepat.

Untuk mengatasi hal itu, pelaku industri akhirnya memilih melatih dan mengembangkan sendiri SDM yang relatif masih mentah itu agar cepat matang. Dicoding sejak tahun 2015, misalnya, telah melatih 10.000-an pengembang dari seluruh Indonesia.

Saat ini, jumlah pengembang gameIndonesia yang terkurasi Dicoding sebanyak 40.000 orang dengan produk sekitar 2.850 aplikasi, baik permainan maupun penunjang keseharian (utility). Jumlah aplikasi tersebut telah diunduh sebanyak 350 juta kali.

Serbuan "game" asing

Pelaku industri aplikasi game Indonesia memang mesti berlomba dengan waktu untuk memperkuat ekosistem industrinya. Ini akan berhasil jika semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah, memberikan dukungan nyata untuk pengembangan industri kreatif.

Jika anak-anak muda pelaku industri kreatif dulu memersepsikan pemerintah sebagai pihak yang sering merecoki usaha mereka dengan kebijakan-kebijakan yang memberatkan, ke depan pemerintah harus menjadi pendukung terdepan pelaku industri kreatif.

Ke depan, pertarungan industri kreatif global akan semakin keras. Pasar industrigame Indonesia pada 2019 diperkirakan akan menyentuh angka 1,6 miliar dollar AS atau sekitar Rp 21 triliun. Di dunia global yang kian tanpa batas, pasar gameIndonesia bisa dimasuki dan direbut oleh siapa saja.

Belakangan ini, pengembang game asing, misalnya, mulai meluncurkan sejumlahgame asing dengan nuansa dan bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai strategi merebut pasar game Indonesia yang cukup besar dan menggiurkan.

Ini akan memberikan tantangan tambahan kepada pengembang gamelokal yang juga hendak merebut pasar lokal, sebelum mereka mampu membuatgame sekelas Pokemon Go yang mampu menghadirkan histeria di seluruh dunia meski hanya sesaat.

(HERLAMBANG JALUARDI/ BUDI SUWARNA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Harapan dari "Game" Lokal".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger