Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 Desember 2016

Bukan Saatnya Mencari Kesalahan (Kompas)

Dua lifter kebanggaan Indonesia, Eko Yuli Irawan dan Sri Wahyuni, dielu-elukan publik berkat kesuksesan meraih satu medali perak Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Agustus lalu.

Eko, yang tampil di kelas 62 kilogram, menempati peringkat kedua dengan angkatan total 312 kg (142 kg snatch dan 170 kg clean and jerk). Ayah satu anak yang sudah tiga kali ikut Olimpiade itu kalah dari lifter Kolombia, Oscar Albeiro Figueroa Mosquera, dengan total angkatan 318 kg.

Sementara Yuni menorehkan prestasi tingkat dunia dengan total 192 kg. Atlet putri yang baru pertama kali tampil di Olimpiade itu mengangkat beban 85 kg disnatch dan 107 kg clean and jerk. Dia menjadi atlet Indonesia yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Rio 2016.

Para lifter masih penasaran dengan medali emas Olimpiade. Selama tiga kali Olimpiade, Eko mengantongi dua perunggu (Beijing 2008 dan London 2012) dan perak (Rio 2016). Dia bertekad memburu emas di Tokyo 2020.

Seusai Olimpiade Rio, momen besar lain yang ditunggu atlet Indonesia, termasuk Eko dan Yuni, adalah Asian Games 2018. "Dukungan keluarga memotivasi saya untuk berprestasi lebih baik lagi," ujar Yuni, dengan mata berkaca-kaca.

Langganan medali

Medali bagi tim angkat besi Indonesia sudah menjadi tradisi sejak Olimpiade Sydney 2000. Ketika itu, medali diraih lifter Raema Lisa Rumbewas dan Sri Indriyani di kelas 48 kg, serta Winarni Slamet di kelas 53 kg. Lisa dan Sri meraih medali perak dan perunggu, sementara Winarni menyabet perunggu.

Lisa kembali meraih medali perak pada Olimpiade Athena 2004. Berlomba di kelas 53 kg, atlet kelahiran Jayapura tersebut naik podium bersama peraih medali emas Nurcan Taylan (Turki) dan Aree Wiratthaworn (Thailand, perunggu).

Pada Olimpiade Beijing 2008, giliran Eko Yuli Irawan dan Triyatno menyabet medali. Kedua lifter itu mempersembahkan medali perunggu pada nomor 56 kg dan 62 kg.

Pada Olimpiade London 2012, tim angkat besi menjadi penyelamat Indonesia. Hal itu tak lepas dari kegagalan bulu tangkis meraih medali. Di London, Eko Yuli kembali meraih perunggu di kelas 62 kg dan Triyatno yang turun di nomor 69 kg membawa pulang perak. Catatan itu berlanjut di Olimpiade Rio 2016. Eko dan Yuni menjadi lifter yang aktif menjaga tradisi itu.

Meski sudah menorehkan sejarah perolehan medali sejak Olimpiade Sydney 2000, cabang angkat besi masih dipandang sebelah mata. Menjelang Rio 2016, tim angkat besi berlatih di tengah berbagai persoalan yang membelit, seperti tempat latihan, serta keterbatasan nutrisi, peralatan, dan anggaran pemerintah yang terbatas, juga sering terlambat dan kurang fleksibel.

Beberapa bulan menjelang Olimpiade Rio, beredar kabar tempat latihan angkat besi di Pintu Kuning Stadion Utama GBK, Senayan, Jakarta Pusat, harus dibongkar untuk renovasi arena Asian Games 2018. Akibatnya, setiap hari para atlet berlatih dengan perasaan waswas karena takut tempat mereka berlatih sewaktu-waktu digusur.

Selain itu, program latihan belum menjadi satu dengan program nutrisi. Adapun kebutuhan nutrisi belum didukung anggaran memadai. Setiap hari, atlet menerima anggaran Rp 500.000 per hari untuk nutrisi dan akomodasi. Manajer dan pelatih harus putar otak mencari sponsor agar nutrisi dan vitamin atlet terpenuhi. Masalah lainnya, program pelatnas yang dijalani atlet sering terputus-putus. Tidak berkesinambungan.

Manajer tim angkat besi Alamsyah Wijaya mengatakan, pelatnas angkat besi untuk Olimpiade Rio dilakukan mulai 4 Januari 2016, atau hanya delapan bulan menjelang kejuaraan. "Kalau bukan orang 'gila' yang start, kapan mulainya. Kalau menunggu anggaran pemerintah, kapan turunnya?" kata Alamsyah.

Alamsyah menuturkan, untuk mencapai prestasi terbaik, atlet tidak cukup mengandalkan program latihan yang hanya beberapa bulan saja. Dibutuhkan program latihan jangka panjang, berkelanjutan, dan didukung anggaran dan fasilitas memadai.

Lifter legendaris Indonesia, Raema Lisa Rumbewas, misalnya, tidak secara instan bisa berprestasi. Lisa mengalami lonjakan kemampuan angkatan dalam waktu 4-8 tahun latihan. Kemampuan Eko juga meningkat setelah menjalani pelatnas bertahun-tahun. Dia mulai masuk pelatnas pada 2006.

Regenerasi dan kaderisasi

Jika ingin merebut medali emas Olimpiade, Indonesia harus segera meregenerasi atlet. Terbukti, mencetak atlet berkualitas tak cukup setahun-dua tahun. Sementara sebagian atlet senior sudah tak berada di kemampuan puncak karena beberapa sebab, seperti usia, riwayat cedera, dan beban mental. Menurut Alamsyah, hingga kini pemerintah belum membiayai pembinaan atlet yunior. "Tak ada waktu menunggu. Kami harus cari sponsor agar pembinaan berjalan," katanya.

Hingga Tokyo 2020, medali Indonesia mungkin masih bisa "diamankan" Eko. Namun, ibarat dongkrak, lifter gempal ini lama kelamaan "aus" juga karena faktor usia. Pertanyaannya, siapa lagi setelah Eko?

PB PABBSI menanggung pekerjaan rumah yang berat dalam kaderisasi. Di kelas 69 kg putra, PABBSI harus mencari pengganti Triyatno yang terhenti meraih medali sejak 2012. Lifter 29 tahun ini, sebelum London 2012, dibelit cedera lutut parah.

Di kelas 69 kg hanya ada Triyatno, sedangkan di kelas 62 kg, Eko bertarung bersama M Hasbi. Namun, selisih angkatan Hasbi sangat jauh dibandingkan Eko, yaitu terpaut 22 kg saat di Rio.

Akhir Oktober lalu, PB PABBSI mengumpulkan para pelatih, manajer, pengurus federasi, ahli ilmu keolahragaan, dokter, dan tim akademisi untuk merumuskan strategi meraih medali emas pada Tokyo 2020.

Dalam rapat itu muncul beberapa masukan, seperti perlunya memaksimalkan penerapan ilmu keolahragaan (sport science), pelibatan para ahli untuk pendampingan kepelatihan atlet, serta dukungan anggaran dan fasilitas akomodasi dan transportasi. Berbagai kebutuhan ini harus dipenuhi secara bertahap mulai 2017, 2018, 2019, hingga 2020.

Manajer Kesehatan Umum, Cedera Olahraga, dan Rehabilitasi Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas Andi Kurniawan mengatakan, sebagian atlet menjalani pelatnas menuju Rio dalam kondisi kurang optimal karena cedera. Tulang lutut Eko, misalnya, retak. Sebagian atlet juga kelebihan berat badan. "Kalau memasang target emas, jangan sampai ada lagi atlet yang menurunkan berat badan dalam waktu singkat. Program latihan harus menyatu dengan rehabilitasi dan nutrisi," katanya.

Wakil Ketua Umum PB PABBSI Djoko Pramono menambahkan, demi medali emas di Olimpiade Tokyo 2020, bukan saatnya lagi mencari kesalahan atau pihak yang paling bertanggung jawab dalam pencapaian prestasi di Olimpiade lalu. "Kita harus berpikir, ke depan mau bagaimana? Itu yang terpenting," kata Djoko.

(DENTY P NASTITIE/

LUSIANA INDRIASARI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Bukan Saatnya Mencari Kesalahan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger