"Tak usah muluk-muluk, tunjukkan saja bahwa Indonesia bisa menjadi tuan rumah Asian Games dengan bersih, yang bebas dari korupsi," kata pengamat olahraga Fritz Simandjuntak dalam acara diskusi tentang penyelenggaraan Asian Games (AG) 2018 yang digelar Kompas di Jakarta, 22 Maret 2016.
Fritz menjawab pertanyaan tentang posisi atau target Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018 setelah negara ini menggelar ajang serupa pada 1962. Ketika itu, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia unjuk diri sebagai negara besar di Asia. Jakarta diubah menjadi kota besar, salah satunya dengan pembangunan kompleks olahraga Gelora Bung Karno, Senayan.
Komentar Fritz sangat masuk akal karena proyek olahraga di negara ini rentan dikorupsi. Lihat saja kasus korupsi pembangunan wisma atlet untuk SEA Games 2011 di Palembang, Sumatera Selatan. Ada pula korupsi proyek pembangunan arena Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau 2012. Lalu, dugaan korupsi pembangunan Stadion Gelora Bandung Lautan Api di PON Jawa Barat 2016 yang ditangani Badan Reserse Kriminal Polri.
Kesiapan Indonesia
Kini, belum lagi Asian Games 2018 dimulai, dugaan korupsi muncul. Desember ini, Polda Metro Jaya telah menetapkan tiga tersangka korupsi dana sosialisasi. Mereka adalah Sekretaris Jenderal Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Dodi Iswandi; rekanan pemenang tender sosialisasi di Surabaya, Ikhwan Agus Salim; dan Bendahara KOI Anjas Rivai.
Hingga saat ini, dugaan korupsi itu dinyatakan tak akan mengganggu persiapan. Namun, ini jadi peringatan di tengah pendeknya persiapan menjadi tuan rumah.
Biasanya, sebuah kota memiliki waktu 6-8 tahun setelah ditetapkan menjadi tuan rumah. Namun, Jakarta dan Palembang hanya memiliki empat tahun setelah Dewan Olimpiade Asia (OCA) menetapkan Indonesia sebagai pengganti Vietnam, yang mundur karena resesi ekonomi, pada Juli 2014.
Indonesia berpengalaman menjadi tuan rumah multicabang internasional, tetapi lebih banyak di tingkat Asia Tenggara (SEA Games), termasuk ketika menggelar SEA Games 2011 di Jakarta dan Palembang, dua kota yang juga akan menggelar Asian Games 2018.
Indonesia juga pernah menggelar Asian Games, tetapi itu terjadi 54 tahun lalu ketika ajang ini cuma diikuti 1.460 atlet dari 16 negara. Kini, berkaca pada Incheon 2014, Asian Games diikuti 9.501 atlet dari 45 negara.
Dengan sisa waktu yang ada, banyak persiapan yang harus dilakukan, seperti merenovasi arena pertandingan, membangun perkampungan atlet, membangun infrastruktur transportasi, menyiapkan keperluan media, dan lain-lain. Itu belum termasuk persiapan sumber daya manusia, termasuk atlet Indonesia yang akan bertanding.
Persiapan harus sedetail mungkin agar kekurangan saat menggelar SEA Games 2011 tak terjadi lagi.
Saat itu, persiapan tak dilakukan dengan cepat sejak jauh hari sehingga semua terburu-buru pada hari-hari terakhir menjelang lomba. Di Palembang, khususnya, masih banyak arena belum siap menjelang laga. Beberapa arena juga tidak sempat diuji coba melalui tes event dan koordinasi panitia saat lomba pun sering bermasalah.
Fasilitas pemanasan bagi atlet sebelum lomba juga sering terabaikan. Di Gelanggang Olahraga Renang Jakabaring, kolam latihan dibuat di tempat terbuka sehingga lantai licin saat hujan dan rawan membuat atlet cedera.
Keamanan juga patut diperbaiki. Banyak wartawan, termasuk wartawan asing, dan penonton menjadi korban pencopetan dan pencurian. Di pusat media utama, beberapa laptop dan telepon genggam hilang, padahal hanya wartawan, panitia, dan petugas keamanan yang memiliki akses ke ruang itu.
Belajar dari pengalaman negara lain
Untuk keamanan dan persiapan, SEA Games Singapura 2015 dan Olimpiade Rio de Janeiro 2016 bisa jadi satu contoh. Pemeriksaan dengan pendeteksi logam ala bandara diterapkan untuk semua orang yang akan masuk ke arena. Di Rio, menjelang dan saat penyelenggaraan Olimpiade, 2-5 polisi bersenjata berjaga di setiap jarak 100 meter. Sempat terjadi penjambretan kamera fotografer, tetapi penyelenggaraan Olimpiade berlangsung aman.
Meski terbilang lancar, Olimpiade Rio bukannya tidak meninggalkan masalah. Karena digelar pada masa resesi ekonomi, protes warga terkait kesejahteraan muncul kembali seperti sebelum Olimpiade. Ratusan pekerja yang membangun stadion juga belum dibayar.
Menjadi tuan rumah Asian Games 2018 sebenarnya bisa mendatangkan keuntungan. Penelitian tentang dampak menjadi tuan rumah multicabang internasional oleh Divisi Penelitian dan Pelayanan Perpustakaan Sekretariat Dewan Legislatif Hongkong (2004) memperlihatkan, Asian Games Bangkok 1998 dan Busan 2002 berdampak positif bagi publik.
Dampak- dampak positif itu berupa keberadaan infrastruktur transportasi dan arena olahraga, meningkatnya kunjungan wisata, dan investasi ekonomi. Korea Selatan juga menghidupkan area baru saat menjadikan Incheon sebagai tuan rumah Asian Games 2014.
Namun, pengorbanan besar (biaya) pun dibutuhkan. Bangkok menghabiskan 2,67 miliar baht (setara Rp 700 miliar pada saat itu) untuk Asian Games 1998. Sebanyak 40 persen berasal dari sponsor, 10 persen dari pemerintah, dan sisanya dari sumber lain. Pemerintah juga mengeluarkan Rp 506 miliar untuk infrastruktur transportasi, komunikasi, perkampungan atlet, dan tiga kompleks olahraga baru.
Incheon 2014 diselenggarakan dengan total anggaran Rp 21,7 triliun. Sebanyak 19 persen berasal dari Pemerintah Korsel, 78,9 persen dari Pemerintah Kota Incheon, pemerintah kota lain 0,1 persen, dan pihak swasta 2 persen.
Dari berbagai multicabang internasional, hanya Olimpiade Los Angeles 1984 yang bisa terselenggara atas dukungan swasta secara penuh. Mereka pun meraih untung finansial.
Lalu, apa target dan posisi Indonesia (Jakarta dan Palembang) sebagai tuan rumah Asian Games 2018? Yang pasti, mewujudkan multicabang yang bersih korupsi tampaknya nyaris tak tercapai.
(EMILIUS CAESAR ALEXEY/YULIA SAPTHIANI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar