Tim Garuda sempat dipandang sebelah mata saat akan mengikuti Piala AFF 2016. Jangankan menembus final, untuk lolos dari "grup neraka" pada babak penyisihan di Filipina pun Indonesia juga diragukan.
Pesimisme itu bisa dimaklumi. Sepak bola Indonesia ibarat bocah yang kembali belajar berjalan setelah melewati periode gelap 12 bulan pembekuan oleh FIFA.
Saat terkucil, tim nasional dibubarkan dan kehilangan lawan tanding internasional untuk mengasah diri. Kompetisi resmi yang menjadi ajang menempa diri bagi pemain ditiadakan hampir sepanjang tahun lalu. Keikutsertaan Indonesia di Piala AFF 2016 pun ibarat keputusan di injury time, yaitu muncul di detik-detik terakhir menyusul dicabutnya skorsing FIFA, Mei lalu.
Sejak itu, sepak bola Indonesia terbangun dari mimpi buruk. Pemain, pelatih, dan wasit kembali bergairah. Mereka kembali punya kehidupan. Stadion-stadion yang sempat sunyi pun menjadi semarak lagi sejak bergulirnya turnamen berformat kompetisi, Torabika Soccer Championship (TSC).
Timnas pun terlahir kembali meskipun usianya masih sangat belia, yaitu empat bulan. Bandingkan dengan timnas Vietnam dan Thailand yang sudah terbentuk dan berlatih bersama selama setidaknya empat tahun.
Bukan sekadar belia, pilihan pemain untuk memperkuat tim Garuda oleh pelatih Alfred Riedl pun dibatasi. Klub-klub dan pengelola TSC hanya mengizinkan maksimal dua pemain dari setiap klub untuk membela timnas.
Di Asia Tenggara, hanya Indonesia yang kompetisinya tidak libur saat Piala AFF digelar.
Jadi, situasinya memang sangat tidak ideal. Namun, semua itu tidak mematahkan tekad dan semangat juang skuad Garuda yang patut diacungi jempol.
Sayangnya, tekad dan semangat membara tidak cukup menjadi bekal juara. Kekalahan 0-2 dari Thailand pada laga kedua final Piala AFF 2016 menunjukkan tidak ada yang instan di dalam olahraga prestasi. Pengalaman, kematangan, dan mental juara ikut menentukan.
Mantan kapten timnas Indonesia, Ponaryo Astaman, mengatakan bahwa sepak bola bukan semata laga 2x45 menit. Jauh di luar waktu tanding itu, ada ribuan jam yang diperlukan untuk berproses menjadi tim kuat dalam kucuran keringat, bahkan air mata.
Pembenahan sejak dini
Untuk membangun timnas yang kuat di masa depan, PSSI perlu menaruh perhatian lebih besar terhadap proses penyiapan pemain sejak tingkat paling bawah. Proses itu harus dilakukan mulai dari hilir, yaitu pembinaan pemain sejak usia dini secara berkesinambungan. Pemerintah juga perlu membantu dalam menyediakan lapangan sepak bola di sejumlah kota dan desa.
Perlu ada standardisasi program latihan sejak dari sekolah sepak bola hingga klub-klub profesional. Standar itu diperlukan sebagai acuan dalam rangka menyiapkan pemain usia dini sampai pemain muda menjadi pemain yang hebat dari segi kualitas teknik, stamina, visi bermain, dan karakter. Klub juga perlu memberi porsi bermain yang lebih besar bagi pemain muda agar mereka berpengalaman bertanding.
Asisten pelatih timnas Wolfgang Pikal pernah mengeluhkan buruknya stamina pemain. Kualitas pemain muda juga kurang terasah karena sedikitnya kesempatan bermain di klub.
Hal itu berbeda jauh dengan Vietnam dan Thailand yang menyiapkan pembinaan berjenjang sejak usia dini dengan intensif. Kini, Vietnam menjadi jagoan sepak bola di Asia Tenggara.
Thailand, yang lebih dulu melakukannya, selalu mendominasi Asia Tenggara dan mulai bersaing di tingkat Asia. Thailand selalu dominan karena program pembinaan mereka sudah benar.
Indonesia sebetulnya tidak pernah kekurangan pesepak bola berbakat. Lihat saja Tristan Alif Naufal (12), pesepak bola cilik yang dijuluki "Lionel Messi" Indonesia, mengundang decak kagum klub-klub di Spanyol lewat kelincahannya mengolah si kulit bundar. Ia sempat diincar klub Liga Spanyol, Leganes.
Ada pula tim dari SSB ASIOP Apacinti yang menjadi juara Piala Gothia (ajang Piala Dunia usia dini di Swedia) untuk kelompok U-15, Agustus lalu.
Jika terus diasah dalam pembinaan yang benar dan kompetisi berkualitas, anak-anak itu dapat tumbuh sebagai pemain nasional yang hebat dan berpeluang mematahkan dominasi Thailand.
Namun, ibarat intan yang perlu terus diasah, generasi berbakat itu memerlukan pembinaan terarah dan iklim kompetisi sepak bola yang mendukung tanpa ada lagi kegaduhan di PSSI.
Jangan biarkan mereka menjadi generasi yang hilang karena praktik salah urus oleh pemangku kepentingan, khususnya pengurus PSSI, yang selama ini lebih sering mengurusi "perutnya" sendiri atau kelompoknya ketimbang berkorban bagi kepentingan negara.
Jangan biarkan pula "penyakit kronis", seperti penelantaran pemain atau tunggakan gaji, terus terulang. Kejadian miris, mantan pemain timnas, Muhammad Nasuha, yang harus menjalani operasi lutut tanpa bantuan klub maupun PSSI sepantasnya tidak boleh kembali terulang.
Aib di dunia sepak bola itu akan membuat generasi muda berpikir ulang soal meniti masa depannya di jagat sepak bola nasional. Apalagi jika tidak ada kompetisi yang sehat, serta praktik suap dan pengaturan skor terus berulang di negeri ini.
Indonesia ibarat kolam pemain dengan talenta bagus dan semangat yang hebat. Namun, hanya pembinaan sejak dini yang dapat membuat Indonesia kembali menjadi "Macan Asia" seperti setengah abad lalu.
Apalagi, Ketua Umum PSSI Letnan Jenderal (TNI) Edy Rahmayadi berikhtiar mengembalikan taring Indonesia di level Asia. Harapan tersebut akan diuji di SEA Games Malaysia 2017. PSSI dan pemerintah sepatutnya bergandeng tangan untuk mengembalikan kejayaan itu.
(YULVIANUS HARJONO/
EMILIUS CAESAR ALEXEY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar