Dalam cabang sepak bola, kita barangkali sangat sulit untuk mencapai kesepakatan karena begitu banyak pemain yang memiliki karakter yang hebat. Dari sedemikian banyak calon, saya lebih memilih Franz Beckenbauer sebagai pesepak bola yang paling berkarakter. Franz, sebagai kapten tim sepak bola Jerman, pernah menjuarai Kejuaraan Piala Dunia pada tahun 1974. Sebagai pelatih, Franz juga sukses membawa timnya menjadi juara dunia pada tahun 1990.
Sebagai analis sepak bola, pendapat Franz sampai sekarang masih didengar dan diburu. Di dalam dan di luar lapangan, Franz begitu superior dan sangat berkarakter.
Dalam cabang bulu tangkis, tampaknya kita juga bersepakat bahwa pemain yang paling berkarakter di dunia adalah Rudy Hartono. Untung kita memiliki Rudy. Kalau tidak, sepanjang sejarah perjalanan olahraga kita, tidak ada yang bisa kita andalkan dan ceritakan bahwa kita, bangsa Indonesia, pernah memiliki olahragawan terhebat di dunia dengan prestasi yang sangat konsisten.
Apa sebab ketiga olahragawan tersebut begitu superior dan memiliki karakter yang hebat? Tentu banyak aspek yang mendukungnya. Namun, yang sudah pasti, ketiga olahragawan tersebut harus menguasai kemampuan dasar yang sempurna dalam setiap bidang olahraga yang mereka tekuni. Di samping itu, mereka harus didukung tiga kemampuan tambahan berikut, yaitu disiplin, mempunyai kondisi fisik yang prima, dan latihan keras yang terus-menerus.
Akhirnya, setelah adanya empat prasyarat di atas barulah mereka mempunyai potensi untuk menjadi pemain yang berkarakter. Tidak semua atlet yang telah memiliki empat persyaratan tersebut secara otomatis akan menjadi atlet yang berkarakter. Tidak ada resepnya untuk memiliki karakter yang hebat. Ini sifatnya sangat personal.
Rudy Hartono, misalnya, selain memiliki prestasi hebat yang sangat konsisten, ia juga dikenal sebagai olahragawan yang rendah hati. Komentarnya tidak pernah membuat orang lain tersinggung dan sakit hati. Rudy disayangi dan dicintai oleh masyarakat Indonesia, tanpa kecuali.
Pendidikan karakter
Yang aneh di negara kita, kita ingin mendesain pendidikan karakter di level pendidikan dasar dan menengah. Sudah menjadi tipikal pemikir di negara kita bahwa kita selalu ingin berjuang di bagian akhir. Kita ingin berhasiltanpa proses, tanpa usaha, dan malas. Yang sangat celaka, konsep pendidikan karakter ini diaplikasikan kepada anak-anak kita dari sejak sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas.
Kalaupun yang dimaksud pendidikan karakter adalah ajaran nilai-nilai inti (core values) yang secara umum mempunyai sifat- sifat berikut: layak dipercaya (trustworthiness), saling menghormati (respect), bertanggung jawab (responsibility),bersikap adil (fairness), merasa senasib dan peduli (caring), serta menjadi warga negara yang baik (citizenship), tetap saja enam sifat suci tersebut terlalu abstrak untuk diajarkan.
Enam sifat suci tersebut harus dicontohkan oleh lingkungan yang membentuk siswa, yaitu lingkungan kelas, sekolah, rumah tangga, desa, kabupaten, provinsi, dan negara.
Kalau di negara kita banyak korupsi, teroris, dan lain-lain, bukan berarti sistem pendidikan formal yang salah. Kalau lingkungan busuk yang terbentuk, enam sifat suci tersebut tidak akan diperoleh oleh siswa kita.
Kalaupun pendidikan karakter ini ingin dipelajari, hendaknya kajian ini tidak diberikan kepada siswa. Kajian ini cukup dijadikan pelajaran di level universitas. Kita tidak perlu membuang waktu yang terbatas untuk memperkenalkannya kepada siswa. Yang sudah pasti, sangat sulit menilai dan mengevaluasi hasil dari pendidikan karakter ini. Konsep pendidikan karakter ini sangat abstrak. Kita tidak bisa mendidik seseorang menjadi seperti Muhammad Ali, Franz Beckenbauer, ataupun Rudy Hartono.
Yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan anak didik kita untuk memenuhi empat prasyarat di atas, yaitu mempersiapkan kemampuan dasar yang harus dikuasai, disiplin, kondisi fisik yang prima, dan latihan keras yang terus-menerus. Pemaknaan latihan keras ini tentu berbeda pada setiap jenjang pendidikan. Latihan keras siswa SD tentu berbeda dengan latihan keras anak SMA.
Tanpa adanya empat prasyarat di atas, siswa kita tidak mungkin berpotensi menjadi siswa-siswa yang berkarakter. Sangat jauh panggang dari api.
Fakta yang kita hadapi
Kompas (28/11) memberitakan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan, ada tiga opsi yang disiapkan terkait ujian nasional (UN). Ketiga opsi itu ialah penghapusan ujian nasional dari sistem pendidikan, penghentian sementara UN pada 2017, dan tetap menjalankan UN dengan teknis pelaksanaan diserahkan kepada daerah.
Diberitakan juga bahwa sejumlah organisasi guru—yakni Persatuan Guru Republik Indonesia, Ikatan Guru Indonesia, dan Federasi Serikat Guru Indonesia—mendukung moratorium UN. "Anak-anak belajar tidak jujur akibat ujian nasional. Kami mendukung moratorium," kata Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia.
Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, UN masih diperlukan untuk dijadikan standar penilaian. "Kalau tidak ada standar, bagaimana mengetahui kita sampai di mana," ujar Kalla di kantor Wapres.
Membaca Kompas (28/11) tentang masalah UN ini membuat perasaan kita bercampur aduk, tetapi arahnya semua negatif. Mengapa? Apa sebab terjadi perilaku tidak jujur? Jawabnya jelas: mayoritas siswa kita tidak siap untuk ikut UN karena mereka tak punya kompetensi untuk lulus SMA, SMP, dan bahkan SD.
Siswa yang telah lulus SD tidak punya kompetensi untuk lulus SD. Kemudian dengan modal ala kadarnya, mayoritas siswa ini melanjutkan pendidikannya ke SMP. Lalu, mereka lulus SMP lagi tanpa kompetensi untuk lulus SD dan SMP. Seterusnya, sampai mereka lulus SMA.
Begitu mereka ikut UN SMA dan SMP, aneh sekali, hampir 100 persen bisa lulus. Tiba-tiba, hampir 100 persen siswa kita punya kompetensi yang hebat sekali! Ini sama halnya seperti kita memasukkan air ke dalam keranjang. Tidak ada seleksi, tidak ada evaluasi. Yang ada hanyalah kegiatan mubazir, yang kita lakukan secara massal, yang menghabiskan uang yang tidak terkira jumlahnya serta waktu dan tenaga yang sia-sia. Persoalan ini pernah saya tulis di Kompas (21/9) dengan judul "Masa Depan Indonesia 2045" dan Kompas (18/10) dengan judul "Pekerjaan Rumah Pendidikan Dasar".
Oleh sebab itu, langkah pertama yang penting kita lakukan sekarang adalah tobat nasional. Mengapa? Karena, sudah begitu lama, yaitu sejak UN diberlakukan, kita semua sepakat untuk bersikap munafik dan tidak jujur. Kita secara sempurna telah mempertontonkan kepada seluruh siswa bahwa pendidikan karakter yang kita berikan hanya teori di dalam kelas belaka.
Ujian nasional yang kita gelar selama ini tidak sesuai dan bahkan bertabrakan secara diametral dengan core values dari pendidikan karakter itu sendiri, yaitutrustworthiness, respect, responsibility, fairness, caring, dan citizenship. Bagaimana mungkin membangun pendidikan karakter di atas fondasi yang sangat rapuh seperti ini?
SYAMSUL RIZAL
Profesor di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh; Alumnus Universitaet Hamburg,Jerman
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Pendidikan Karakter dan UN".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar