Menurut berita yang tersiar dari Wellington, John Key (55), pemimpin Partai Nasional konservatif, tidak akan mencalonkan lagi pada Pemilu 2017. Artinya, mantan eksekutif Merrill Lynch yang loncat ke panggung politik itu tidak akan merebut masa pemerintahan keempat. Ia pertama kali terpilih menjadi Perdana Menteri Selandia Baru pada tahun 2008, Pemilu 2011 dan 2014.
Keputusan John Key menarik dan pantas direnungkan para pemimpin di mana pun, termasuk di negeri ini. Mengapa? Ia tahu kapan naik, kapan turun. Ia tahu kapan memegang kekuasaan dan kapan melepaskan. Ia tahu kapan meninggalkan kursi jabatan tinggi dan kembali menjadi rakyat biasa.
Kita mencatat dan tahu, banyak pemimpin yang mabuk kekuasaan. Di negeri ini demikian banyak. Setelah tidak memungkinkan lagi untuk mempertahankan kekuasaan, lalu mendorong istri, anak, atau anggota keluarga lain untuk "meneruskan" kekuasaannya. Dikiranya negeri ini negara kerajaan, yang bisa mewariskan kekuasaan kepada anggota keluarga.
Selama ini, memang, kita seperti bersepakat bahwa bangsa ini terus dan terus mencari pemimpin yang punya integritas, tegas, berani, dan pemimpin yang efektif. Masih bisa ditambahkan lagi: seorang pemimpin harus memiliki rasa keadilan, cepat mengambil keputusan—yang berarti tidak cukup hanya man of ideas,, manusia pemikir,tetapi man of action, manusia penindak, berani mengambil keputusan—dekat dengan rakyat, yang berarti memihak rakyat. Tentu tidak kalah penting adalah pemimpin yang memahami dan menghargai keberagaman bangsa yang merupakan anugerah Ilahi, yang paham benar bahwa Indonesia adalah negara hukum karena itu menghormati hukum dan hak-hak asasi manusia.
Secara umum, seorang pemimpin adalah buah dari masyarakatnya. Apabila masyarakatnya kritis—tidak sekadar teriak dan waton suloyo tetap memiliki alasan yang kuat dan mendasar—dan berdaya secara politik, masyarakat seperti itu akan mampu menghasilkan pemimpin yang bermutu, seperti yang diharapkan, seperti yang sudah disebutkan. Apabila kondisi masyarakat adalah sebaliknya, hasilnya pun akan sebaliknya. Pendek kata, ada dialektika antara pemimpin dan rakyat.
Kembali ke Selandia Baru, pemimpin seperti John Key adalah hasil dari "ibu kandungnya" masyarakat negeri itu. John Key tidak hanya tahu kapan naik dan kapan turun, bahkan sudah menyiapkan penggantinya. Sementara di banyak negeri, banyak pemimpin yang berusaha mempertahankan kekuasaan, kalau perlu merangkap, karena kekuasaan dianggap bisa memberikan segalanya. Lupa bahwa kekuasaan sekaligus bisa-bisa membuat celaka.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Pemimpin yang Tahu Diri".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar