Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta misalnya, fokus perhatian kita cenderung kepada Agus-Silvy, Basuki (Ahok)-Djarot, dan Anies-Sandiaga. Pembacaan media dan pengamat kemudian hanya melebar bahwa ketiga pasangan kandidat ini merefleksikan pertarungan antara Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, dan Prabowo. Kita cenderung mengabaikan tokoh penting di balik pertarungan yang terjadi, yakni para konsultan politik.
Dennis W Johnson dalam bukunya No Place For Amateurs: How Political Consultants Are Reshaping American Democracy (2001) menggambarkan bagaimana peran konsultan politik profesional dalam bekerja, memoles, dan mengampanyekan kandidat. Berbeda dengan para amatiran politik, konsultan politik profesional boleh jadi mengabaikan prinsip-prinsip pribadinya yang mungkin bertentangan dengan kandidat.
Namun, hal itu bisa diabaikan sepanjang mereka dibayar secara profesional. Konsultan politik bisa bekerja dalam satu waktu untuk mengerjakan banyak pekerjaan terkait kegiatan politik.
Calon akan datang dan pergi, tetapi konsultan akan berada di sana untuk membimbing politikus dan para penerus melalui proses pemilihan. Mereka orang- orang yang sangat berpengaruh dan menentukan, tetapi sering tidak terlihat. Majalah Time bahkan pernah menjuluki Dick Morris, konsultan politik Bill Clinton, sebagai orang swasta paling berpengaruh di Amerika.
Pengaruh dan peran para konsultan politik profesional ini dapat dilihat pada Pilkada DKI Jakarta. Tidak semua konsultan politik secara terang-terangan mengakui di belakang para kandidat. Dari pengamatan penulis terhadap hasil publikasi survei pilkada, cara penyampaian dan pembacaan hasil survei, status di Twitter, setidaknya dapat dipetakan para konsultan politik dari kandidat masing-masing. Denny JA (LSI) bekerja sebagai konsultan politik Agus-Silvi; Yunarto Wijaya (Charta Politika), Saiful Munjadi (SMRC), Cyrus Network menjadi konsultan dari Basuki-Djarot; Eep Saefulloh (PolMark) menjadi konsultan dari Anies-Sandiaga.
Di luar nama-nama itu, ada beberapa konsultan politik lain yang terlibat dalam Pilkada DKI Jakarta. Sebagian nama dan lembaga yang saya sebutkan, masuk ke dalam sembilan lembaga survei yang sudah terdaftar di KPU DKI Jakarta. Sebagian besar para konsultan politik tersebut adalah pemain lama yang sudah terlibat dalam pemilu Indonesia dan pilkada DKI sebelumnya. Deny JA (LSI) misalnya, sudah mengklaim memenangkan 26 gubernur dan 55 bupati/wali kota di Indonesia. Belum lagi dihitung jumlah anggota legislatif yang meminta jasa konsultannya.
Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta sebelumnya, Eep Saefulloh Fatah adalah konsultan politik Jokowi-Basuki dan Denny JA adalah konsultan politiknya Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, yang saat itu dimenangi Jokowi-Basuki. Saat ini Eep Saefulloh harus berhadapan dengan Basuki yang dulu menjadi kliennya.
Mengelola isu pertarungan
Sebagaimana Johnson (2001) tulis, setiap kampanye memiliki keadaan, peristiwa, dan dinamikanya yang unik. Meskipun demikian, pola-pola kampanye merupakan proses daur ulang yang mirip. Ketika konsultan politik telah bekerja dalam puluhan pemilihan, pola kampanye dapat diprediksikan: bagaimana pesan dan tema, isu-isu, dan taktik akan dimunculkan, mengambil sedikit variasi dan tikungan baru. Konsultan yang berpengalaman dapat menyelamatkan calon dari membuat kesalahan, membaca peluang dengan cepat, dan mengambil keuntungan dari keadaan yang berubah.
Bagaimana hasil survei dan membuat strategi yang menguntungkan klien terlihat jelas dalam mengolah isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Jakarta. Awal Oktober, Populi merilis hasil temuannya bahwa elektabilitas Basuki-Djarot 45,5 persen, dan pemilih Muslim menyumbang 42 persen suara pasangan Basuki-Djarot berdasarkan kategori agama. Populi ingin mengesankan bahwa isu agama tidak berpengaruh signifikan dalam Pilkada DKI Jakarta.
Berbeda dengan Populi, LSI membaca temuannya berbeda. Meski persentase Muslim yang mendukung Basuki lebih dari 40 persen, tetapi itu hanya disumbang oleh 27,7 persen dari seluruh pemilih Muslim. Mengapa 27,7 persen dari total pemilih Muslim bisa memberikan kontribusi 42 persen terhadap total suara Basuki menurut kategori agama? Jelas karena populasi penduduk Muslim di DKI adalah mayoritas, yakni 85 persen dari total pemilih Jakarta. Data adalah data, tapi cara membaca data bisa membuat informasi berbeda, dan kesan yang ingin ditonjolkan para konsultan politik berbeda. Satu ingin mengatakan, isu SARA tak penting, yang lain penting.
Cara membaca data hasil survei dan strategi memenangkan kandidat terlihat jelas bagaimana isu agama diolah, dipoles, dan dipromosikan dalam memengaruhi massa. Selama satu bulan lebih, dan didukung peristiwa pidato Basuki di Kepulauan Seribu, isu agama mewarnai Pilkada DKI Jakarta. Dari sekian banyak konsultan politik dan lembaga survei yang terdaftar, sejauh ini Deny JA (LSI) yang paling banyak merilis beberapa kali hasil survei Pilkada DKI.
Sebelum video Basuki di Kepulauan Seribu yang bermasalah diunggah di Youtube (3/10/2016), Denny JA (LSI) merilis hasil survei "Ahok Potensial Kalah? Agus Harimuri Yudhoyono Kuda Hitam?". Setelah video Basuki itu viral di media, Deny JA (LSI) merilis survei tanggal 6/10/2016 dengan judul "Isu Agama Kalahkan Ahok?"
Dengan menggunakan data survei sebelumnya, LSI melihat bahwa penduduk Muslim Jakarta sangat besar (85 persen), ada indikasi bahwa jumlah pemilih Muslim yang tak ingin gubernur non-Muslim bergeser dari 40 persen (Maret) ke 55,6 persen (Oktober). Pada awal November, Denny JA (LSI) merilis surveinya, "Mayoritas Publik Salahkan Ahok Soal Al-Maidah".
Temuannya, jumlah pemilih Muslim yang tidak ingin gubernur non-Muslim meningkat dari 55,6 persen (Oktober) ke 63,4 persen (November). Selain itu, Denny JA menulis, "Pilkada DKI: Agama Yes, Kekerasan No" (22/10/2016), yang ingin menegaskan, penggunaan politik identitas adalah dibenarkan sejauh tidak melakukan kekerasan.
Siapa yang akan menang?
Hasil survei LSI menunjukkan, dalam satu bulan elektabilitas Basuki-Djarot turun 6,8 persen, turun dari 31,1 persen pada awal Oktober menjadi 24,6 persen pada awal November. Meskipun demikian, penurunan elektabilitas Basuki ternyata belum diikuti kenaikan elektabilitas Anies-Sandiago dan Agus-Silvi meskipun Agus-Silvi sudah mulai menggeser ke posisi kedua. Menariknya, pemilih Basuki-Djarot hanya pindah ke mereka yang tak mau menjawab/belum menentukan, meningkat dari 28,2 persen ke 34,5 persen.
Politik, seperti olahraga, zero-sum game: seseorang menang, seseorang kehilangan. Kesuksesan konsultan politik itu ditentukan menang atau kalah. Namun, kemenangan ini tidak cukup. Persepsi dan kilau juga penting bagi konsultan politik. Kasus Pilkada DKI Jakarta merupakan pertarungan yang sulit dan menempatkan sebuah pertarungan yang dapat mempertaruhkan reputasi para konsultan politik di masa datang.
Setelah demo 411 dan ditetapkannya Basuki sebagai tersangka (16/11/2016), pertarungan konsultan politik memasuki babak baru. Bagaimana konsultan politik akan mengolah isu ditetapkannya Basuki ini sebagai bahan jualan. Apakah Yunarto Wijaya (Charta Politika), Saiful Munjadi (SMRC), dan Cyrus Network bisa mengelola isu tersangkanya Basuki dalam meraih simpati pemilih dan mengembalikan pemilih Basuki? Atau, apakah Eep Saefulloh (PolMark) bisa menerobos di tikungan, menonjolkan Anies sebagai penengah di antara kandidat? Waktu tiga bulan ke depan yang akan menjawabnya.
ABDUR ROFI
Dosen Fakultas Geografi UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Pertarungan Para Konsultan Politik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar