Berbeda dari makna Hari Ibu di negara-negara Barat, Hari Ibu di Indonesia berangkat dari kesadaran politik perempuan tentang keindonesiaan dan buruknya nasib perempuan di bawah pemerintah kolonial Belanda.
Kongres Perempuan yang pertama diadakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta dihadiri organisasi perempuan dari, antara lain, Jawa, Sumatera, dan Maluku dengan berbagai latar belakang agama dan profesi. Semangat kongres tersebut sejalan dengan semangat kebangsaan saat itu yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober.
Lebih dari sekadar memperjuangkan kesadaran kebangsaan tentang Indonesia yang beragam, peserta kongres juga memperjuangkan nasib perempuan yang tertinggal dalam pendidikan, perdagangan anak perempuan, perkawinan anak, dan kekerasan terhadap perempuan yang merupakan persoalan bersama sebagai bangsa.
Yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah apa yang diperjuangkan para perempuan 88 tahun lalu ternyata semakin relevan saat ini.
Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia Badan Pusat Statistik yang diterbitkan Mei 2016 berdasarkan Susenas 2008-2012 dan Sensus Penduduk 2010 memperlihatkan, perkawinan anak menurun dua kali lipat dalam tiga dekade terakhir, tetapi angkanya masih tetap tinggi dan salah satu yang tertinggi di Asia Timur.
Lebih dari seperenam anak perempuan atau 340.000 anak tiap tahun menikah sebelum mencapai usia dewasa 18 tahun. Kecenderungannya, perkawinan anak perempuan kembali meningkat, terutama pada anak usia 16-17 tahun.
Anak yang menikah dini umumnya tidak melanjutkan pendidikan. Norma sosial-budaya dan kemiskinan menjadi pendorong perkawinan anak. Jalinan berbagai faktor membuat lingkar kemiskinan sulit diputus dan akan diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada saat bersamaan, Indonesia membutuhkan sumber daya manusia laki-laki dan perempuan berkualitas untuk lepas dari perangkap negara berpendapatan menengah.
Presiden sudah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak untuk melindungi anak dari kekerasan seksual.
Namun, upaya itu harus diikuti dengan segera menghapus perkawinan anak karena berkaitan dengan akses terhadap pendidikan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan agar kita tidak memperingati Hari Ibu dengan persoalan sama seperti saat pertama kali Kongres Perempuan diadakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar