Mabes Polri menjelaskan tiga terduga teroris, yaitu Dian Novia Yuli, Nur Solihin, dan Agus Supriyadi, ditangkap karena diduga berniat meledakkan bom bunuh diri di Istana Negara. Penangkapan terhadap sejumlah orang terkait dengan aksi teror terus dilakukan di sejumlah tempat. Mabes Polri menuduh ketiga orang itu masuk dalam jaringan Bahrun Naim.
Presiden Joko Widodo mengapresiasi langkah Densus 88. Presiden pun menegaskan tidak boleh ada ruang sekecil apa pun di Indonesia bagi terorisme dan Presiden mengajak masyarakat untuk bersatu memerangi terorisme (Kompas, 13 Desember 2016).
Namun, di sejumlah media sosial, penangkapan terduga teroris ditanggapi secara berbeda. Di berbagai media, khususnya media sosial, ada netizenmenulis penangkapan ketiga terduga teroris itu hanyalah pengalihan isu. Ada pula yang menyebutkan penangkapan itu merupakan kerja kontraintelijen.
Dalam era demokrasi bicara (talking democracy) sah-sah saja analisis itu diungkapkan. Perang di media sosial pun terjadi. Kita memandang berilah kesempatan kepada Polri membuktikan keterlibatan mereka secara hukum dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia.
Alam pikir pelaku teror dan alam pikir aparat intelijen tentunya berbeda. Dalam pikiran pelaku teror, mereka boleh saja merencanakan 1.000 serangan teror, tetapi cukup satu saja teror berhasil mereka lakukan, itu sudah keberhasilan. Sebaliknya, bagi aparat intelijen, intelijen harus bisa menggagalkan 1.000 serangan teror yang direncanakan pelaku teror. Satu saja aksi teror gagal dideteksi, dan terjadilah serangan teror, maka aparat intelijen kecolongan.
Dalam konteks itulah kita mengapresiasi langkah Densus menangkap terduga pelaku teror sebelum mereka merealisasikan niatnya. Namun, seiring dengan munculnya skeptisisme sementara pengguna media sosial, menjadi tugas Mabes Polri untuk membuktikan mereka melalui jalur hukum, melalui instrumen hukum, dan pengadilan terbuka.
Melihat tren global seperti serangan teror di Kairo (Mesir), Istanbul (Turki), dan Aden (Yaman), pada saat bersamaan, terorisme tetaplah menjadi ancaman nyata, termasuk di Indonesia. Karena itulah, upaya pencegahan teror perlu dilakukan, tanpa harus menunggu bom meledak terlebih dahulu. Revisi UU Terorisme yang lebih mengedepankan pendekatan hukum jadi sebuah keniscayaan. DPR perlu mempertimbangkan serius masalah ini.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Langkah Pencegahan Polri".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar