Pulau Pratas, atau Pulau Dongsha, merupakan pulau karang yang berada di bawah kekuasaan Taiwan. Sementara Tiongkok merasa bahwa apa yang dilakukannya sah-sah saja karena Taiwan dianggap sebagai bagian dari Tiongkok, sesuai dengan kebijakan "One China".
Manuver Tiongkok muncul hanya beberapa pekan setelah terjadi saling kecam antara Washington dan Beijing, menyusul percakapan telepon antara presiden terpilih AS, Donald Trump, dan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.
Persoalannya mungkin bukan pada isi percakapan yang hanya berupa ucapan selamat, melainkan "kesengajaan" Trump untuk memublikasikannya secara luas. Apalagi, Trump kemudian terus berkicau di Twitter dan wawancara soal kemungkinan AS tidak perlu mempertahankan kebijakan "One China", yang membuat Beijing berang.
Keseriusan Tiongkok soal kebijakan "One China" juga ditunjukkan Senin lalu lewat pemulihan hubungan diplomatik dengan negara kepulauan di Afrika, Sao Tome-Principe, bekas koloni Portugis yang berpenduduk 200.000 orang. Beijing langsung bertindak cepat merengkuh Sao Tome setelah Taiwan memutuskan hubungan dengan negara itu, 21 Desember lalu, akibat permintaan bantuan dana oleh Sao Tome yang jumlahnya "luar biasa besar".
Dengan demikian, di dunia ini hanya tinggal 21 negara, kebanyakan di Amerika Latin dan Karibia, yang menjalin hubungan resmi dengan Taiwan. Sebagian besar lainnya melakukan hubungan "tak resmi" demi menjaga hubungan baik dengan Tiongkok.
Berbagai manuver Tiongkok ini tak lepas dari pengamatan Jepang, yang kini merasa gamang karena tak adanya jaminan keamanan yang pasti dari Washington setelah terpilihnya Trump. Presiden terpilih AS itu sebelumnya mengatakan akan menarik pasukan AS dari Jepang seandainya Jepang tidak mengeluarkan dana lebih besar untuk kebutuhan pasukan AS di sana.
Ke manakah Jepang berpaling untuk meminta bantuan demi meredam dominasi Tiongkok? Kepada Rusia. Dalam pertemuan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Yamaguchi, Jepang, pekan lalu, kedua negara sepakat melakukan kerja sama ekonomi meski kedua pihak gagal mencari titik temu atas sengketa Kepulauan Kuril (versi Rusia) atau Northern Territory (versi Jepang).
Dengan kata lain, isyarat perubahan arah kebijakan luar negeri AS setelah terpilihnya Trump yang pro Rusia dan tak lagi memelihara aliansi tradisionalnya berdampak pada dinamika politik kawasan, meskipun pemain utamanya tetap "itu-itu" saja: Rusia, Tiongkok, Amerika Serikat. Dan kini, suka atau tidak, Rusia sudah "menyetir" di depan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Manuver Tiongkok".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar