Selain menjadi tempat tinggal, perkampungan juga memiliki sistem ekonomi, sosial, budaya, dan merupakan aset sejarah kota. Karena itu, penataan perkampungan yang tetap melestarikan kekayaan kehidupan warga kampung menjadi keniscayaan. Itulah pandangan Johan Silas dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, dalam diskusi yang digelar Kompasmenyambut pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
Apa yang disampaikan Johan Silas tidak lepas dari intensitas penggusuran dengan alasan penataan kota dan keindahan di Jakarta dalam dua tahun terakhir. Berdasarkan data LBH, tahun 2015 tercatat ada 10 kawasan kampung yang digusur dari 113 kasus penggusuran dengan 8.145 keluarga dan 6.283 unit usaha yang terdampak. Ironisnya, 84 persen dilakukan tanpa melalui prosedur musyawarah, 64 persen (72 kasus) dibiarkan tanpa solusi, dan hanya 8 persen atau 9 kasus yang diberikan ganti rugi.
Kontradiksi kota
Perkembangan kota dewasa ini memang sangat mencengangkan sekaligus menyedihkan. Dalam konteks global, sekalipun hanya menggunakan 2 persen dari luas lahan di suatu wilayah negara, tetapi keberadaannya sangat memengaruhi dan menentukan kehidupan seluruh warga.
Dalam aspek ekonomi, 70 persen produk domestik bruto (PDB) ada di perkotaan. Sebaliknya, pada sisi lain, kota juga memberi kontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan, seperti pembuangan limbah industri dan sampah rumah tangga yang mencapai 70 persen. Termasuk berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (70 persen).
Jakarta sebagai ibu kota negara memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, yaitu 5,88 persen pada 2015-dengan perputaran uang mencapai 70 persen-tak ayal menjadi magnet bagi masyarakat dari sejumlah daerah untuk berpindah (urbanisasi) dalam rangka mendapatkan sumber penghidupan.
Sesungguhnya urbanisasi bukanlah negatif untuk perkembangan kota. Ia merupakan produk dan kekuatan pendorong dalam menyerap "produk surplus" yang timbul dari proses akumulasi modal. Tumbuhnya usaha- usaha kecil dan pekerja terampil di bidang kuliner, laundry, perdagangan, dan jasa merupakan implikasi logis dari perkembangan ekonomi kota yang melayani kebutuhan kelompok masyarakat kelas menengah-atas.
Dengan sumber penghidupan berskala kecil dan merupakan kegiatan ekonomi bagian paling hilir, tentu pendapatan yang diperoleh warga kelas bawah ini sangat terbatas. Prinsip mereka, yang penting cukup untuk memenuhi biaya hidup daripada menganggur di daerah asal. Karena itu, tempat tinggal yang dipilih adalah kampung-kampung dekat kota sehingga biaya sewa rumah dan transportasi murah.
Lambat laun, kehadiran kampung di tengah-tengah kota menjadi padat dan distereotipkan sebagai wilayah yang kotor, dekil, terbelakang, tidak teratur dan sebutan lain yang negatif menurut selera kelas menengah-atas. Kampung tidak lagi sebagai aset bagi kehidupan, tetapi dianggap sebagai gangguan atas keindahan dan kenyamanan kota yang dicirikan sebagai tatanan serba fungsional dan impersonal.
David Harvey dalam bukunya, Rebel Cities: From The Right to the City to the Urban Revolution (2012), mengatakan, praktik perkotaan saat ini lebih menyerupai predator ekonomi yang melakukan sesuatu yang selalu dianggapnya benar. Warga miskin yang tinggal di kampung dan di lahan negara didorong keluar pinggiran kota karena ruang yang tersedia lebih baik digunakan pemodal untuk kegiatan ekonomi yang bernilai tinggi (mal, apartemen, dan perkantoran).
Alhasil, untuk bekerja atau berusaha, warga kelas bawah membutuhkan waktu, energi, dan biaya perjalanan yang lebih besar. Termasuk menjadi sasaran dari lembaga kredit yang memikat dan menawarkan pinjaman untuk memenuhi kebutuhannya (kendaraan, barang elektronik, dan lainnya).
Pemerintah memang telah menyediakan sejumlah program sebagai kompensasi bagi warga yang terpinggirkan, seperti penyediaan sarana transportasi murah, akses pendidikan dan kesehatan. Namun, dengan keterbatasan anggaran, beban kehidupan warga tidak berkurang. Bahkan, justru membuat angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di Jakarta semakin meningkat dalam dua tahun terakhir.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka penduduk miskin pada Maret 2016 mencapai 384.300 jiwa atau naik sekitar 30.000 jiwa dalam empat tahun terakhir. Jumlah penduduk yang rentan miskin juga relatif tinggi, lebih dari 1 juta jiwa. Sementara untuk rasio gini di Jakarta meningkat drastis dari 2012 ke 2016, yaitu di atas 0,4.
Kota untuk semua
Pemerintah tampaknya memang belum menempatkan dimensi manusia sebagai subyek untuk membangun model kehidupan kota berkelanjutan yang didasarkan asas kebersamaan, kebebasan, kesetaraan, harga diri, dan keadilan sosial. Padahal, dalam Habitat III Conference di Surabaya, 10 September 2016, salah satu agenda yang disepakati adalah mengintegrasikan keadilan sosial ke dalam agenda pembangunan. Hal itu meliputi upaya menjamin akses warga ke ruang publik, memperluas peluang usaha, dan meningkatkan akses pada fasilitas umum.
Bahkan, Indonesia mengadopsi New Urban Agenda yang ditetapkan di Quito, Ekuador, tahun 2016. Prinsip utama dari agenda global ini adalah kota bukan semata bagi pejabat, pengusaha, orang kaya, dan kelas menengah, melainkan juga untuk penduduk miskin di permukiman padat, bahkan bagi imigran.
Semua warga, apa pun kelas dan golongannya, memiliki hak mengatur tata ruang dan tata kelola lingkungan kehidupannya. Karena itu, melindungi dan menghargai hak warga miskin yang tinggal di kampung kumuh dan lahan negara justru meningkatkan kualitas kehidupan kota. Hal ini telah teruji dari keberhasilan Pemerintah Kota Surabaya membangun jembatan layang tanpa menggusur kampung nelayan Kenjeran yang hampir 100 persen tinggal di lahan negara.
SUHARDI SURYADI
DIREKTUR LP3ES 2005-2010; SAAT INI KONSULTAN KNOWLEGDE MANAGEMENT PROYEK LESTARI-USAID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar