Berita ini mencuat setelah disahkannya PP No 59/2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan oleh Warga Negara Asing yang merupakan aturan pelaksana dari UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Jadi, sebenarnya secara normatif, ormas yang didirikan oleh warga negara asing ini telah ada sejak tahun 2013, tetapi baru hangat setelah dibuatkan PP-nya oleh Presiden Joko Widodo.
Keberadaan ormas asing ini menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang kontra setidaknya beralasan jika ormas asing diperbolehkan, dikhawatirkan akan dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan merugikan masyarakat. Kekhawatiran ini sejatinya tidak perlu terjadi jika kita memahami esensi UU No 17/2013 ini secara menyeluruh. Selain itu, baik secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, keberadaan organisasi asing di Indonesia diakui.
Secara filosofis, jika kita membaca sejarah perumusan sila-sila dalam Pancasila, makna dari sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab"-dalam istilah Soekarno disebut "Internasionalisme"-adalah bahwa sebagai bagian dari dunia internasional, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengakui derajat dan martabat kemanusiaan secara keseluruhan tanpa membedakan kewarganegaraannya. Setiap manusia tidak boleh dibedakan berdasarkan suku, ras, agama, ataupun golongannya. Mereka dipandang sebagai manusia dan dihormati nilai-nilai kemanusiaannya.
Secara sosiologis, keberadaan ormas asing ini dibutuhkan. Sebab, dengan menjadi ormas yang resmi terdaftar pada negara akan lebih mudah mengendalikannya. Jika terjadi hal-hal yang mencurigakan, dengan mudah negara dapat menelusurinya.
Secara yuridis, dalam beberapa huruf di Pasal 28, khususnya Pasal 28E Ayat (3) disebutkan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Klausa "setiap orang" di atas menandakan bahwa yang dimaksud bukan hanya warga negara Indonesia, melainkan semua orang, tanpa terkecuali warga negara asing. Jika yang dimaksud adalah hanya warga negara Indonesia, klausa yang digunakan adalah "setiap warga negara".
Selain itu, kalau kita membaca UU No 17/2013 secara lebih rinci, keberadaan ormas asing ini sangat terbatas sifatnya. Misalnya dalam Pasal 52 dijelaskan dengan detail mengenai larangan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh ormas asing, seperti kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, mengganggu keutuhan NKRI, kegiatan intelijen, dan kegiatan politik.
Lalu, dalam Pasal 47 Ayat (2) huruf d disebutkan pula bahwa salah satu kepengurusan dari ormas asing ini, baik ketua, sekretaris, maupun bendahara dijabat oleh warga negara Indonesia. Kedua ketentuan ini sesungguhnya sudah sangat membatasi ruang gerak ormas asing agar tidak melakukan hal-hal yang dikhawatirkan sebelumnya. Justru ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih meningkatkan kinerja intelijen negara.
Warga negara asli Indonesia sendiri banyak yang berdomisili di negara asing untuk berbagai urusan. Sebagai bentuk solidaritas sebuah bangsa, mereka tentu membutuhkan organisasi untuk mengakomodasi aspirasi-aspirasi yang mereka miliki. Kita tentu tidak setuju jika ruang gerak mereka dibatasi dengan begitu ketat oleh negara di mana mereka tinggal. Dengan demikian, begitupun sebaliknya, negara kita tidak boleh membatasi hak warga negara asing yang sejak semula sudah dijamin dalam konstitusi.
DESPAN HERYANSYAH
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta; Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar