Sejak kuartal terakhir tahun lalu (2016) hingga kuartal pertama tahun ini (2017), kata intoleransi nyaris setiap hari ditemukan, baik dalam tuturan maupun tulisan. Mesin pencari Google menemukan 1.010.000 kata ini dalam 0,36 detik.
Merujuk pada teori isotopi yang dikemukakan Greimas (1975), frekuensi kemunculan kata intoleransi yang tinggi sedemikian menjadi petunjuk bahwa masyarakat kita telah bisa disebut sebagai masyarakat yang intoleran, masyarakat yang tidak lagi menghargai keberagaman (suku, agama, kelompok, dan lain-lain). Apakah faktanya memang demikian?
Isotopi Greimas adalah sebuah model analisis teks sastra dalam perspektif semiotika-lebih tepatnya mikrosemiotika-untuk memahami gagasan dasar atau aspek tematik teks bersangkutan. Kemunculan kata di dalam teks sastra sudah pasti merupakan seleksi pengarang. Sementara, dalam konteks ini, kata intoleransi bukanlah diksi yang muncul di dalam teks demikian, melainkan di dalam masyarakat, paling banter ia muncul sebagai teks di media. Tetapi, apakah bedanya teks sastra dan berita di media?
Sudah lama sekali dipahami bahwa terlalu tipis batas antara fakta dan fiksi. Sudah tidak jelas lagi mana representasi mana simulasi. Kini segala batas telah terterabas tuntas. Media bahkan bisa jadi lebih fiktif dari fiksi. Masyarakat sendiri menjadi sebuah teks yang tidak utuh. Kembali merujuk Greimas, individu kini cenderung menjadi subyek wacana, bukan subyek yang memiliki kuasa atas dirinya sendiri.
Bukan pasangan toleransi
Fakta empirik tersebut memandu saya untuk mengatakan bahwa kataintoleransi yang muncul dalam kehidupan berbangsa kita belakangan ini tidak natural, melainkan sebagai hasil seleksi politis. Kata intoleransi tidak lagi duduk pada posisinya sebagai lawan biner (binary opposition) dari toleransi.Artinya, kata itu tidak lagi lahir dari kamus bahasa, sebagai sebuah langua(sistem) dalam tata bahasa.
Alih-alih dapat mengokohkan dirinya di dalam kamus langua, kata intoleransibenar-benar telah menjadi parole (ujaran individu) yang hidup dalam gugus bahasa masyarakat yang serba tidak terkontrol (chaotic). Walhasil, tuduhan intoleransiyang dituturkan individu atau kelompok tertentu kepada pihak lain sebagai anti-keberagaman tidak serta-merta berarti bahwa yang menuduh tadi menjadi pihak yang toleran. Seseorang yang mengatakan dirinya Pancasilais bisa jadi justru anti-Pancasila.
Coba kita periksa, sekali lagi, "dua demonstrasi" massa yang diandaikan bertolak belakang yang terjadi sejak kuartal akhir 2016. Demonstrasi massa berbasis keagamaan seperti 411, 212, dan seterusnya dipahami sebagai demonstrasi anti-keberagaman oleh pihak yang berlawanan dengannya. Oleh karena itu, pihak-pihak ini pun lantas mengadakan demonstrasi tandingan.
Sekonyong-konyong kemudian tertangkap-atau, setidaknya, ingin disampaikan kesan-bahwa "dua demonstrasi" tersebut memiliki ideologi yang berseberangan. Megawati Soekarnoputri, dalam pidato politik pada ulang tahun ke-44 PDI Perjuangan (10/1/2017), menyindir kelompok yang menurut dia anti-keberagaman sebagai penganut ideologi tertutup. Pidato ini jelas kian menegaskan tentang adanya yang berseberangan tadi.
Apakah fakta ini memang benar-benar terjadi di lapangan?
Apabila kita masuk lebih jauh dan mengidentifikasi lebih detail persoalannya, perseberangan tersebut sebenarnya bersifat politis belaka. Dari sisi ideologis, "dua demonstrasi" tersebut tetap berakar pada ideologi yang sama, yakni Pancasila.
Pada konteks ini, pidato Rizieq Shihab (tokoh sentral gerakan berbasis keislaman) pada demonstrasi 212 secara ideologis sebenarnya tidak berbeda dengan pidato Megawati.
Keduanya sama-sama mengatasnamakan Pancasila. Hal yang membedakan adalah tafsirnya terhadap dasar negara tersebut. Perbedaan tafsir tentu sebuah keniscayaan dan justru itulah ciri paling dasar keberagaman. Hanya dengan keberbedaan tafsir pula toleransi dimungkinkan.
Masalah kemudian muncul ketika semua pihak memaksakan tafsirnya sebagai kebenaran tunggal. Dalam konteks agama, misalnya, pihak satu mengafirkan yang lain, sebaliknya pihak lain menuduh sang penuduh sebagai pemeluk radikal. Merujuk kepada Foucault (1991), kehendak untuk benar sedemikian sebenarnya identik dengan kehendak untuk berkuasa.
Kebudayaan yang terkunci
Kehendak berkuasa itu sendiri memang bersemayam di setiap individu, sebagai sebuah hasrat (nafsu). Dan, kehendak inilah yang tampak sangat dominan pada semua pihak sehingga tidak pernah terjadi dialog. Di situ, hasrat berkuasa menjadi pintu yang mengunci kita di dalamnya.
Berada di dalam nafsu sedemikian, hemat saya, sama saja dengan berada di luar kebudayaan jika ranah ini masih kita anggap sebagai ihwal yang berkaitan dengan kehalusan budi (cultura animi), dengan budi dan daya, dengan cipta, karya, dan karsa.
Situasi inilah yang ingin saya sebut sebagai kebudayaan dalam deadlock, kebudayaan terkunci di luar diri manusia, di luar kehidupan. Dalam situasi inilah kata intoleransi terlahir. Frekuensinya yang tinggi menunjukkan perdebatan dan beradunya berbagai kepentingan politik yang tinggi pula, politik yang mengunci kebudayaan.
Hingga esai ini dibuat, saya tidak menangkap adanya pihak yang bisa membuka kunci tersebut untuk membawa kembali "martabat kebudayaan" ke dalam ruang kehidupan berbangsa.
Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi memang telah melakukan perjalanan (safari) ke beberapa pihak untuk meredam situasi yang memuncak akhir tahun lalu. Namun, safari Presiden adalah langkah politik (safari politik), bukan safari yang netral dari kepentingan demikian. Langkah ini, ketimbang bisa membawa keluar dari deadlock, kita malah diseretnya ke ruang lebih dalam dan gelap.
Hal yang dibutuhkan pada situasideadlock adalah rekonsilisiasi. Dalam rekonsiliasi, semua pihak yang bersitegang dengan keyakinan pada kebenarannya masing-masing harus dinyatakan benar. Semua pendapat benar, kata Pramoedya Ananta Toer, minimal menurut orang yang mengatakannya. Namun, semua pihak harus membuka diri bahwa di atas kebenaran sepihak tersebut terdapat kepentingan bersama yang mesti diselamatkan, yakni kepentingan bangsa.
Di situ, merujuk kepada Caputo (2001), pada akhirnya "yang benar" adalah bersatunya semua kebenaran. Ini adalah langkah untuk mencapai terciptanya damai di dunia.
ACEP IWAN SAIDI
Pemikir pada Forum Studi Kebudayaan ITB; Dosen Desain dan Kebudayaan di Sekolah Pascasarjana ITB
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Intoleransi dan Kebuntuan Kebudayaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar