Bahwa Indonesia merdeka harus bukan hanya demi rakyat, melainkan harus dijalankan oleh rakyat dan atas penugasan rakyat, tak pernah ada yang menyangkal. Tetapi, tentang bagaimana tujuan luhur itu dapat tercapai belum pernah ada kesepakatan. Misalnya, apakah kita dapat belajar dari "demokrasi desa" tradisional?
UUD 1945 sama sekali tidak memuat jaminan demokratis dan karena itu mudah dimanipulasi. Hanya dua setengah bulan kemudian maklumat wakil presiden menciptakan sistem multipartai. UUD Sementara 1950 ekstrem liberal, mirip dengan pola demokrasi di Italia dan Perancis sehingga gagal mewujudkan suatu pemerintahan yang stabil (orang bisa bertanya: bagaimana nasib bangsa andai kata yang dipilih tahun 1950 adalah sistem seperti di Republik Federasi Jerman atau di Skandinavia?).
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mendekritkan "kembali ke UUD 1945". Namun, sistem "demokrasi terpimpin" itu sedemikian mengosongkan mekanisme-mekanisme demokratis masyarakat sehingga enam tahun kemudian tinggal dua kubu berhadapan tak terdamaikan: PKI dengan sekutu-sekutunya, dan kubu anti-komunis yang terutama terdiri atas agama-agama dan Angkatan Darat. Akhirnya Presiden Soekarno tinggal seorang diri dan tergeser oleh militer. Orde Baru itu sendiri akhirnya membeku dalam otoritarianisme. Revolusi demokratis para mahasiswa meyakinkan Soeharto bahwa ia harus mundur.
Yang terjadi kemudian tak kurang daripada menakjubkan, apalagi kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di Mesir sesudah revolusi demokratis 2011 yang menyingkirkan Hosni Mubarak.
Meski potensi konflik besar sekali-banyak konflik di bawah Soeharto hanya ditutup-tutupi, tidak ditangani-dan memang terjadi beberapa konflik amat serius, tokoh-tokoh nasional yang segera berperan sesudah Pak Harto mundur berhasil mengantar Indonesia menjadi negara yang demokratis, tetap Pancasilais, non-sektarian, teratur, dan damai. Secara khusus perlu disebutkan peran Amien Rais yang memimpin MPR pilihan rakyat dalam melakukan amandemen-amandemen yang memastikan demokratisasi dan penjaminan hak-hak asasi manusia Indonesia.
Ancaman
Namun, sekarang demokrasi kita memang terancam. Terancam oleh kelemahan internal partai-partai politik dan merajalelanya korupsi di kelas politik. Terancam oleh nostalgia Orde Baru yang mau mencabut kembali amandemen-amandemen yang menyerahkan kekuasaan ke tangan rakyat. Barangkali paling berbahaya adalah gelombang penegasan identitas keagamaan di mana perspektif "kita semua adalah orang Indonesia" tergeser oleh "kami berhadapan dengan mereka". Gawat bagi suatu negara Pancasila!
Dalam kaitan ini, Kwik Kian Gie membedakan antara "negarawan" dan "political animal". Tetapi, bukankah biasanya baru jauh belakangan menjadi jelas siapa yang betul-betul seorang negarawan? Dan, apakah orang bisa menjadi negarawan kalau dia bukanpolitical animal? Kwik Kian Gie menyesalkan prinsip kemenangan demokratis dengan mayoritas "50%+1".
Tetapi, apa di Indonesia pernah diambil keputusan seperti itu? Apa di negara demokratis sindiran ini punya relevansi? Bukankah alternatifnya adalah oligarki di mana golongan tertentu merasa berhak menetapkan ke mana seluruh rakyat harus bergerak? Dalam demokrasi kediktatoran mayoritas justru dicegah dengan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dalam undang-undang dasar. Jaminan itu memastikan bahwa kepentingan vital-asasi minoritas-minoritas aman terhadap mayoritas. Bahwa keputusan politik praktis diambil menurut kehendak yang banyak dan bukan yang sedikit, memang itulah yang namanya demokrasi.
Jangan mundur lagi
Logika itu dibantah oleh argumentasi klasik feodalisme bahwa rakyat terlalu bodoh untuk dibiarkan memutuskan nasibnya sendiri. Namun, di Indonesia masalah demokrasi justru bukan rakyat, melainkan elite. Ternyata sekian pemilihan sejak 1999 (begitu pula dua pemilu tahun 1955) berjalan lancar. Siapa yang berani menyangkal bahwa para pemilih, ya rakyat, tahu orang dan partai mana mereka pilih? Saya kira, lama-kelamaan kesabaran kita dengan pola pemikiran feodalistik perlu diakhiri.
Kwik Kian Gie mengusulkan supaya kita kembali ke MPR pra-amandemen yang terdiri atas tiga bagian: Sepertiga dipilih langsung oleh rakyat (sekarang 100 persen), sepertiga merupakan Utusan Golongan, dan sepertiga Utusan Daerah. Tetapi, usul ini tidak memperhatikan dua hal. Yang pertama: MPR seperti itu belum pernah berfungsi di Indonesia. MPRS pasca-1959 terdiri 100 persen atas orang yang diangkat oleh presiden (maka 1966 gampang disesuaikan dengan kepentingan penguasa baru). Dan, selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, MPR tak pernah lebih dari lembagarubber stamp saja.
Yang kedua: siapa yang akan menetapkan para wakil "utusan golongan" dan "utusan daerah" itu? Kisruh kepemimpinan DPD baru-baru ini menunjukkan masalahnya. Elite mana yang "lebih pintar dari rakyat" yang akan dapat menentukan siapa yang menjadi "wakil golongan" dan "wakil daerah"? Pengembalian MPR ke sistem oligarki membuka pintu lebar-lebar terhadap politik transaksi kepentingan, korupsi, dan sektarianisme. Menurut saya, jelaslah bahwa lebih baik MPR dipilih langsung oleh rakyat Indonesia.
Kiranya ancaman serius terhadap demokrasi sekarang tidak dapat diatasi dengan memutar roda sejarah kembali ke sistem kekuasaan oligarki, melainkan dengan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sekian kekurangan struktural yang memang masih menjadi kelemahannya. Kemajuan-kemajuan demokratis yang tercapai sesudah jatuhnya rezim Orde Baru (dan sudah memungkinkan berkembangnya Indonesia sebagai negara "normal" dan "mantap") jangan kita izinkan dicuri kembali oleh mereka yang belum bisa menerima bahwa sekarang seluruh rakyat ikut menentukan nasibnya sendiri.
FRANZ MAGNIS-SUSENO
Guru Besar Purnabakti Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Menyelamatkan Demokrasi Kita".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar