Menghadapi kelompok tersebut, di Indonesia, dibutuhkan cara khusus untuk mencegah munculnya konflik sosial antara yang satu dan lainnya. Kenyataan ini pada taraf tertentu kerap menjadikan Polri berada dalam dilema ketika menyikapinya.
Eksistensi kelompok radikal dan intoleransi umumnya ditandai adanya gagasan dan pemikiran intoleransi dalam bentuk ujaran kebencian. Lambat laun, hal demikian dapat berubah menjadi suatu perbuatan jenis kejahatan dengan kebencian.
Ujaran kebencian merupakan perbuatan melalui kata-kata dan tulisan, yang menghasut, menyulut, dan menebarkan benih kebencian terhadap pihak lain dengan mempertajam jurang pemisah dan perbedaan. Di antaranya soal suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar-golongan, warna kulit, dan etnis. Sementara kejahatan berlandaskan kebencian merupakan perbuatan berbentuk kejahatan yang dimotivasi oleh ujaran kebencian.
Kejahatan berlandaskan kebencian berbeda dengan kejahatan biasa. Ferber (2004) dan Broad (1997) menuturkan, perbedaan utama adalah motivasi pelaku. Apabila motif perbuatan tersebut karena prasangka buruk, sentimen, kebencian, atau permusuhan terhadap ras, etnis, agama korban, dan sebagainya, maka itu dapat dikatakan sebagai kejahatan berlandaskan kebencian.
Salah satu ilustrasi kelompok radikal dan intoleransi yang kental dengan nuansa tersebut dapat dilihat di Amerika Serikat, seperti Ku Klux Klan, Neo-Nazi, dan South Florida Aryan Alliance. Salah satu persamaan ketiganya adalah mengagungkan ras kulit putih, bukan agama. Kebanyakan korban mereka berasal dari kaum minoritas, homoseks, kaum kulit hitam, dan Yahudi. Maka, patut digarisbawahi dengan saksama bahwa tidak selamanya kelompok radikal dan intoleransi memiliki motif berlandaskan agama tertentu.
Masalah dan tantangan
Polri telah lama mengindikasikan keberadaan kelompok radikal dan intoleransi di Indonesia. Sebagian besar langkah yang dipersiapkan Polri selalu bertujuan mencegah munculnya kekerasan berujung konflik sosial.
Salah satu program optimalisasi aksi menuju Polri yang semakin profesional, modern, dan tepercaya (promoter) adalah penanganan kelompok radikal pro kekerasan dan intoleransi yang lebih optimal; menguraikan kegiatan-kegiatan yang diterapkan dalam menghadapi kelompok tersebut seperti deteksi dini dan deteksi aksi dalam rangka pemetaan kelompok radikal pro kekerasan dan intoleransi; membangun daya cegah dan daya tangkal warga; kerja sama denganstakeholder; mengintensifkan kegiatan dialogis di kantong-kantong kelompok radikal pro kekerasan dan intoleransi; serta penegakan hukum yang optimal.
Keseluruhan kegiatan tersebut mengedepankan pendekatan persuasif dan mediasi karena sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya silaturahim, musyawarah, dan mufakatnya.
Fakta menunjukkan kebanyakan permasalahan yang dialami Polri muncul saat penegakan hukum sebagai ultimum remedium tersebut membutuhkan aksi fisik di lapangan ketika kelompok radikal dan intoleransi melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan dan ketenteraman masyarakat, bangsa dan negara secara langsung. Selaku insan biasa, personel polisi sebagaimana manusia lainnya juga memiliki kelemahan. Celah seperti ini dapat berupa keberpihakan serta melakukan kekerasan yang tanpa disadari dapat meningkatkan eskalasi konflik.
Pada kasus kekerasan kolektif yang meletus menjadi konflik sosial di salah satu wilayah timur Indonesia bertahun-tahun silam akibat ulah kelompok radikal dan intoleransi, tidak sedikit personel Polri (juga TNI) terjebak dalam ketidaknetralan akibat kesamaan agama maupun etnis dengan pihak yang bertikai.
Kelompok yang memiliki kesamaan agama maupun etnis dengan personel Polri tersebut akan menganggap yang bersangkutan tidak solider, tidak membela "kaum"-nya-dan seterusnya-apabila tidak membela mereka. Godaan dan hasutan demikian tak jarang menggoyahkan kenetralan oknum bersangkutan. Sebagai polisi ia menyadari bahwa karena tugasnyalah harus berhadapan dengan mereka, melawan mereka, tapi akan dianggap semacam pengkhianat, diasingkan, dijauhkan karena hal tersebut. Sebaliknya, apabila memihak mereka, dirinya telah melanggar kewajiban dan amanah yang dibebankan kepadanya.
Pada kasus serupa lainnya, ada beberapa oknum Polri-akibat emosi atau karena merasa korpsnya dilukai-menangani massa dengan cara berlebihan sehingga menimbulkan korban jiwa yang akhirnya memperburuk keadaan. Kondisi demikian juga dapat dipengaruhi tekanan dan kelelahan yang ada pada yang bersangkutan. Dalam kondisi lelah, penuh tekanan, dan keadaan tidak pasti, polisi akan mengalami penurunan kemampuan mengontrol diri.
Setiap personel Polri tentu memahami ia berhak melakukan tindakan mematikan untuk melumpuhkan pihak lawan. Tetapi, kewenangan itu juga melihat situasi dan kondisi yang ada. Penggunaan senjata mematikan seperti penegakan hukum di atas merupakan pilihan terakhir.
Kenyataannya, yang terjadi di lapangan terkadang jauh dari yang diharapkan. Situasi dan kondisi sering tidak terkendali. Polisi kerap dijadikan sasaran karena dianggap representasi pihak yang berkuasa. Pada saat masyarakat mengalami disorder, mereka tidak melihat akar permasalahannya, tetapi hanya mempersoalkan kemampuan aparat keamanan. Segala emosi dan tindakan melebur menjadi satu aksi anarkisme berbentuk kejahatan dengan kebencian. Setiap individu akan beranggapan siapa pun yang merintangi mereka harus dilenyapkan.
Kekacauan demikian membuat petugas menghadapi situasi penuh permusuhan dan kecurigaan. Keadaan tersebut menuntut tindakan yang efisien. Berulang-ulangnya tindakan ini dilakukan secara berkelanjutan akan membentuk perilaku yang bersangkutan jadi cepat, tegas, dan cenderung kurang berpikir panjang, hingga akhirnya terpaksa melakukan kekerasan.
Kedua contoh dilema di atas bukanlah satu-satunya permasalahan dan tantangan yang dihadapi Polri saat menghadapi kelompok radikal dan intoleransi secara langsung. Masih banyak problematika lain yang selalu mengiringi tugas Polri.
Fenomena ini dalam dimensi berbeda pernah dikemukakan Soekarno. Presiden pertama RI itu mengingatkanperjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Seperti itulah gambaran dilema yang dialami personel Polri ketika berhadapan dengan kelompok radikal dan intoleransi yang sebagian besar saudara sebangsanya sendiri.
TB RONNY RACHMAN NITIBASKARA
KETUA PROGRAM STUDI
PENGKAJIAN KETAHANAN NASIONAL SEKOLAH STRATEGI DAN GLOBAL PASCASARJANA UI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Radikalisme dan Intoleransi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar