Penurunan anggota serikat buruh (SB) otomatis menurunkan kekuatan gerakan buruh itu sendiri, dan bagi negara-negara industri, berujung pada melebarnya ketimpangan ekonomi. Fenomena penurunan anggota SB (de-unionization) secara umum memiliki penyebab yang sama walaupun berbeda dalam hal urutan penyebabnya. Penurunan anggota SB Indonesia menjadi unik karena menurun sebelum memasuki puncaknya. Penurunan juga bukan akibat relokasi industri atau akibat lahirnya UU yang membatasi SB, tetapi ditengarai akibat menurunnya citra SB di mata buruh dan publik.
Di AS, penyebab utama kemunduran SB adalah relokasi besar-besaran industri sektor manufaktur ke negara-negara Selatan untuk alasan biaya produksi yang lebih murah dan peralihan fokus bisnis ke sektor jasa. Penyebab lain, komputerisasi dan robotisasi yang menggantikan tenaga kerja manusia. Selain itu, lahirnya UU yang mempersulit SB merekrut anggota baru. Terakhir, menurunnya reputasi SB di mata publik karena dianggap tidak efisien, terkuaknya skandal pemimpin buruh, kedekatan politik ke "Partai Demokrat".
Sementara itu, di Eropa Barat, gerakan buruh juga menurun secara bervariasi, tetapi tak seburuk seperti di AS. Apabila di AS jumlah pekerja yang berserikat hanya 13 persen, di Eropa Barat masih berkisar 20-35 persen. Bahkan, di wilayah negara Skandinavia masih di atas 65 persen. Di kawasan ini penurunan anggota SB terutama disebabkan oleh faktor relokasi industri dan komputerisasi.
Di Indonesia penurunan keanggotaan SB terjadi sebelum memasuki masa puncak kejayaannya. Pada awal reformasi tingkat partisipasi buruh bergabung ke SB sempat mencapai delapan juta orang. Sesuai data Kemenaker tahun 2010, keanggotaan SB menurun menjadi 3,5 juta, dan pada verifikasi keanggotaan SB tahun 2015 menjadi 2,7 juta orang. Sekalipun ada beberapa gugatan SB atas metodologi verifikasi yang dilakukan Kemenaker, fakta atas menurunnya keanggotaan SB telah mencengangkan banyak pengamat gerakan buruh. Mengapa di tengah atmosfer demokrasi dan keterbukaan yang meningkat, anggota SB justru menurun?
Perlunya menjaga reputasi
Apakah gerakan buruh Indonesia bagian dari masalah atau bagian dari solusi? Inilah pertanyaan yang perlu direnungkan gerakan buruh Indonesia dalam perayaan Hari Buruh 1 Mei tahun ini. Sebelum semuanya menjadi terlambat, gerakan buruh perlu melakukan reposisi. Sebab, sehebat apa pun demo buruh yang pernah digelar, dan seberapa banyak pejuang buruh martir yang siap berkorban, pada akhirnya parameter utama mengukur kehebatan sebuah SB adalah berapa banyak buruh yang bergabung dalam anggota SB.
Penulis tidak memungkiri dampak UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 terhadap penurunan keanggotaan SB Indonesia, tetapi saya berkesimpulan, faktor UU itu tak terlalu kuat. Sebab, pada verifikasi keanggotaan SB tahun 2010, dengan UU yang sama, jumlah anggota SB jauh lebih besar. Banyaknya penolakan SB atas rencana revisi UU No 13/2003 juga menandakan bahwa UU tersebut tak menjadi masalah bagi SB. Mungkin ada yang menjadikan tindakan pemberangusan SB (union busting) sebagai faktor penghambat gerakan buruh, tapi alasan ini kurang kuat karena kebebasan berserikat di Indonesia jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kekerasan dan pembunuhan yang dialami pemimpin buruh di Filipina, Kamboja, Kolombia, Belarus, dan negara lainnya.
Jadi, kalau bukan karena masalah UU atau karena faktor relokasi industri, apakah faktor utama yang menurunkan keanggotaan SB Indonesia? Premis awal penulis adalah gerakan buruh Indonesia sedang mengalami penurunan reputasi di mata buruh dan masyarakat secara umum. Muncul persepsi negatif publik atas arah gerakan dan motif aksi gerakan buruh.
Ada sejumlah alasan atas munculnya persepsi negatif ini. Pertama, SB banyak menghabiskan energi untuk menyuarakan keberpihakan politik yang tak selalu sinkron dengan aspirasi buruh. Ditambah lagi adanya perbedaan haluan politik masing-masing SB, akibat fragmentasi gerakan buruh, membuat buruh dan publik bingung memahami motif sebenarnya di balik aksi itu. Kedua, banyak pihak menganggap SB menjadi kurang relevan karena tak efisien. Misalnya, lebih sering menuntut ketimbang mencari opsi dan solusi untuk kemenangan bersama. Pekerja kelas menengah umumnya tak nyaman menjadi anggota SB yang sering menggelar demo.
Dulu, taktik konvensional gerakan buruh di negara maju memang harus kelihatan garang dan militan. Itu sebabnya SB selalu ditempatkan dalam kelompok "kiri". Pola itu juga sekaligus strategi untuk menarik simpati buruh untuk mendapat anggota baru. Namun, seiring dengan perkembangan kapitalisme dan menguatnya peran perusahaan multinasional, strategi perjuangan berubah serius, dengan diperkenalkannya konsep social-dialogue. Berunding mencari solusi bersama, meminimalisasi korban, menurunkan biaya demo, mencegah relokasi. Demo tetap terjadi secara periodik, tetapi umumnya untuk isu nasional, manifestasi publik. Pelanggaran atas hukum ketenagakerjaan menurun dengan terus membaiknya dialog sosial di tingkat pabrik.
Beradaptasi secara baru
Gerakan buruh harus beradaptasi terhadap tempat kerja abad ke-21. Artinya, harus mengganti taktik perjuangan lama dengan model umum (one-size-fits-all). Perundingan bersama dengan fokus pada penciptaan nilai tambah bagi pekerja dan pengusaha. Apabila buruh kehilangan kerja akibat perjuangan militan, kesenjangan pendapatan memburuk, pengangguran tinggi, pekerjaan langka, serikat buruh menjadi tidak relevan. Karena seperti apa kata ekonom Joseph Stiglitz: "SB yang kuat akan menolong penurunan ketimpangan. SB lemah akan memudahkan pengusaha membuat aturan yang merugikan buruh." Jangan pernah berpikir bahwa korporasi akan tiba-tiba menjadi simpatik ke buruh dan rela mengurangi keuntungannya kecuali ada tekanan SB.
Selanjutnya, Stiglitz mengatakan, masalah melemahnya SB sesungguhnya akan menjadi masalah semuanya. Ketiadaan SB yang kuat akan meningkatkan pemusatan kekayaan ke beberapa orang, meningkatkan dominasi korporasi terhadap buruh dan pemerintah. Jadi, SB yang kuat dengan kombinasi dialog sosial bukan hanya baik untuk kepentingan buruh, melainkan juga ekonomi secara umum. Upah layak menaikkan daya beli, mendorong konsumsi, menghidupkan bisnis, dan mengurangi ketimpangan.
Perjuangan SB tak hanya menaikkan upah dan menaikkan perlindungan sosial, tetapi juga menjaga anggotanya tetap bekerja. Strategi SB Inggris, Unison, salah satu contoh bagaimana beroperasi pasar kerja abad ke-21. Unison mengizinkan buruh mendaftar via online, menciptakan aplikasi internet yang menarik untuk pekerja muda. Mereka juga memberikan konsultasi hukum gratis ke calon anggota potensial ketimbang menarik simpati lewat demo. Merekrut anggota menggunakan tenaga khusus perekrutan, menggunakan iklan media cetak, televisi.
Dengan menurunnya keanggotaan SB, menurun pula kemampuan finansial SB. Strategi penting yang harus dimulai perlu beradaptasi dengan pasar kerja modern saat ini. Apalagi dengan cepatnya pergeseran industri Indonesia ke sektor jasa (deindustrialisasi), di mana keberadaan SB secara tradisional sangat lemah di sektor jasa ini. Masa depan keanggotaan SB nantinya akan didominasi pekerja kontrak, perempuan, pekerja muda, pekerja paruh waktu, pekerja mandiri, yang kesemuanya memiliki minat lemah bergabung ke SB.
Perlu memulai cara perekrutan anggota baru, misalnya dengan menawarkan pelatihan kerja dengan bekerja sama dengan pemerintah lokal atau pengusaha; menyediakan sarana konsultasi untuk korban pemutusan hubungan kerja (PHK); jejaring info kerja; dan sebagainya. Jadi, penting segera memperbaiki reputasi karena tidak ada institusi yang bisa bertumbuh tanpa dukungan lingkungan eksternalnya. Menuju ke arah sana, SB seharusnya fokus dulu ke buruh. Meminjam istilah Antonio Gramsci, membangun relasi erat dengan "historic bloc". Itulah kunci untuk tetap relevan di mata buruh dan publik. Selamat Hari Buruh!
REKSON SILABAN, ANALIS INDONESIA LABOR INSTITUTE
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Reputasi Gerakan Buruh".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar