Ilustrasi itu cukup tepat menggambarkan bagaimana DPR berupaya menghambat kerja KPK mengungkap keterlibatan anggota DPR dalam pengadaan KTP elektronik. Sejumlah anggota Komisi III DPR geregetan terhadap sikap pimpinan KPK yang enggan menyerahkan rekaman pemeriksaan anggota DPR, Miryam Haryani, oleh penyidik KPK. Pada saat bersaksi di Pengadilan Korupsi, Miryam mencabut keterangannya di BAP. Alasannya, dirinya merasa diancam penyidik KPK. Anggota Komisi III DPR kemudian mengancam akan menggunakan hak angket.
Keterangan Miryam itu dibantah penyidik KPK, Novel Baswedan. Dalam kesaksian di persidangan, Novel mengatakan, saat diperiksa Miriam mengaku ditekan anggota Komisi III DPR agar tidak mengakui ada pembagian uang. Anggota Komisi III DPR itu adalah Bambang Soesatyo, Aziz Syamsudin, Desmond J Mahesa, Masinton Pasaribu, dan Sarifuddin Sudding (Kompas, 31/3). Beberapa hari kemudian, Novel disiram air keras. Sebelum melancarkan hak angket, Bamus DPR mengancam akan melayangkan protes kepada Presiden Joko Widodo. Bamus DPR mengusulkan agar Pimpinan DPR meminta Presiden Jokowi membatalkan pencekalan Ketua DPR Setya Novanto.
Manuver DPR untuk menggunakan hak angket bisa dibaca sebagai upaya DPR membela diri dan menekan KPK untuk tidak mengungkap politisi DPR yang kecipratan dana pengadaan KTP elektronik. Dalam dakwaan disebut sejumlah anggota DPR menerima dana megakorupsi dari pengadaan KTP elektronik.
Penggunaan hak angket merupakan upaya DPR menghambat pemberantasan korupsi dan menghambat upaya pencarian keadilan. Hak angket memang hak DPR. Hak angket merupakan hak Dewan untuk menyelidiki pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan undang-undang.
Penolakan KPK menyerahkan rekaman pemeriksaan saksi adalah dalam rangka penegakan hukum yang tidak bisa digunakan DPR sebagai syarat mengajukan hak angket. Jika politisi DPR berkehendak memaksa KPK menyerahkan rekaman pemeriksaan, seyogianya DPR menggunakan jalur hukum, pengadilan, atau Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi pernah membuka rekaman wawancara Anggodo Widjojo dengan sejumlah petinggi hukum negeri ini. Bahkan, rekaman hasil penyadapan itu diperdengarkan kepada masyarakat sehingga publik tahu bagaimana mafia hukum itu bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar