Namun, krisis yang terjadi beberapa hari terakhir terasa lebih genting karena sejumlah hal. Di Korea Utara, program pengembangan nuklir dan rudal balistik semakin intensif, terlihat dari tujuh kali uji peluncuran rudal dalam tahun 2017 ini. Korut juga memperingati dua hari besar pada waktu berdekatan, yaitu ulang tahun pendiri Korut, Kim Il Sung, pada 15 April dan Hari Angkatan Bersenjata pada 25 April.
Di seberang perbatasan, Korea Selatan dilanda krisis politik seiring pemakzulan Presiden Park Geun-hye. Adapun Amerika Serikat, sekutu utama Korsel, memiliki pemerintahan baru dengan pendekatan berbeda dari pendahulunya. Saat Presiden Barack Obama memilih bersabar, Presiden Donald Trump menyatakan kesabaran AS atas ulah Korut menipis. Semua opsi untuk menghentikan Korut, termasuk serangan militer, ada di atas meja.
AS pun mempercepat pemasangan sistem pertahanan anti rudal THAAD di Korsel dan mengirim armada kapal perang ke Semenanjung Korea. Di kubu Korut, militer memperingati Hari Angkatan Bersenjata dengan menembakkan artileri secara masif di wilayah Wonsan.
Bagi Korut, memiliki rudal dan menguasai teknologi nuklir adalah jaminan untuk mempertahankan keberadaan mereka sebagai negara. Dengan memiliki senjata nuklir dan rudal, di bawah komando Kim Jong Un yang sulit ditebak, ancaman Korut bagi Korsel, Jepang, bahkan Amerika Serikat, terasa nyata dan bisa datang kapan saja.
Namun, menyerang lebih dulu, misalnya seperti yang dilakukan AS ke pangkalan udara Suriah, bukanlah pilihan bijak. Selain karena itu tak bisa dijamin memusnahkan seluruh rudal Korut, ancaman serangan balasan jauh lebih mengerikan. Jarak Seoul ke Pyongyang lebih dekat daripada Jakarta-Cirebon dan Jepang hanya terpisah laut di timur. Artileri dan rudal Korut dengan mudah menjangkau dan kehancuran yang ditimbulkan tak terelakkan.
Untuk mengatasi isu Korut, tak ada jalan lain bagi AS, Korsel, dan Jepang selain melibatkan China. Pyongyang punya ketergantungan tinggi kepada China, yang menguasai 85 persen perdagangan luar negeri Korut. China juga tak ingin terjadi perang karena terancam kebanjiran pengungsi dari Korut.
Namun, mendorong China untuk membujuk Korut berdamai dengan Korsel tak mudah. China membutuhkan Korut sebagai penyangga, menjauhkan hampir 30.000 personel pasukan AS yang berada di Korsel dari perbatasan mereka. AS, Jepang, dan Korsel harus duduk bersama China dan Rusia, menemukan kepentingan bersama untuk memaksa Korut kembali ke meja perundingan dengan sanksi yang tepat dan mengembalikan stabilitas kawasan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Siklus yang Selalu Berulang".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar