Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 24 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Alibaba, Tokopedia dan Nasionalisme Kita (AGUS SUDIBYO)

Dengan mahar Rp 14 triliun, raksasa e-dagang China, Alibaba, berhasil meminang Tokopedia, e-dagang kenamaan Indonesia. Berbarengan dengan momentum Agustusan, perkawinan dua perusahaan media ini pun diramaikan dengan isu nasionalisme.

Nasionalisme seperti apakah yang perlu kita bayangkan dalam kasus ini? Jangan-jangan, yang perlu kita lakukan justru mempelajari bagaimana nasionalisme digital diterjemahkan Pemerintah China dengan mendukung dan memfasilitasi perusahaan-perusahaan medianya hingga berkembang menjadi pemain dunia seperti Alibaba sekarang ini.

Keputusan Alibaba menanamkan modal dalam industri e-dagang Indonesia sekali lagi menunjukkan China telah berhasil membangun diri menjadi kekuatan digital yang mengentakkan dunia. Boleh dikata, China kini adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengoreksi dominasi Amerika (AS) Serikat dalam lanskap internet global. Internet telah menjadi realitas global.

Separuh dari penghuni bumi telah terjangkau internet. Namun globalisasi internet ini sebelumnya secara unilateral hanya dikontrol satu negara, AS. Industri internet dunia dan surplus ekonomi yang dihasilkannya secara oligopolik dikuasai perusahaan AS: Amazon, Google, Microsoft, Apple, dan Facebook.

Lompatan pertumbuhan

Lanskap informasi global seperti tecermin dalam ketentuan, perjanjian dan protokol yang berlaku dalam tata kelola internet juga sedemikian rupa menggambarkan keinginan, rencana, dan ambisi Amerika Serikat (US-centric extraterritorial internet). Dalam waktu relatif singkat, China terus mencatatkan lompatan pertumbuhan hingga mampu mengimbangi dominasi Amerika Serikat.

Lompatan pertumbuhan yang berlandaskan pada dua kesadaran: 1) jumlah penduduk sangat besar dan berkembang pesat secara ekonomi merupakan kekuatan sebagai pasar produk-produk digital; 2) kekuatan ini harus diproteksi dengan membangun industri digital nasional.

Sejak 2013, China telah menjadi kekuatan ekonomi digital yang lebih besar dari AS, Perancis, ataupun Jerman secara akumulatif. Hal ini dilihat dari potensi pasar, tingkat konsumsi, tingkat pertumbuhan dan produk domestik bruto (PDB) sektor teknologi digital (iGDP). Begitu besar potensi China itu sehingga jika kita mengeliminasi perkembangan PDB China tahun 2016, misalnya, dunia akan mengalami resesi (Dan Schiller, 2016).

Namun China sadar, menjadi pasar saja tidak cukup. China tidak membiarkan diri menjadi obyek ekspansi produk-produk digital asing. Maka China bergegas membangun infrastruktur digital. AS boleh mendominasi industri cloud global, tetapi Chinalah yang mencatatkan lompatan perkembangan paling pesat hingga hari ini. Dimensi paling menonjol dalam lompatan perkembangan ini adalah dukungan kuat negara terhadap industri cloud nasional.

Pemerintah China memasukkan proyek pengembangan cloud sebagai prioritas dalam rencana pembangunan lima tahunan hingga tahun 2020. Pendanaan negara dan kebijakan tingkat tinggi Pemerintah China telah diarahkan mendukung proyek "Internet Plus" guna membangun industri teknologi yang kuat dan berorientasi global.

Lebih tegas lagi, Pemerintah China memberikan tiga paket dukungan untuk industri digital dalam negeri: bantuan modal, insentif pajak, dan penyediaan kawasan bersama usaha digital.

Pertama, Pemerintah China menginvestasikan 218 miliar dollar AS untuk mendukung rintisan usaha digital yang disalurkan melalui perusahaan negara dan inkubator yang didirikan pemerintah. Proyek ini mampu menopang 1.600 rintisan usaha berbasis teknologi internet dalam berbagai skala di seluruh China.

Kedua, Pemerintah China memberikan insentif pemotongan pajak sebesar 15 persen untuk perusahaan industri kreatif serta untuk pendapatan pribadi-pribadi yang berinvestasi pada riset dan pengembangan teknologi internet. Tahun 2015, total reduksi pajak yang diperoleh dari mekanisme ini mencapai 9,93 miliar dollar AS hanya pada setengah tahun pertama saja.

Ketiga, Pemerintah China juga menyediakan lokasi khusus untuk digunakan bersama-sama oleh perusahaan rintisan digital (Co-Working Space) sejak tahun 2015. Hanya dalam waktu 15 bulan, lebih dari 500 perusahaan rintisan digital memanfaatkan fasilitas pemerintah yang disebut sebagai Silicon Valley of China ini. Didanai pemerintah sebesar lebih dari 1,5 miliar dollar AS, Silicon Valley of China ini menempati lokasi seluas 450.000 meter persegi di Distrik Zhong Guan Cun, Beijing.

Kawasan serupa juga dibangun di Shanghai, Shenzhen, dan Hangzhou untuk semua warga negara yang merintis usaha di bidang teknologi digital.

Hasilnya kemudian mencengangkan dunia. Sejak 2015, minimal enam dari 20 perusahaan internet terdepan di dunia berasal dari China. Meskipun China hanya menguasai 3 persen pangsa pasar industri cloud global, perusahaan berbasis cloud China terus bertumbuh dan merupakan tantangan serius bagi dominasi AS. China juga memimpin dunia dalam perdagangan elektronik dengan pasar ritel elektronik yang nilainya lebih dari 900 miliar dollar AS tahun 2016.

Pada tahun yang sama, 400 juta warga China berbelanja setiap hari secara daring melalui gawai (smartphone). Pemerintah dan dunia usaha juga terus bekerja sama mengembangkan kota-kota yang terintegrasi secara digital. Kota-kota yang memiliki pusat data, fasilitas penelitian, pengembangan, dan pelatihan, perkantoran, perumahan, serta berbagai infrastruktur lain yang terkoneksi dalam konsep smart city(Vincent Mosco 2016).

Dukungan nyata pemerintah sekali lagi adalah kunci keberhasilan China dalam membangun industri digital nasional. Berkat insentif, subsidi bahkan proteksi pemerintah, Alibaba, Baidu, dan Tencent mampu menang dalam persaingan memperebutkan pasar digital dalam negeri China yang besar sekali, lalu kemudian berekspansi ke negara lain.

Nasionalisme digital

Berbicara tentang nasionalisme digital dalam konteks Indonesia, bermacam insentif, subsidi, dan fasilitas untuk industri digital dalam negeri seperti di atas yang semestinya kita bayangkan. China mungkin contoh yang ekstrem dalam hal "proteksionisme digital", tetapi negara lain, seperti Korea Selatan, India, Brasil, Meksiko, dan Afrika Selatan, sebenarnya juga mengambil langkah yang hampir serupa.

Insentif dan dukungan pemerintah sangat mendesak untuk melindungi berbagai usaha berbasis internet yang benih-benihnya telah tumbuh subur di Indonesia. Dalam hal kreativitas, basis ilmu pengetahuan, penguasaan teknologi, dan SDM, Indonesia sesungguhnya memiliki modal memadai untuk mengembangkan industri digital.

Banyak anak muda kreatif yang mampu merintis pembuatan aplikasi media sosial, e-dagang, portal berita atau news filtering services. Namun, potensi ini sulit bertahan jika harus menghadapi persaingan terbuka melawan raksasa-raksasa teknologi digital global. Menghadapi persaingan yang timpang itu jelas sekali keberpihakan dan dukungan pemerintah sangat dibutuhkan.

Seandainya mendapatkan insentif pemotongan pajak, kemudahan perizinan dan permodalan dari pemerintah, para pelaku usaha digital mungkin tidak akan gampang tergoda menghadapi tawaran menggiurkan dari perusahaan-perusahaan digital asing. Kerja sama dengan perusahaan asing tersebut mungkin suatu keniscayaan. Mereka memperhitungkan betapa besar potensi pasar yang dimiliki Indonesia. Namun, perlu dipastikan bahwa kerja sama itu terjadi dalam konteks dan kerangka yang menguntungkan pengembangan industri media digital nasional.

AGUS SUDIBYO, DIREKTUR INDONESIA NEW MEDIA WATCH

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Alibaba, Tokopedia dan Nasionalisme Kita".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger