Masalah pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di atas jadi semakin pelik jika kita melihat bahwa negara juga terbebani dengan proses integrasi sosial 430 deportan yang hari ini belum berjalan maksimal karena alasan klasik, seperti kurangnya sumber daya dan lemahnya koordinasi antar-lembaga terkait isu ini. Para deportan ini adalah WNI yang mayoritas telah dideportasi oleh Pemerintah Turki karena tertangkap di beberapa kota berbatasan dengan Suriah karena diduga akan bergabung dengan NIIS. Berdasarkan informasi paling mutakhir, paling tidak ada dua di antara deportan ini telah diamankan Densus 88 karena keterlibatan mereka dalam jaringan terorisme.
Barangkali, berdasarkan pertimbangan inilah, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berpendapat, lebih baik mereka tidak usah kembali ke Indonesia dan berjuang saja sampai mati di sana (Kompas, 17/7). Namun, sesederhana inikah tawaran yang bisa diberikan negara untuk kasus yang sangat kompleks ini? Tidakkah kita sadar, sebagian dari mereka adalah anak-anak yang jadi korban dari ideologi orangtua mereka? Lalu, di mana rasa kemanusiaan kita melihat jerit tangis dan masa depan mereka?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, seharusnya kita mendudukkan masalah pendukung NIIS ini secara proporsional. Dengan demikian, solusi yang negara berikan pun tidak akan menciptakan masalah baru di kemudian hari.
Pembuka kesadaran
Menurut hemat penulis, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan memahami gambar besar kondisi NIIS hari ini. Setelah rontoknya kota Mosul, Irak, dari cengkeraman NIIS dan dalam waktu dekat jatuhnya kota Raqqa, Suriah, ibu kota NIIS, pendukung NIIS—termasuk dari Indonesia—akan kocar-kacir ke kota-kota terdekat. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mereka kembali ke negara asal untuk melakukan penyebaran ideologi NIIS yang sering kali diikuti dengan aksi terorisme.
Dengan skenario di atas, pertarungan selanjutnya adalah pertarungan ideologi yang tak lagi terjadi di pusaran konflik seperti di Raqqa atau Mosul, tetapi justru di negara asal para pendukung NIIS ini. Untuk melawan sebaran ideologi NIIS, negara tak cukup hanya mengandalkan pendekatan lama, seperti menangkap, memenjarakan, atau bahkan mematikan mereka. Negara perlu "amunisi" baru untuk menembak titik lemah ideologi NIIS.Lalu dari mana amunisi bisa didapatkan?
Meminjam teori rehabilitasi para pencandu narkoba, kita tahu bahwa tidak ada suara yang lebih bisa dipercaya bagi para pencandu narkoba kecuali dari mulut para pengguna yang sudah sadar bahaya narkoba. Namun, kesadaran setelah mendengarkan penuturan para eks pengguna ini tak akan berlangsung lama jika mereka tidak mendapatkan dukungan dari pihak keluarga terdekat dan masyarakat luas.Artinya, hadirnya sebuah lingkungan yang positif sangatlah diperlukan demi tercapainya upaya kesembuhan para pencandu ini.
Pola yang sama dapat kita lakukan dengan para pendukung NIIS. Kepada penulis, para pendukung NIIS selalu menolak berita kebrutalan NIIS. Mereka berdalih berita tersebut datang dari media sekuler Barat, seperti CNN atau BBC. Apalagi mereka telah dibutakan oleh kerinduan hadirnya khilafah Islam. "Ibarat orang jatuh cinta, kita sudah buta. Kita ingin hidup dalam naungan khilafah. Itulah cinta kami. Titik!" jelas salah satu pendukung NIIS kepada penulis.
Namun, penulis berharap "cinta buta" para pendukung NIIS ini bisa tergoyahkan jika mereka mendengarkan kesaksian langsung dari sesama pendukung NIIS yang kecewa dengan janji- janji palsu NIIS.Kesaksian tulus mereka yang dikemas secara sistematis inilah "amunisi" ampuh negara untuk menembak jantung ideologi NIIS yang hari ini masih terus berdetak di negara kita.
Dalam kajian deradikalisasi, tahapan ini disebut cognitive opening atau pembuka kesadaran awal bagi para pencinta buta ini. Sesungguhnya, bagi masyarakat luas pun kisah kebobrokan NIIS ini dapat jadi pelajaran penting agar kita tidak mudah terpesona oleh janji-janji para perekrut NIIS, yang secara selektif memilih ayat atau hadis untuk kepentingan politik sesaat tanpa melihat konteks kapan, kenapa, dan di mana ayat dan hadis tersebut muncul dalam sejarah Islam.
Modus perekrutan
Berdasarkan wawancara penulis dengan para pendukung NIIS, proses perekrutan menjadi sangat efektif karena tiga hal. Pertama, target sasaran biasanya memang individu-individu yang sedang mengalami masalah pribadi. Biasanya terkait dengan isu sosial, politik, dan ekonomi.
Mereka ini sedang dalam proses mencari solusi cepat dari masalah mereka itu. NIIS memberikan janji manis solusi masalah mereka ini. Proses ini mirip proses jual-beli di pasar tradisional di mana ada pihak penjual, yaitu perekrut NIIS, dan pihak pembeli, yaitu individu-individu pencari solusi hidup mereka. Seorang pendukung NIIS yang sedang mencari jodoh (pembeli) tergiur dengan janji (penjual) NIIS yang memberi iming-iming istri atau suami idaman jika mereka bersedia berhijrah ke dalam khilafah.
Kedua, sang perekrut membungkus pesan-pesan mereka dengan istilah agama yang menakutkan, terutama bagi orang yang sedang belajar agama Islam. Salah satu pendukung NIIS bercerita bahwa ia ditakut-takuti akan jadi kafir (tidak jadi bagian dari Islam) atau fasik (menolak kebenaran) atau murtad (keluar dari Islam) jika menolak ajakan perekrut NIIS berbaiat kepada Al Baghdadi, sang khalifah.
Ketiga, para perekrut ini sering kali menggunakan simbol- simbol kesalehan yang diyakini secara umum masyarakat kita, seperti pemakaian sorban, baju gamis, dan adanya tanda hitam (bekas salat) di jidat mereka. Ironisnya, penggunaan simbolsimbol ini sangat efektif menarik korban perekrutan. Padahal, sorban dan gamis ini juga dipakai para sopir taksi (yang belum tentu seorang Muslim) di negara-negara Timur Tengah, seperti Mesir, Jordania, dan Lebanon.
Oleh karena itu, agar kerepotan negara menyelamatkan 18 WNI yang pernah bergabung dengan NIIS di Suriah ini dapat menjadi amunisi yang efektif untuk melawan ideologi NIIS, negara harus sadar bahwa mereka yang pulang ini berada di persimpangan jalan. Artinya, mereka belum sepenuhnya terderadikalisasi. Negara perlu bekerja kerasdengan menggandeng keluarga dan masyarakat dalam mengawal proses reintegrasi sosial mereka.
Dengan proses ini, di kemudian hari mereka bisa jadi juru bicara yang efektif untuk melakukan counter-narrativeterhadap propaganda NIIS dengan secara sukarela menguak janji-janji palsu NIIS. Untuk mencapai tujuan rekayasa sosial ini, hal-hal teknis, seperti perlindungan saksi dan masa depan anak-anak, haruslah menjadi prioritas utama.
NOOR HUDA ISMAIL, PENDIRI YAYASAN PRASASTI PERDAMAIAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Amunisi Baru Melawan Ideologi NIIS".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar