Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 29 Agustus 2017

TAJUK RENCANA: Absennya Disiplin Ilmu Sosial (Kompas)

Keluhan minimnya kontribusi ilmuwan sosial dalam upaya penanggulangan bencana, pekan lalu, mungkin mengagetkan sejumlah pihak.

Dalam sebuah simposium internasional tentang tsunami di Denpasar, pekan lalu, disampaikan kritik kurangnya kontribusi ilmuwan sosial dalam penanggulangan bencana. Selama ini pembahasan dan penanganan bencana didominasi aspek keteknikan, padahal di lapangan aspek keteknikan tidak mencukupi. Absennya ilmuwan sosial, karena itu, ikut berkontribusi atas kegagalan upaya penanggulangan bencana.

Kasus kembalinya para korban bencana, yang terjadi di Pangandaran dan di Aceh sebagai contoh, permasalahannya tidak sesederhana atas absennya kontribusi ilmu sosial. Banyak aspek di balik "pembangkangan" masyarakat atas keputusan dari aspek keteknikan itu. Alih-alih kasus korban bencana tsunami, pun korban bencana akibat banjir, gunung meletus, gempa bumi, dan di hampir semua bencana itu pelarangan diabaikan. Para korban bencana kembali ke lokasi bencana yang dinyatakan zona terlarang.

Pada zaman Orde Lama, politik menjadi panglima. Ilmu sosial tidak berkembang. Para ilmuwan sosial hanya "membeo" ilmuwan Barat. Mereka tidak menghasilkan teori-teori besar (grand theories) dan lebih banyak menerapkan teori-teori dari Barat karena minimnya penelitian tentang masyarakat dan budaya Indonesia. Pada zaman Orde Baru ekonomi sebagai panglima, ilmuwan sosial kembali dianaktirikan. Semua anggota tim penasihat ekonomi Presiden Soeharto adalah ekonom dan hanya satu sosiolog.

Pada zaman pasca-Orde Baru, setelah program indigenisasi (pribumisasi ilmu sosial menurut istilah Ignas Kleden) beberapa tahun sebelumnya, dengan lahirnya berbagai teori yang didasarkan atas penelitian para ilmuwan sosial asli Indonesia, kontribusi ilmu sosial merambah dan diterima di hampir semua kebijakan dan keputusan publik. Keputusan-keputusan yang menyangkut banyak orang dilakukan dengan pertimbangan dimensi sosial-budaya, dari berbagai hasil penelitian.

Persoalannya, bagaimana keputusan itu berjalan di lapangan, tidak lagi dibebankan terutama ilmuwan sosial, tetapi juga ilmuwan disiplin lain, bahkan faktor kekuasaan merupakan faktor terpenting.

Keluhan minimnya kontribusi ilmu dan ilmuwan sosial kita tangkap secara positif sebagai lecutan untuk mengingatkan kembali semakin besarnya peran serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora, dalam praksis pemerintahan saat ini yang tidak bisa lagi mengandalkan represi bahkan sah secara legal, tidak lagi politik ataupun ekonomi sebagai panglima, dalam berbagai bidang kehidupan dan bukan hanya soal penanganan bencana.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Absennya Disiplin Ilmu Sosial".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger