Pada mulanya, First Travel hanya merupakan perusahaan biro perjalanan wisata biasa dengan menggunakan bendera CV First Karya Utama. Kemudian, pemilik perusahaan tersebut, pasangan suami istri Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari Hasibuan, melihat adanya peluang pengembangan bisnis dalam perjalanan ibadah umrah.
Akhirnya, setelah mengantongi izin dari Kementerian Agama pada 2011, First Travel resmi menjual produk paket perjalanan umrah berbiaya murah.
Pangsa pasar untuk produk paket perjalanan umrah di Indonesia masih sangat terbuka dan pasarnya cukup besar. Pasar sasarannya adalah umat Islam Indonesia yang ingin menunaikan ibadah umrah. Apalagi dengan adanya kebijakan tata kelola haji saat ini yang berujung pada adanya waktu tunggu (waiting list) yang cukup lama bagi umat Islam Indonesia yang ingin menunaikan ibadah haji.
Waktu tunggunya bisa hingga 10-15 tahun. Oleh karena itu, banyak umat Islam Indonesia memilih ingin terlebih dahulu menunaikan ibadah umrah daripada ibadah haji.
Dengan mempromosikan produk paket perjalanan umrah berbiaya murah, hanya cukup dengan Rp 14,3 juta, First Travel telah melakukan penetrasi pasar. Saat itu harga produk paket umrah pada kisaran Rp 19 juta hingga Rp 22 juta.
Strategi bisnis dengan penetapan harga (pricing) paket umrah yang murah disambut baik dan sangat diminati pasar. Terbukti dari penelusuran pada data First Travel, total jemaah yang mengambil produk promo umrah berbiaya murah dari Desember 2016 hingga Mei 2018 ada 72.682 orang. Dari jumlah tersebut, 14.000 orang sudah diberangkatkan dan sisanya, 58.682 orang, belum berangkat.
Puluhan ribu anggota jemaah yang tidak jadi berangkat umrah menjadi problem bagi First Travel karena, ada dugaan awal, sebagian dana umrah yang dihimpun First Travel dimanfaatkan untuk kegiatan belanja yang tidak ada kaitannya dengan perjalanan umrah sehingga akhirnya Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejak 18 Juli 2017, mengeluarkan ketetapan pembekuan kegiatan usaha First Travel.
Kegiatan yang dibekukan meliputi kegiatan penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi yang dilakukan First Travel. Tidak hanya OJK yang memberikan sanksi penghentian kegiatan usaha First Travel, Kementerian Agama yang sebelumnya mengeluarkan izin akhirnya per 1 Agustus 2017 juga mencabut izin operasi First Travel.
Pembelajaran
Dari kasus yang terjadi di First Travel, harapannya ke depan bisa mengambil pembelajaran agar tidak terulang lagi. Tidak ada lagi model bisnis seperti First Travel. Ada beberapa catatan yang dapat dijadikan pembelajaran perbaikan tata kelola pelaksanaan umrah di Indonesia.
Pertama, penguatan regulasi. Kementerian Agama bersama OJK harus bekerja sama berbagi tugas membuat rumusan penguatan regulasi dalam tata kelola pelaksanaan umrah di Indonesia yang lebih baik. Dalam hal ini, Kementerian Agama bertugas merumuskan regulasi yang berkaitan dengan aspek ibadah umrahnya sehingga pelaksanaan ibadah umrah sah dan sesuai dengan syarat rukunnya.
Di sini berlaku prinsip kesesuaian syariah (shariah compliance). Sementara tugas OJK adalah merumuskan regulasi dari aspek bisnisnya. Dalam hal ini, perusahaan travel umrah pada posisi menjalankan satu fungsi yang ada di industri perbankan, yakni fungsi penghimpunan dana (funding). Bedanya, kalau di bank fungsi funding dilakukan melalui produk tabungan, deposito, dan giro, sedangkan fungsi funding di perusahaan travel umrah dalam bentuk pembayaran uang atas produk paket umrah.
Agar terbentuk harga yang fair dan adil, OJK harus membuat panduan penetapan pembatasan harga bawah dan harga atas pada produk paket perjalanan umrah yang dapat dikaji ulang berdasarkan kondisi pasar. Di sisi lain, perlu juga adanya pengaturan modal yang disetor bagi perusahaan travel umrah sebagai cerminan dari kemampuan dalam kecukupan modal yang dimiliki.
Kedua, penguatan monitoring. Adanya kasus First Travel mengindikasikan proses monitoring terhadap perusahaantravel umrah belum berjalan dengan baik. Dalam proses monitoring, baik Kementerian Agama maupun OJK, diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan. Kementerian Agama melakukan monitoring dari aspek prinsip kesesuaian syariah (shariah compliance). Sementara OJK melakukan monitoringdari sisi bisnisnya.
Akan lebih baik jika dalam prosesmonitoring OJK sudah mampu membuat sistem deteksi dini bagi perusahaantravel umrah sehingga akan diketahui tingkat kesehatan perusahaan travelumrah. Lebih dari itu, perusahaan travelumrah harus melaporkan kegiatan operasionalnya kepada OJK secara periodik.
Perlindungan konsumen
Ketiga, penguatan perlindungan konsumen. Dalam hal ini, aspek perlindungan konsumen perlu dikedepankan. Banyaknya jemaah umrah yang tidak jadi diberangkatkan oleh First Travel merupakan gambaran lemahnya perlindungan konsumen. Hak- hak konsumen untuk memperoleh kepastian keberangkatan dan kenyamanan dalam menjalankan ibadah umrah perlu dilindungi oleh regulasi.
Oleh karena itu, dirasa perlu adanya hot line khusus, baik di Kementerian Agama maupun OJK, yang menerima penampungan pengaduan dari calon jemaah umrah, sebagai perwujudan dari jaminan kualitas (quality assurance) proses pelaksanaan perjalanan ibadah umrah. Di sisi lain, Kementerian Agama dan OJK secara periodik menyajikan data perusahaan travel umrah yang kredibel dan tepercaya.
Keempat, perlu membentuk perilaku konsumen yang cerdas. Dalam hal ini otoritas, baik Kementerian Agama maupun OJK, seyogianya terus-menerus melakukan edukasi dan sosialisasi kepada calon jemaah umrah sehingga dihasilkan profil jemaah umrah yang cerdas, yakni jemaah umrah yang dapat memahami betul produk paket umrah yang ditawarkan oleh perusahaan travel.
Kasus First Travel menyajikan gambaran adanya jemaah umrah yang berpikir secara emosional sehingga tergiur dengan promosi paket umrah berbiaya murah yang kalau dihitung secara rasional, dengan harga paket umrah Rp14,3 juta, tidak akan mencakup total biaya perjalanan umrah.
Dari sinilah dibutuhkan proses edukasi dan sosialisasi secara masif untuk menghasilkan profil konsumen yang cerdas.
AM HASAN ALI, KETUA PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Belajar dari Kasus First Travel".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar