Bank Dunia, edisi Juli 2017, mengumumkan klasifikasi baru negara, menjadi empat kelompok. Klasifikasi didasarkan atas pendapatan nasional kotor (gross national income/GNI) per kapita. Kelompok pertama, negara berpenghasilan rendah dengan GNI di bawah 1.005 dollar AS. Kelompok kedua, negara berpenghasilan menengah papan bawah (lower middle income) dengan GNI 1.005-3.955 dollar AS. Kelompok ketiga, negara berpenghasilan menengah papan atas (upper middle income) dengan GNI 3.956-12.235 dollar AS. Kelompok keempat, negara berpenghasilan tinggi (high income countries) dengan GNI di atas 12.235 dollar AS.
GNI per kapita Indonesia tahun 2016 baru 3.400 dollar AS. Dengan asumsi kurs selama 2016 sebesar Rp 13.600 per dollar AS, rata-rata pendapatan per orang manusia Indonesia setahun Rp 46,24 juta. Pendapatan rata-rata warga Indonesia dalam hitungan per bulan hanya Rp 3,85 juta, sedikit di atas upah minimum Provinsi DKI Jakarta tahun 2016 sebesar Rp 3,1 juta. Dengan klasifikasi Bank Dunia itu, Indonesia masih tergolong negara berpenghasilan menengah papan bawah. Klasifikasi ini tak berubah sejak 1985. Mungkinkah Indonesia keluar dari LMIT?
Untuk menjadi negara maju dengan GNI di atas 12.235 dollar AS per kapita per tahun, Indonesia mau tak mau perlu menempuh strategi "shifting into higher gear" (SIHG). Ibarat mengendarai mobil, Indonesia harus berpindah persneling dengan gigi lebih tinggi. Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004) hingga Joko Widodo (2017), ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,6 persen hingga paling tinggi 6,5 persen. Berbagai analisis dan proyeksi menunjukkan jika rekor pertumbuhan ekonomi berlanjut, Indonesia akan tetap menjadi negara berpenghasilan menengah hingga kapan pun. Agar bisa menjadi negara maju, pertumbuhan perlu digenjot minimal 7 persen per tahun dari sekarang.
Empat gebrakan
Mungkinkah pertumbuhan ekonomi 7 persen bisa dicapai? Tentu diperlukan sejumlah gebrakan untuk menggapai pertumbuhan setinggi itu. Indonesia setidaknya membutuhkan empat gebrakan untuk keluar dari LMIT, yakni menggenjot sektor/produk unggulan, mempercepat pembangunan daerah/desa tertinggal, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan menarik investasi dan orang lebih gencar. Saya menyebutnya sebagaiquadruple strategy berbasis sektoral, spasial, manusia, dan pembiayaan.
Pendekatan sektoral memang masih digunakan oleh pemerintah dalam menyusun APBN dan perencanaan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun, prioritas kini harus difokuskan untuk menggenjot sektor dan produk unggulan yang berperan penting dalam menciptakan nilai tambah, menyerap tenaga kerja, menopang daya saing nasional, dan menghasilkan devisa negara. Indikator kinerja utama untuk setiap kementerian dan daerah yang disepakati bersama perlu dicanangkan dan dilaksanakan dengan konsisten. Koordinasi lintas kementerian serta antara pusat dan daerah perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Dalam praktik, ego sektoral dan daerah masih mencuat yang berakibat banyak program dan dana yang tumpang tindih, tidak fokus, "karitatif", tidak menyentuh akar masalah.
Pendekatan spasial perlu lebih serius diterapkan dan diprioritaskan. Struktur perekonomian Indonesia hingga kuartal I-2017 secara spasial masih didominasi kelompok provinsi dan kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing masih memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sekitar 58 persen dan 22 persen. Kawasan Timur Indonesia (KTI), sebagai kawasan pinggiran, kebagian sisanya, sekitar 20 persen. Singkatnya, pola pembangunan yang timpang (unbalanced development) masih terus terjadi, tecermin dari kuatnya "pusat" (Jawa-Sumatera) sebagai gravitasi pembangunan dan menyisakan "pinggiran" (KTI dan desa) (Mudrajad Kuncoro, ""Membangun dari 'Pinggiran"'", Kompas, 9/2/2015).
Penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia tidak signifikan terjadi karena program kemiskinan terdistribusi di sejumlah kementerian dan dinas, jalan sendiri-sendiri dan tidak terpadu. Ironisnya, survei membuktikan, kantong kemiskinan di setiap kabupaten/kota kurang tersentuh program antikemiskinan. Pola ini disebutspaceless, tidak memperhatikan di mana lokasi kaum duafa berada.
Daerah tertinggal di Indonesia dicap sebagai daerah "pinggiran" karena beberapa penyebab. Lokasi daerah atau desa tertinggal umumnya di kawasan perbatasan provinsi/negara, sulit dijangkau karena minimnya infrastruktur jalan, pelabuhan, bandara, bahkan terisolasi secara ekonomi. Akibatnya, tingkat kesejahteraan rakyatnya relatif rendah. Oleh karena itu, pembangunan daerah kabupaten dan desa tertinggal perlu diprioritaskan dan dipercepat. Saat ini masih ada 122 kabupaten dan 20.168 desa tertinggal.
Pendekatan manusia (people-centered development) perlu lebih serius diprioritaskan. Paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered) berbeda dengan production-centered. Pembangunan yang berpusat produksi menempatkan manusia sebagai obyek atau salah satu faktor produksi. Pembangunan yang berpusat pada manusia memfokuskan perhatian kelompok marginal, yang belum mengenyam "kemerdekaan", termasuk keluarga miskin, pengangguran, dan usaha mikro. Paradigma people-centeredmembutuhkan setidaknya aspek: kapasitas, pemerataan, pemberdayaan, sustainabilitas, dan interdependensi.
Dengan kata lain, upaya pembangunan yang ditujukan kepada manusia membutuhkan penciptaan lingkungan, baik lingkungan politik, ekonomi, maupun budaya, yang dapat mendorong lahirnya manusia yang kreatif dan produktif. Peningkatan kualitas SDM di semua lini, strata, dan daerah perlu digenjot.
Makin kecil ketimpangan antargolongan masyarakat dan antardaerah, akan mewujudkan pembangunan inklusif. Pengembangan ekonomi perdesaan, termasuk kawasan transmigrasi, perlu diintegrasikan dengan pengembangan perkotaan dan mendorong keterkaitan ekonomi antara desa-kota, KTI dan Kawasan Barat Indonesia. Sudah saatnya pemerintah Jokowi melanjutkan sisi positif MP3EI (Master Plan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia) di era sebelumnya dan sekaligus menyusun "peta jalan" bagaimana mengintegrasikan program unggulan Nawacita (kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, kemaritiman dan kelautan, serta pariwisata dan industri) dengan pengembangan wilayah (desa, kota, kawasan).
Pendekatan pembiayaan intinya bagaimana menarik investasi dan orang lebih gencar ke seluruh wilayah Indonesia. Banyak pemda mengeluh rendahnya kapasitas fiskal mereka karena selama ini APBD amat bergantung pada dana transfer dari pusat, baik berupa dana alokasi umum atau dana bagi hasil. Perubahan pola pikir perlu dilakukan bahwa pembiayaan daerah tidak bisa hanya mengandalkan dana APBN. Daerah dan kementerian perlu lebih kreatif menarik investasi, baik dalam negeri maupun asing. Strategi proaktif untuk menarik orang ke pusat destinasi wisata dan daerah tertinggal perlu dilakukan dengan promosi dan pemasaran bersama, paket wisata, dan sejumlah terobosan lainnya.
Menuju Indonesia bangkit
RPJMN 2015-2019 menggariskan pembangunan bukan hanya untuk kelompok tertentu, melainkan untuk seluruh masyarakat di seluruh Indonesia. Karena itu, pembangunan harus dapat memperkecil ketimpangan yang ada, baik kesenjangan antarkelompok pendapatan, maupun kesenjangan antarwilayah, dengan prioritas wilayah desa (karena penduduk miskin sebagian besar tinggal di desa) dan wilayah pinggiran, yang mayoritas berada di KTI.
Pada HUT Ke-72 RI ini, kita perlu merenungkan kembali sudahkah kita merdeka? Merdeka tak hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga ketertinggalan, kemiskinan, kebodohan, dan LMIT.
MUDRAJAD KUNCORO, GURU BESAR ILMU EKONOMI FEB UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Peluang Indonesia Bangkit 2025"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar