Saya sendiri kurang sependapat dengan pembangunan proyek ini dalam konfigurasi yang sekarang. Namun, bukan hal ini yang menjadi pokok pembahasan di sini, melainkan berbagi catatan tentang perkembangan pembangunan sistem kereta api (KA) cepat itu sendiri sebagai bagian dari program pemerintahan China yang dikenal sebagai Jalur Sutra Baru (The New Silk Road), Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road/OBOR), atau Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI).
Jalur Sutra (Silk Road) adalah terminologi yang digunakan untuk menamakan jalur hubungan ekonomi-perdagangan dan kultural Asia-Eropa yang dimulai Dinasti Han (207 sebelum Masehi-220). Presiden Xi Jinping ingin membangun hubungan Asia-Eropa dengan menggunakan hubungan yang telah berjalan berabad- abad di masa lalu sebagai pedomannya, mengaktifkan kembali hubungan ekonomi-perdagangan lama ini, baik jalur darat maupun maritim. Karena itu, program ini menyangkut pembangunan infrastruktur, termasuk pelabuhan laut dan dermaga dengan fasilitas pendukungnya di sepanjang jalur tersebut.
Dalam sistem perhubungan daratnya, China menggunakan pembangunan sistem jaringan KA cepat sebagai ujung tombaknya. Akan tetapi, program ini tidak berjalan semulus seperti yang diharapkan dan dipropagandakan oleh China ataupun sebagian negara yang ikut di dalamnya.
Pemerintah China di bawah Presiden Xi Jinping bertekad membangun hubungan perdagangan dan ekonomi antara Asia dan Eropa dengan menggunakan konsep hubungan perdagangan dan ekonomi Asia- Eropa lama yang dibangun oleh Dinasti Han di Tiongkok sebelum tahun Masehi. Sistem hubungan ekonomi-perdagangan yang juga menghubungkan kehidupan kultural antara Timur dan Barat, membentang dari semenanjung Korea dan Jepang sampai Mediteranian, ini kemudian dikenal sebagai Jalur Sutra (silk road/silk route) setelah seorang pemimpin ekspedisi Jerman, Ferdinand Richthofen, memperkenalkan nama ini pada 1877. Sementara konsep dan program Presiden Xi dinamakan Jalur Sutra Baru.
Konsep dan program Jalur Sutra Baru diluncurkan oleh Pemerintah China pada 2013 dan menjadi lebih resmi dengan diselenggarakannya konferensi puncak tentang BRI, Mei lalu, di Beijing. Konferensi dihadiri lebih dari 60 negara dengan 28 kepala negara atau pemerintahan hadir, termasuk Presiden Putin, Erdogan, dan Joko Widodo. Presiden Bank Dunia dan direktur pelaksana IMF juga hadir.
Keberhasilan China membangun KA cepat secara lebih murah dibandingkan negara-negara lain telah mendorong China menjadikan KA cepat sebagai ujung tombak program Jalur Sutra Baru. Pada 2015, saat China menjadi tuan rumah pertemuan dengan 16 pemimpin negara-negara Eropa, Perdana Menteri China Li Keqiang saat menyertai para tamunya naik KA cepat dari Suzhou ke Shanghai mengungkapkan bahwa China siap berbagi dalam teknologi pembangunan KA cepat dengan negara-negara yang menjadi peserta program ini. Li menekankan bahwa hubungan China dengan semua negara ini seperti jalannya KA yang sedang mereka tumpangi; cepat, nyaman dan aman.
Xi Jinping dalam kunjungan kenegaraan ke negara-negara dalam jalur ini, termasuk Indonesia, Pakistan, Iran, Mesir dan negara-negara Eropa Timur tak pernah lupa menyebutkan sejarah lama saat armada Tiongkok menyinggahi pelabuhan-pelabuhan negara itu menjalin hubungan ekonomi, perdagangan, dan kultural.
Jelas sekali bahwa maksud China menggunakan diplomasi KA cepat ini adalah untuk membangun hubungan dengan 65 negara-negara yang ada dalam Jalur Sutra. Pembangunan jaringan KA cepat semula juga direncanakan di Afrika, Amerika Serikat (AS), dan Amerika Latin. Program ini juga menunjang ambisi China menjadi pemimpin dunia yang akhir-akhir ini terbantu oleh mundurnya kepemimpinan AS di dunia, dengan Presiden AS Donald Trump yang menekankan kebijakan America First, keluar dari Kemitraan Trans- Pasifik (TPP), kesepakatan Paris, serta perilakunya yang tidak selalu mencerminkan seorang pemimpin dunia.
Antara konsep dan implementasi
Perkembangan proyek pembangunan KA cepat Jakarta-Bandung sebagaimana kita ikuti dari pemberitaan di media tak seperti yang semula dijanjikan. Sejak peresmiannya selalu saja ada gangguan yang menimbulkan perbedaan antara rencana dan pelaksanaan. Namun, rupanya pelaksanaan yang berbeda dengan rencana seperti terjadi dengan proyek KA cepat Jakarta-Bandung bukan suatu pengecualian dari keseluruhan program ambisius ini.
Menurut penelitian CSIS Washington DC dan Financial Times, pelaksanaan pembangunan KA cepat dalam rangka BRI lebih banyak yang bermasalah daripada yang mulus. Dalam laporan mengenai hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa proyek KA cepat dalam rangka OBOR ini semula berjumlah 18 dengan biaya 143 miliar dollar AS, di mana China akan melakukan investasi atau membiayai pembangunannya. Akan tetapi, tak semua pelaksanaan proyek itu berjalan lancar, bahkan ada sejumlah proyek yang dibatalkan dan mandek (Financial Times, 17/7/2017).
Rinciannya adalah sebagai berikut. Pertama, ada lima proyek yang sedang berjalan: Moskwa-Kazan di Rusia, sepanjang 770 kilometer dengan biaya 21,4 miliar dollar AS, dalam tahap permulaan. Budapest-Beograd, 350 kilometer dari Hongaria ke Serbia, dengan biaya 2,89 miliar dollar AS, masih mengalami masalah karena berpotensi menyalahi ketentuan intern Uni Eropa.
Mekkah-Madinah di Arab Saudi, 453 kilometer dengan biaya 12,3 miliar dollar AS. China-Laos, dari Kunming di Provinsi Yunnan sampai Vientiane, 417 kilometer, termasuk pembangunan 75 terowongan dan 167 jembatan, biaya 5,8 miliar dollar AS, dimulai 2016. Jakarta-Bandung, jarak 142 kilometer dengan biaya 5,5 miliar dollar AS dengan pinjaman dari China Development Bank 4,5 miliar dollar AS.
Kedua, dalam perencanaan: 12 proyek dengan biaya 114,1 miliar dollar AS.
Ketiga, dibatalkan: lima proyek dengan biaya 47,5 miliar dollar AS, menyangkut pembangunan KA cepat di Myanmar (Yangon-Mandalay), Libya (Tripoli-Sirte), AS (Los Angeles-Las Vegas), Meksiko (Mexico City-Queretaro), dan Venezuela (Tinaco-Anaco). Keempat, satu-satunya yang sudah selesai adalah jalur Ankara-Istanbul di Turki.
Dari yang dibatalkan karena ambruknya pemerintahan (Khadafy di Libya) atau krisis pemerintahan dan ekonomi (Venezuela) atau yang masih dalam proses tetapi belum ada kepastian (Hongaria-Serbia) ataupun yang kurang mulus implementasinya (Jakarta-Bandung dan Laos) tampak bahwa Pemerintah China kurang menyadari perbedaan kondisi dan sistem politik serta penyelenggaraan pemerintahan setiap negara yang berbeda dengan sistem yang berlaku di China.
Aspek pembiayaan dari pembangunan proyek-proyek ini juga tidak cermat diperhitungkan atau terlalu optimistis direncanakan, termasuk janji adanya bantuan ataupun pinjaman yang tidak matang dibahas realisasinya. Misalnya, Laos yang mempunyai produk domestik bruto 12,3 miliar dollar AS, membuat utang 5,8 miliar dollar AS untuk pembiayaan proyek jangka panjang yang nilai ekonominya buat negara ini belum jelas, tentu kurang realistis.
Tampaknya juga kurang diperhitungkan risiko terjadinya hal-hal yang dapat mengganggu kelancaran implementasi di negara-negara tuan rumah proyek-proyek tersebut. Misalnya, penggunaan tenaga kerja China dalam jumlah besar yang dapat mengganggu kestabilan sosial, seperti yang kita amati di Indonesia, Laos, dan tempat-tempat lain, tentu menghalangi kelancaran implementasi program.
Tentu saja, buat China, pembangunan dengan cara demikian membantu penyelesaian masalah ekonomi domestiknya. Pelaksanaan pembangunan ini menggunakan kapasitas yang sementara tak diperlukan lagi di China karena selama belasan tahun pembangunan infrastruktur telah menghasilkan kapasitas berlebih (over supply) di seluruh China. Penggunaan kapasitas itu, di banyak negara, merupakan solusi buat kapasitas lebih—yang tanpa pembangunan dalam rangka program OBOR—akan menganggur.
Unsur domestik
Berbagai hal yang menjadi kendala lancarnya implementasi pembangunan Jalur Sutra Baru ini sebagian berasal dari unsur domestik negara yang menerima pembangunan jalur KA cepat, dan sebagian dari pihak China sendiri. Dalam aspek pembiayaannya, China sedang menghadapi implikasi dari tingkat utang yang semakin tinggi (leveraging), 260 persen tahun 2016. Contohnya, menyelesaikan masalah meningkatnya kredit bermasalah, memperlemah kemampuannya untuk menjadi pendukung utama dari pembiayaan proyek yang menelan biaya sangat besar tersebut. Keseluruhan biaya BRI mencapai 900 miliar dollar AS, di mana 143 miliar dollar AS di antaranya untuk pembangunan jaringan KA cepat.
Dari pihak negara penerima, peningkatan utang yang terkait dengan pembiayaan pembangunan proyek jaringan KA cepat ini menjadi kendala yang semakin tidak dapat diabaikan. Selain itu, permasalahan sosial-politik berkaitan dengan besarnya penggunaan tenaga kerja China di setiap negara penerima proyek juga harus diperhatikan.
Bahkan, penggunaan pinjaman sebagai sumber pembiayaan juga menghadapi kendala karena meningkatnya jumlah utang yang dapat membahayakan kestabilan moneter bagi perekonomian peserta dan penerima utang. Semua ini merupakan catatan terhadap implementasi pembangunan jalur KA cepat China sebagai bagian dari pelaksanaan proyek Jalur Sutra Baru yang tidak semulus konsep awalnya.
Buat Indonesia, tentunya hal-hal ini sudah menjadi perhatian pemerintah, tidak hanya dalam pembangunan jaringan KA cepat, tetapi juga dalam pembangunan sejumlah pelabuhan yang akan menjadi jaringan BRI China. Dalam jaringan proses produksi, rantai pasokan (supply chain) dan rantai produksi (production chain), manfaat dari mereka yang ikut serta dalam jaringan tersebut jelas. Akan tetapi, saya kira tidak demikian halnya dalam jaringan OBOR. Dalam hal ini kita harus selalu mengedepankan kepentingan nasional, kepada apa yang akan diperoleh buat perekonomian nasional sebelum kita menerima tawaran yang ternyata tidak selalu manis tersebut. Semoga.
J SOEDRADJAD DJIWANDONO, GURU BESAR EKONOMI EMERITUS UNIVERSITAS INDONESIA DAN PROFESOR EKONOMI INTERNASIONAL S RAJARATNAM SCHOOL OF INTERNATIONAL STUDIES, NANYANG TECHNOLOGICAL UNIVERSITY, SINGAPURA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar