Paling menonjol adalah perilaku yang disebut-sebut sebagai "rukun baru" haji. Pahadal, syarat dan rukun sudah haji sudah ditetapkan sejak perintah turun pada tahun 9 Hijriah dan tidak berubah hingga kini.
"Rukun baru" ini diam-diam diamini sebagian besar jemaah haji (ijma' sukuti) dengan ikut melakukan amalan tersebut sejak keluar rumah di kampung halaman hingga masuk Masjidil Haram di depan Kakbah. Tidak hanya sendiri, bahkan sering dilakukan secara berjemaah.
"Ibadah" berswafoto
Aktivitas ini diamalkan serentak dengan intensitas tinggi, bahkan mirip sunahqabliyah dan bakdiyah yang mengiringi ibadah wajib. Sampai-sampai ketika terjadi cobaan bertubi-tubi pada musim haji sebelum tahun ini, seperti ambruknya crane di Masjidil Haram dan musibah Mina dengan ratusan korban wafat dan cedera, jemaah tetap dapat melakukan dengan menjadikan semua peristiwa sebagai latar belakang.
Fenomena itu kemudian jadi laporan di harian Arab News pada musim haji tahun lalu dengan judul besar "Say No To Hajj Selfie".Lebih mengejutkan lagi, dalam ilustrasi foto terlihat kebanyakan "pelaku"-nya berparas Indonesia. Mungkin karena jemaah haji Indonesia termasuk tiga besar dunia atau karena kegemaran baru tersebut menguasai sebagian besar jemaah haji kita.
Kesibukan jemaah berswafoto alias ber-selfie memang sudah menggejala sejak sekitar tujuh tahun terakhir ketika produk telepon pintar berada dalam genggaman banyak umat, sampai-sampai swafoto dapat dilakukan kapan saja, di mana saja, termasuk di situs-situs suci di kota suci Mekkah dan Madinah oleh jemaah yang sedang melaksanakan ritual suci berhaji. Tidak jarang ditemui jemaah melakukan swafoto dan video call dari dalam masjid. Pemandangan demikian jarang ditemui sebelum itu.
Untuk menjaga ketertiban umum, sudah banyak arahan ulama di sejumlah negara agar jemaah tidak sibuk dengan telepon pintarnya hingga fatwa keras dilarang swafoto dalam menjalankan rangkaian ibadah haji. Di sejumlah sudut luar Masjidil Haram juga dapat dilihat dengan jelas terpampang papan-papan peringatan larangan memotret atau merekam gambar atau video di sekitar masjid, apalagi sampai di sebelah Kakbah yang disucikan.Akan tetapi, kegiatan berswafoto terus berlangsung, bahkan bertambah masif.
Mengapa jemaah haji masa kini terkesan lebih leluasa menunaikan keinginan pribadi ataupun hasrat bersama untuk berswafoto? Banyak faktor pendorongnya, tetapi kemungkinan terbesar adalah karena kontrol petugas atas penggunaan alat perekam lemah. Ini dapat dibuktikan dengan indikasi semakin tahun jarang ditemui ada alat perekam atau jemaah ditahan aparat akibat kegiatan merekam seperti kejadian pada 1980-an hingga 2000-an. Saat itu, produk kamera analog sedangbooming dan banyak anggota jemaah haji menenteng kamera sampai ke dalam masjid. Kala itu, tidak sedikit kejadian penyitaan hingga penangkapan jemaah sehingga keluar aturan larangan merekam di sekitar masjid.
Pengalaman Kiai Husein Muhammad—pengasuh Pesantren Arjawinangun, Cirebon—berikut ini menjelaskan betapa pada masa itu soal potret-memotret tempat suci hingga situs bersejarah merupakan tabu yang dilarang keras. Pada 1981, Husein muda yang masih mahasiswa di Mesir melaksanakan haji pertama.Perjalanan dari Port Sa'id ke pelabuhan Jeddah ditempuh selama dua malam. Suatu hari, ia mengantar jemaah haji dari kampungnya mengunjungi Jabal Tsur, gunung tempat Nabi dan Abu Bakar bersembunyi dari kejaran kaum kafir Quraisy.
Di bawah gunung itu, ia mengeluarkan kamera, lalu men-"jeprat-jepret"-kan ke jemaah yang antusias ingin diabadikan. Tiba-tiba askar (satpol PP) datang lalu mengejar dan merampas kamera Husein. Katanya, "Haram, haram, mamnu'tashwir,"—Haram, dilarang ambil foto. Dalam kenangan Kiai Husein, seperti ditulis di laman media sosialnya belum lama ini, saat itu jemaah menyaksikan dan sebagian menangis melihat kerasnya sikap askar Saudi, padahal kejadian itu tidak di masjid, bukan di sekitar Kakbah, tetapi jauh di bawah gunung bersejarah.
Hari ini kita menyaksikanjemaah melakukan swafoto—baik sendiri-sendiri atau berombongan, bahkan ada yang siaran langsung melalui alat komunikasi pintar—hanya berjarak beberapa meter dari titik pusat Kakbah. Keadaanberhaji seperti tergambarkan saat ini sangat berbeda dengan situasi perjalanan haji pada waktu silam ketika media sosial belum jadi bagian inti keluarga banyak orang. Saat itu, kalaupun ada di antara jemaah yang mengambil foto, biasanya jauh dari tempat-tempat yang disucikan.
Dulu dan sekarang
Melihat dari dekat suasana haji tahun-tahun belakangan yang terkesan riang gembira mengingatkan kita pada keadaan jemaah haji sebelum kemerdekaan yang memilukan. Kepiluan itu setidaknya tampak dalam penelitian Dien Majid (Haji Masa Kolonial, 2008) yang menulis bahwa tidak sedikit jemaah haji dari Nusantara yang terjebak calo kapal hingga hanya sampai di Singapura. Di negeri pulau kecil ini, sebagian jemaah kemudian ditawari sebagai pekerja kebun di sebuah kepulauan agar mendapatkan dana untuk meneruskan perjalanan ke Jeddah, akan tetapi ada yang tidak pernah keluar dari perkebunan. Alhasil, banyak di antara mereka yang terpaksa kembali lagi ke kampung halaman hingga pada masa itu terkenal dengan sebutan "Haji Singapura". Yang sampai ke Jeddah pun telantar dan saat kembali ke Tanah Air kembali berhadapan dengan mafia kapal yang menerapkan tarif berlipat, tanpa ada pilihan.
Membayangkan saja haji pada masa lampau sudah terasa demikian berat. Sungguh berbeda dengan situasi haji pada hari ini yang bertabur senyum dan tawa sebagaimana tergambar dalam foto-foto, video, dan siaran langsung di media sosial.
Kesibukan di sela melaksanakan ibadah ini tentu saja berpotensi menimbulkan sikapriadanujub yang mengurangi makna substansial ibadah. Bukan cuma itu, kegaduhannya pun dapat menimbulkan gangguan di tempat ritual.
Itu sebabnya, sejak sebelum telepon pintar mewabah, pengelola Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sudah memasang papan larangan mengambil foto di area dalam masjid. Sampai hari ini papan pengumuman dalam berbagai bahasa itu masih terpampang jelas, tetapi tampaknya dipandang seperti hiasan dinding yang tidak bermakna
Sebagai introspeksi kecil, berhaji tentu tak harus seperti pemain bola yang tidak boleh membawa telepon pintar ke tengah lapangan. Boleh saja berswafoto sebagai cara paling sederhana mencatat atau mendokumentasi perjalanan, tetapi tentu dalam batas-batas yang proporsional agar tidak sampai menyetarakannya dengan rukun yang wajib dikerjakan di setiap tempat dan waktu dalam perjalanan ibadah haji yang sakral itu.
MAHRUS ALI, PENGURUS PUSAT IKATAN PERSAUDARAAN HAJI INDONESIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul ""Rukun Baru" Haji".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar