Takwa adalah pesan penting Islam untuk membentuk pribadi yang senantiasa terhiasi kebaikan dan terpelihara dari keburukan. Salah satu karakter mereka yang benar-benar bertakwa adalah integritas diri. Tidak hanya secara individual-personal dengan Tuhan (habl min Allah), tetapi juga sosial-komunal (habl min al-nas) agar dapat menjadirahmatan lil 'alamin.
Hari ini, jutaan kaum Muslimin dan Muslimat di Mekkah yang datang dari berbagai penjuru dunia dalam puncak kesibukan melaksanakan ibadah haji, rukun Islam kelima. Menunaikan ibadah haji sebagai perjalanan keagamaan (ziyarah atau pilgrimage), seperti firman Allah SWT (QS Ali Imron/3 Ayat 97), merupakan kewajiban setiap Muslim-Muslimah yang memiliki kemampuan (istita'ah) ekonomi, ilmu pengetahuan, dan kesehatan jasmani.
Melakukan perjalanan ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji adalah rihlah mubarakah (perjalanan penuh berkah). Ibadah haji adalah salah satu titik puncak peningkatan kualitas rohaniah dan spiritualitas.
Ibadah haji lebih dari sekadar pelaksanaan semua tata cara formal ritual haji seperti ditentukan fiqh. Mengerjakan fiqh ibadah haji, jemaah haji mengalami perpindahan dari dataran kehidupan profan, keduniaan, menuju kesucian seperti disimbolkan pakaian ihram serba putih. Penyucian diri tidak hanya secara fisik, tetapi juga pembebasan diri dari simbolisme lahiriah dan materi yang menunjukkan diferensiasi sosial.
Semua ritual fiqhiyah haji menghilangkan berbagai perbedaan yang bisa memisahkan kaum Muslimin: perbedaan jender, sosial, ekonomi, budaya, etnisitas, dan sosial-politik. Mereka setara di hadapan Allah. Ibadah haji adalah momen unik bahwa umat Islam menjalani kehidupan secara egaliter, multietnis, multikultural, serta mengabdikan diri, kelompok, dan golongan untuk pengejawantahan nilai keislaman dan kemanusiaan.
Berkorban materi
Setiap jemaah haji dan sanak saudara yang menunggu di Tanah Air berharap agar ibadah haji yang dilaksanakan dapat mencapai haji mabrur. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ditegaskan, "Haji mabrur itu tidak ada balasannya, kecuali surga."
Kata mabrur dalam hadis ini memiliki keterkaitan dengan kata al-birr yang berarti kebajikan atau perbuatan baik yang dikerjakan atas dasar takwa kepada Allah SWT. Kata al-birr disebut di dalam banyak ayat Al Quran, seperti Ali Imron/3 Ayat 92 yang menegaskan, "Kamu tidak akan mendapat kebajikan sebelum kamu mendermakan sebagian harta yang kamu cintai."
Bagi mereka yang memiliki kemampuan pendanaan, pengeluaran biaya untuk melaksanakan ibadah haji adalah pengorbanan materi. Berkorban materi dalam bentuk zakat, infak, sedekah, dan wakaf sangat penting dalam Islam demihabl min Allah dan habl min al-nas.
Lebih jauh, al-birr juga mengandung makna mendermakan harta kepada orang-orang yang membutuhkan. Mengorbankan materi harta tidak selalu mudah. Apalagi, jika harta diperoleh susah payah secara halal sesuai tuntunan Islam dan hukum negara. Di sinilahrelevansi prinsip Islam bahwa harta adalah ujian, apakah pemiliknya dikuasai dan diperbudak materi, tidak mau mengorbankannya. Atau sebaliknya, pemilik mengendalikan harta dan mengeluarkan sebagiannya agar juga bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa.
Pengorbanan materi lain adalah kewajiban melaksanakan kurban hewan. Ibadah ini sekaligus merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas berbagai rezeki dan nikmat yang telah diberikan kepada hamba-Nya (Surat Al-Kautsar/108 Ayat 1-3).
Kesabaran dan keikhlasan berkurban seperti diperlihatkan Nabi Ibrahim dan Ismail adalah jihad akbar. Berkurban dengan hewan sembelihan juga adalah simbol usaha manusiamendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) sesuai kandungan kata qurban. Kurban juga sekaligus untuk taqarrubila al-nas, saling akrab di antara sesama manusia. Di tengah kesulitan ekonomi yang masih dialami sebagian bangsa Indonesia,taqarrub ila al-nas merupakan urgensi.
Dengan demikian, ibadah kurban dan haji mabrur mesti tecermin dalam peningkatan perbuatan al-birr, yaitu pengorbanan materi dalam bentuk derma, zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Jika semua dilakukan, kian kuat solidaritas atau kesetiakawanan dalam kehidupan bangsa sehingga memiliki kohesi dan ketahanan sosial lebih kokoh lagi.
Kebutuhan meningkatkan perwujudan serta realisasi mabrur dan al-birr untuk penguatan kohesi sosial jelas sangat mendesak di Tanah Air. Sekarang diperkirakan masih ada sekitar 28 juta warga Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan hanya sekitar Rp 20.000 per hari sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup secara baik, sehat, dan layak.
Berkorban "ananiyah"
Muslim dan Muslimah dituntut tidak hanya berkorban materi, tetapi juga non-materi, seperti hawa nafsu ananiyah, egoisme yang dapat menguasai anak manusia dengan merugikan pihak lain.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memberikan contoh sangat baik dalam mengorbankan ananiyah masing-masing. Ibadah kurban mengandung makna pengorbanan egoisme yang hampir selalu cenderung hanya mempertimbangkan kepentingan diri dan kelompok atau golongan.
Ibadah haji yang dilaksanakan dalam rangkaian "paket" dengan ibadah kurban juga mengandung makna pengorbananananiyah. Jemaah haji dilarang mementingkan diri sendiri dengan mendesak atau menyikut jemaah lain, juga dilarang marah ketika tersikut dan terdesak dalam kerumunan jemaah lain.
Sulit dimungkiri, banyak kerusakan dan kehancuran yang dialami individu, kelompok, golongan manusia, dan negara-bangsa terjadi karena kegagalan anak manusia mengendalikan dan mengorbankan ananiyah untuk kepentingan lebih besar.
Gejala peningkatan ananiyah yang destruktif kini terlihat kian mewabah di Tanah Air. Salah satu bentuknya adalah penyebaran hoaks (kebohongan dan fitnah) yang disebarkan secara masif melalui media sosial khususnya. Jika hawa nafsu ananiyah seperti ini tidak dikorbankan, pertikaian dan konflik yang dimunculkannya bisa merusak kohesi sosial dan keutuhan negara-bangsa Indonesia.
Kewajiban mengorbankan materi danananiyah jelas terutama terletak pada lapisan elite bangsa: pemimpin, ulama, hartawan, dan pembentuk opini publik. Di tengah masih bertahannya kepincangan ekonomi-sosial dan meningkatnya penyebaran adu domba dalam kehidupan bangsa, sepatutnya lapisan elite bangsa merayakan Idul Adha atau Idul Kurban tidak sekadar rutinitas, tetapi mewujudkan makna terdalamnya dalam kehidupan aktual negara-bangsa. Hanya dengan begitu, keberagamaan lebih fungsional untuk kohesi sosial.
AZYUMARDI AZRA, PROFESOR SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar