Berbagai publikasi BPS mengabarkan jumlah si miskin di perdesaan mandek di kisaran 18 juta jiwa atau 14 persen sejak 2014. Padahal selama 2014-2016 saja digelontorkan anggaran kemiskinan Rp 418 triliun (termasuk dana desa Rp 67 triliun), ditambah subsidi petani Rp 94,9 triliun.
Kesulitan menjangkau si miskin di desa lantaran berbeda karakteristik dari perkotaan. Di kota, golongan miskin mudah dijangkau secara individual, seperti anak jalanan, pelacur, pekerja informal, jompo di rumah gubuk atau rumah susun. Kehidupan individualis membuka sosok si miskin sehingga mudah dikenali di sepanjang jalan.
Di desa, kehidupan komunal menyembunyikan wajah kemiskinan. Sejak 1956, Clifford Geertz sekadar menjumpai golongan "tidak cukup", tapi tidak sampai miskin, apalagi melarat. Sebab, si miskin di desa hanya terjangkau dalam lingkup keluarga. Anak miskin yang ditinggal migrasi orangtuanya ke luar negeri tetap dijaga orangtua dan mertua. Sarapan hingga makan malam jompo dikirimi tetangga. Kemiskinan mendadak lantaran rumah roboh, bencana alam, kegagalan panen ditanggulangi bersama dalam lingkup rukun tetangga (RT) atau dusun (rukun warga/RW).
Tubuh miskin yang selalu terselip di antara tetangga penolongnya mengindikasikan upaya menjangkau si miskin paling tepat melalui ketua RT. Pengumpulan data mikro yang mencakup nama dan alamat si miskin tepat ditugaskan kepada ketua RT. Hanya, perlu dicatat, metode ini cocok ketika dilaksanakan pertama kali pada suatu RT. Sebab, begitu warga mengetahui trik di dalamnya, keakuratan penetapan keluarga miskin menurun.
Pemerintah bisa menjalankan diskusi serentak ke semua RT di Indonesia. Pendamping desa bisa digerakkan. Tahun berikutnya tinggal ketua RT memperbaiki data registrasi kemiskinan: mencoret keluarga yang mentas dari kemiskinan dan mencatat yang jatuh miskin kembali.
Ketika dipraktikkan sebagai studi multikasus, hingga kini hasilnya konsisten: golongan melarat berpenghasilan seperlima garis kemiskinan. Dengan garis Maret 2017 setinggi Rp 2 juta per keluarga dalam sebulan, pendapatan mereka tak lebih dari Rp 400.000. Mereka menumpang pada kerabat, tinggal di lahan tetangga, atau lahan desa. Karena jompo dan sakit keras, mereka tidak memiliki pekerjaan tetap.
Golongan miskin memiliki penghasilan sampai garis kemiskinan tinggal di rumah sederhana di lahan terbatas. Karena masih muda, mereka mampu bekerja serabutan atau menjadi buruh tani dan buruh konstruksi.
Tangga stratifikasi sosial tingkat RT juga berisi upaya keluarga keluar dari kemiskinan, juga kejadian buruk yang memiskinkannya. Inilah mata air bagi pendekatan baru penanggulangan kemiskinan karena telah efektif dijalani keluarga miskin di desa.
Golongan melarat yang sakit parah mustahil beraktivitas sehingga layak mengakses kartu kesehatan dan pangan yang mencukupi sepanjang tahun.
Golongan miskin yang masih mampu bekerja diberdayakan pada pertanian dan konstruksi. Mandor bangunan mendaftarkan pekerja ke balai pelatihan konstruksi. Setelah konsisten menjaga mutu kerja infrastruktur terbangun, di akhir proyek mereka meraih sertifikasi tenaga kerja konstruksi. Inilah modal dapat upah lebih tinggi dan terjamin.
Pendidikan kejuruan pemuda desa yang berakhir sebagai migran sektor formal di Asia Timur mencipta tangga pengentasan rakyat miskin. Gaji pemuda migran menambah aset lahan bagi keluarga miskin selama 1999-2017. Maka, badan usaha milik desa (BUMDes) perlu mencipta pinjaman dana pendidikan.
Sejak 2012, skema kredit menjelma sebagai pintu keluar dari kemiskinan bagi aktivitas informal. Maka, BUMDes perlu menyediakan layanan simpan-pinjam mikro.
Peningkatan nilai tukar petani gurem cuma terbuka melalui pengurangan biaya asupan pupuk, pestisida, biaya pengairan, dan sewa mesin pertanian. Mustahil melalui peningkatan harga pangan karena membentur kepentingan konsumen. Konsekuensinya, kartu diskon bisa diciptakan bagi petani gurem. Nama dan alamat mereka teregistrasi pada Sensus Pertanian 2013. Kartu petani gurem berfungsi layaknya kartu siswa miskin; diskonnya baru muncul saat petani membelanjakan asupan usaha tani.
Buruh tani perlu dukungan finansial agar secara berkelompok menyewa lahan. Jika lahan sewa sempit, paling tepat ditanami hortikultura bernilai ekonomis tinggi. Subsidi sewa lahan atau kredit super-ringan dari BUMDes tepat mengentaskan kelompok buruh tani jadi petani kecil.
IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PERDESAAN IPB, BOGOR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar