Penyusutan luas dan fungsi hutan alam pada dasarnya sudah berada di ambang batas yang dapat ditoleransi. Padahal hutan alam tak ubahnya jantung bagi kelangsungan kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup suatu negara. Penyusutan yang sangat cepattidak terlepas dari derasnya laju deforestasi yang mencapai 1-2 juta hektar per tahun.
Penyusutan luasan kawasan hutan alam produksi terjadi hampir merata di semua wilayah kepulauan, kecuali sebagian wilayah Kalimantan dan Papua. Dengan kebakaran hutan yang berlangsung setiap tahun, perambahan hutan dan penebangan liar, kawasan hutan alam di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur juga mengalami degradasi dan deforestasi yang semakin besar. Dalam laporan The Environmental Status of Borneo 2016 yang dikeluarkan WWF, terlihat 74 juta hektar tutupan hutan secara keseluruhan di wilayah Borneo menurun hingga 55 persen pada 2015 dan diprediksi menjadi 75 persen pada 2020.
Dilema
Keberadaan dan keberlanjutan hutan alam produksi tergantung dari ada atau tidaknya institusi pengelolanya. Hingga sekarang, pengelolaan hutan alam di kawasan lindung diserahkan ke pemda dan untuk hutan produksi alam diserahkan ke pihak swasta (HPH).
Pada era Orde Baru, dengan adanya HPH kelangsungan hutan alam relatif lebih baik karena mudah terkontrol dan diketahui siapa pihak yang bertanggung jawab jika ada penebangan liar. Namun, keberadaan HPH saat itu justru dinilai sebagai salah satu penyebab deforestasi karena praktik penebangan yang bersifat ekstraktif dan abai terhadap kaidah-kaidah pelestarian hutan.
Fakta lapangan menunjukkan kawasan hutan produksi yang tak ada pengelolanya tingkat kerusakannya lebih besar. Mengingat kawasan hutan dianggap tak bertuandan terbuka (open access),banyak pihak merasa memiliki, menguasai, dan memanfaatkannya untuk berbagai kepentingan secara ilegal dan pemerintah tak mampu menjaga.
Pada dasarnya posisi pemegang konsesi HPH agak dilematis. Di satu sisi, dipandangdapat menjaga dan menjadi benteng terakhir penyelamatan hutan alam dari kehancuran, tetapi di sisi lain banyak konsesiHPH yang tidak lagi beroperasi.
Pada 1992 terdapat 580 wilayah kelola(HPH) dengan luas areal kerja 61 juta hektar. Tahun 2016 tinggal 265 perusahaan dengan luas 20 juta hektar. Itu pun yang punya rencana kerja tahunan (RKT) hanya 75 persen atau 199 perusahaan. Bahkan yang benar-benar aktif beroperasi tinggal 160 perusahaan sehingga lahan hutan alam yang tak dikelola ini akhirnya berubah fungsi karena sebagian telah dikonversi menjadi hutan tanaman dan kebun serta kegiatan penebangan liar.
Banyak faktor sebagai penyebab dari terhentinya kegiatan pengusahaan hutan (HPH), seperti potensi hutan yang terus menurun, perambahan hutan, dan sengketa lahan, baik dengan masyarakat maupun dengan usaha tambang, termasuk manajemen usaha yang buruk. Namun, faktor paling mendasar dari ketidakaktifan kegiatan HPH adalah nilai ekonomis dari hutan alam yang cenderung semakin rendah akibat stagnasi harga jual kayu bulat (KB) dalam 15 tahun terakhir. Harga jual KB selama ini sangat tergantung pada kemampuan industri kayu domestik, yaitu sekitar 40 persen dari harga internasional (100-250 dollar AS)
Tujuan larangan ekspor memang baik untuk memperkuat keberadaan industri nasional berbasis produk pengolahan kayu, terutama jaminan dari sisi suplai. Namun faktanya berbeda.Sejak 2000, daya saing industri kayu nasional yang mengolah KB dari hutan alam terus menurun. Dari analisis korelasi rank spearman (SRC), terlihat bahwa produk berbasis kayu di Indonesia tidak mengalami pergeseran struktural dalam keunggulan komparatif selama 1991-2010 (Review Urban & Regional Development Studies, Vol 27, Maret 2015).
Implikasinya, sekalipun terdapat kenaikan ekspor atas produk kayu dalam beberapa tahun terakhir, sumbangan sektor kehutanan hanya di posisi 10 terhadap GNP, yaitu 2,7 persen atau 3,9 miliar dollar AS.
Sumber daya terakhir
Hutan alam produksi merupakan penyanggah bagi kelangsungan fungsi hutan lindung dan konservasi. Dengan demikian, penyelamatan hutan alam produksi dari kehancuran akan sekaligus berkontribusi terhadap perlindungan ekosistem hutan secara keseluruhan. Untuk itu, ada dua kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah.
Pertama, menciptakan iklim usaha yang kondusifbagi pengelolaan hutan alam produksi yang ekonomis dan berkelanjutan. Dengan kesepakatan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) seharusnya kebijakan larangan ekspor kayu bulat dicabut. Di samping untuk menghindari tuduhan dumping atas komoditas ekspor berbasis kayu, pelarangan kayu jugamembuat daya saing industri perkayuan nasional semakin merosot karena tidak mampu memanfaatkan kemudahan bahan baku sebagai keunggulan komparatif dengan melakukan inovasi dan efisiensi.
Kedua, memperbesar investasi tanaman di hutan alam untuk meningkatkan riap tumbuh dari hutan alam sehingga produktivitasnya menjadi lebih baikdan sekaligus berdampak pada penurun biaya produksi. Investasi tanaman di hutan alam secara langsung akan mendorong pemegang HPH untuk melakukan pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan.
Hanya saja kedua kebijakan tersebut perlu dibarengi dengan pengelolaan hutan alam lestari berbasis teknik pemanfaatan hutan ramah lingkungan (reduce impact logging) yang dapat disertifikasi. Hutan alam produksi adalah sumber daya terakhir bagi kelangsungan ekosistem Indonesia sehingga menyelamatkan dari kehancuran menjadi suatu keniscayaan. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat adalah bisnis seperti biasa (business as usual) yang tak ubahnya seperti membunuh masa depan hutan dengan kebaikan.
SUHARDI SURYADI, DIREKTUR LP3ES (2005-2010); KINI KONSULTAN PROYEK USAID-LESTARI BIDANG KNOWLEDGE MANAGEMENT
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Menyelamatkan Hutan Alam".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar